Tuesday, 30 September 2014

proposal kesehatan "hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013"

BAB I
PENDAHULUAN
    Latar Belakang
Salah satu hasil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy). Dilihat dari sisi ini kesehatan di Indonesia sudah cukup berhasil, karena angka harapan hidup bangsa kita telah meningkat secara bermakna. Namun, di sisi lain dengan meningkatnya angka harapan hidup ini membawa beban bagi masyarakat, karena populsi penduduk usia lanjut (lansia) meningkat. Hal ini berarti kelompok risiko dalam masyarakat kita menjadi lebih tinggi lagi. Meningkatnya populasi lansia ini bukan hanya fenomena di Indonesia saja tetapi juga secara global (Notoatmojo 2007).
 Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Ansietas  atau  kecemasan merupakan bagian di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bagi orang yang penyesuaiannya baik maka kecemasan dapat cepat diatasi dan ditanggulangi. Bagi orang yang penyesuaian dirinya kurang baik, maka stres dan kecemasan pmerupakan bagian terbesar di dalam kehidupannya, sehingga stres dan kecemasan menghambat kegiatannya sehari-hari. Mungkin dari luar seseorang tidak nampak apabila dia mengalami stres maupun kecemasan, akan tetapi apabila kita bergaul dekat dengannya maka akan tampak sekali manifestasi stres dan kecemasan yang dialaminya (Prawitasari, 2011).
Kecemasan merupakan pengalaman tegang baik yang disebabkan oleh keadaan khayalan atau nyata. Konflik-konflik yang ditekan dan berbagai masalah yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kecemasan. Rasa cemas yang dialami oleh individu akan menjadikan pengganggu yang sama sekali tidak diharapkan kemunculannya, kecemasan yang normal dapat membuat seseorang mampu bergerak cepat dan gesit (Hawari, D.2001).
Tidur adalah keadaan istrahat normal yang perubahan kesadaranya terjadi secara periodik. Tidur mempunyai efek restoratif yang sangat penting bagi kesehatan dan kelansungan hidup. Tergantung pada usia dan kondisi fisik seseorang perlu tidur anatar 4 – 9 jam dalam setiap 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal. Gangguan tidur dapat terjadi jika seseorang mempunyai kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur atau masih merasa sangat lelah ketika bangun dari tidur yang lama. Gangguan tidur sering terjadia akibat masalah fisik, seperti masalah psikologis yaitu depresi, stres, nyeri dan kecemasan (Copel, 2007).
Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood, depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter (Amir, 2007).
Berdasarkan data awal peneliti di wilayah kerja Puskesmas  Kulisusu pada bulan Februari tahun 2013 sejumlah 53 orang lansia yang tinggal di wilayah kerja puskesmas yang terdiri dari 5 kelurahan didapatkan hasil 10 orang yang mengalami insomnia. Dari hasil survei awal ditemukan bahwa sebagian besar lansia tersebut cenderung memiliki masalah gangguan tidur/insomnia. Menurut para lansia hal ini disebabkan adanya rasa cemas yang sering mereka alami.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja  Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah adalah Apakah ada hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013 ?


    Tujuan Penelitian
    Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
    Tujuan Khusus
    Untuk mengetahui tingkat kecemasan pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
    Untuk mengetahui kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
    Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

    Manfaat Penelitian
    Manfaat Teoritis
    Ilmu Keperawatan
Menambah informasi terutama dalam ilmu keperawatan gerontik yang terkait dengan munculnya masalah kesehatan saat lanjut usia, terutama masalah kesulitan tidur atau insomnia.


    Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kejadian insomnia pada lansia yang diakibatkan oleh kecemasan, sebagai masukan bagi dunia keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan gerontik, komunitas dan jiwa.
    Peneliti
Memperoleh pengalaman berharga dalam melakukan penelitian khususnya tentang hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia.
    Manafaat Praktis
    Komunitas ( Masyarakat dan lansia )
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang kecemasan yang dengan kejadian insomnia pada lanjut usia bagi masyarakat dan kaum lansia.
    Bidang Ilmu
Sesuai dengan lingkup penelitian ini termasuk kedalam penelitian di bidang keperawatan gerontik, keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
    Tinjauan Umum Tentang Lanjut Usia
    Pengertian Lanjut Usia
Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merpakan tahap perkembangan normal yang akan di alami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notonoatmodjo 2007).
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun keatas (Setiabudi dan Hardywinoto, 2005). Menurut UU No. 13 Tahun 1998 (BAB I Pasal 1 Ayat 2) tentang Kesejahteraan Lanjut Usia “Lanjut usia adalah seseorang  yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas”.Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. (Efendi, 2005,http://www.depkes.co.id Retrieved Februari 23, 2013).
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup (Bastaman, 2000).

Teori Genetik dan Mutasi menyebutkan bahwa menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Menua ini terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai (Sikhan, 2009).
Menurut (Nugroho 2008) menyebutkan bahwa pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Jadi lanjut usia dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya.

    Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO Lanjut usia (elderly) ialah kelompok usia 60 sampai 74 tahun, Lanjut usia tua (old) ialah kelompok usia 75 sampai 90 tahun, Usia sangat tua (very old) ialah usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut pendapat Sumiati dalam buku keperawatan gerontik (2000) Membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut: Umur 40 – 65 tahun : masa setengah umur (prasenium), 65 tahun ke atas : masa lanjut usia (senium). Lain halnya dengan penapat Masdani dalam buku keperawatan gerontik (2000) Mengatakan bahwa lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi fase prasenium, antara 55 dan 65 tahun dan fase senium, antara 65 tahun hingga tutup usia. Sedangkan menurut Setyonegoro dalam buku keperawatan gerontik (2000) Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut : Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Untuk umur 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old). Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke atas.

    Masalah yang Sering Dihadapi oleh Lansia
Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya sebagai a series of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh) (Kemala Sari, 2010). Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi lansia adalah sebagai berikut :
    Demensia
Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada orang yang berusia > 65 tahun.
    Steres
Gangguan stres merupakan hal yang terpenting dalam problem lansia. Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi atau stres tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah yang dihadapi lansia yang membuat mereka depresi. Gejala depresi pada lansia dengan orang dewasa muda berbeda dimana pada lansia terdapat keluhan somatik.
    Skizofrenia
Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia lambat dibanding pria. Perbedaan onset lambat dengan awal adalah adanya skizofrenia paranoid pada tipe onset lambat.
    Gangguan Delusi
Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapatterjadi kapan saja.  Pada gangguan delusi terdapat waham yang tersering yaitu : waham kejar dan waham somatik.
    Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan panik pada lansia adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan gejala fobia pada lansia kurang serius daripada dewasa muda, tetapi efeknya sama, jika tidak lebih dapat menimbulkan debilitasi pada pasien lanjut usia. Teori eksistensial menjelaskan kecemasan tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi secara spesifik bagi perasaan yang cemas secara kronis. Kecemasan yang tersering pada lansia adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan dalam perkembangan kecemasan setelah suatu stresor yang berat. Gangguan stres lebih sering pada lansia terutama jenis stres pasca traumatik karena pada lansia akan mudah terbentuk suatu cacat fisik.
    Gangguan Somatiform
 Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan apada pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis adalah berhati-hati. Untuk mententramkan pasien perlu dilakukan pemeriksaan fisik ulang sehingga ia yakin bahwa mereka tidak memliki penyakit yang mematikan.Terapi pada gangguan ini adalah dengan pendekatan psikologis dan farmakologis.
    Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain
Riwayat minum/ketergantungan alkohol biasanya memberikan riwayat minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja / dewasa. Mereka biasanya memiliki penyakit hati. Sejumlah besar lansia dengan riwayat penggunaan alkohol terdapat penyakit demensia yang kronis seperti ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff. Presentasi klinis pada lansia termasuk terjatuh, konfusi, higienis pribadi yang buruk, malnutrisi dan efek pemaparan. Zat yang dijual bebas seperti kafein dan nikotin sering disalahgunakan. Di sini harus diperhatikan adanya gangguan gastrointestiral kronis pada lansia pengguna alkohol maupun tidak obatobat sehingga tidak terjadi suatu penyakit medik.

    Gangguan Tidur / Insomnia
Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur atau insomnia. Fenomena yang sering dikeluhkan lansia daripada usia dewasa muda adalah gangguan tidur, ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari. Secara klinis, lansia memiliki gangguan pernafasan yang berhubungan dengan tidur dan gangguan pergerakan akibat medikasi yang lebih tinggi dibanding dewasa muda. Disamping perubahan sistem regulasi dan fisiologis, penyebab gangguan tidur primer pada lansia adalah insomnia. Selain itu gangguan mental lain, kondisi medis umum, faktor sosial dan lingkungan. Gangguan tersering pada lansia pria adgangguan rapid eye movement (REM). Hal yang menyebabkan gangguan tidur juga termasuk adanya gejala nyeri, nokturia, sesak napas, nyeri perut. Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur. Perburukan yang terjadi adalah perubahan waktu dan konsolidasi yang menyebabkan gangguan pada kualitas tidur pada lansia.

    Teori Penuaan
Gerontologis tidak setuju tentang adaptasi penuaan. Tidak ada satu teoripun dapat memasukan semua variabel yang menyebabkan penuaan dan respon individu terhadap hal itu. Secara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis, teori psikologis, dan teori sosiokultural (Hartati, 2008).

    Teori Biologis
    Biological Programming Theory
Teori program biologis merupakan suatu proses sepanjang kehidupan sel yang terjadi sesuai dengan sel itu sendiri. Teori waktu kehiduan makhluk memperlihatkan adanya kemunduran biologis, kognitif, dan fungsi psikomotor yang tidak dapat dihindari dan diperbaiki, walaupun perubahan diet atau hipotermi dalam waktu yang lama dapat menunda proses tersebut.
    Wear and Tear Theory
Teori wear and tear ini menyatakan bahwa perubahan struktur dan fungsi dapat dipercepat oleh perlakuan kejam dan diprlambat oleh perawatan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penuaan merupakan hasil dari akumulasi stres, trauma, luka, infeksi, nutrisi yang tidak adekuat, gangguan metabolik dan imunologi, dan perlakuan kasar yang lama. Konsep penuaan ini memperlihatkan penerimaan terhadap mitos dan stereotif penuaan.
    Stress-Adaptasi Theory
Teori adaptasi stres ini menegaskan efek positif dan negatif dari stres pada perkembangan biopsikososial. Sebagai efek positif, stres menstimulasi seseorang untuk melakukan sesuatu yang baru, jalan adaptasi yang lebih efektif. Efek negatif dari stres bisa menjadiketidakmampuan fungsi karena perasaan yang terlalu berlebihan. Stres sering di asumsikan dapat mempercepat proses penuaan. Stres dapat mempengaruhi kemampuan penerimaan seseorang, baik secara fisiologi, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini dapat berakibat sakit atau injuri.
    Teori psikologis
    Erikson’s Stage of Ego Integrity
Teori Erikson tentang perkembangan manusia mengidentifikasi tugas yang harus dicapai pada setiap tahap kehidupan. Tugas terakhir, berhubungan dengan refleksi tentang kehidupan seseorang dan pencapaiannya, ini diidentifikasi sebagai integritas ego. Jika ini tidak tercapai maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan.
    Life Review Theory
Pada lansia, melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan proses yang normal berkaitan dengan pendekatan terhadap kematian. Reintegrasi yang sukses dapat memberikan arti dalam kehidupan dan mempersiapkan seseorang untuk mati tanpa disertai dengan kecemasan dan rasa takut. Hasil diskusi terakhir tentang proses ini menemukan bahwa melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan salah satu strategi untuk merawat masalah kesehatan jiwa pada lansia.
    Stability of Personality
Perubahan kepribadian secara radikal pada lansia dapat mengakibatkan penyakit otak. Para peneliti menemukan bahwa periode krisis psikologis pada saat dewasa tidak akan terjadi pada interval regular. Perubahan peran, perilaku dan situasi membutuhkan respon tingkah laku yang baru. Mayoritas lansia pada studi ini memperlihatkan adaptasi yang efektif terhadap kebutuhan ini.
    Teori Sosiokultural
    Disengagement Theory
Postulat pada teori ini menyatakan bahwa lansia dan penarikan diri dari lingkungan sosial merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Terdapat stereotype yang kuat dari teori ini termasuk ide bahwa lansia merasa nyaman bila berhubungan dengan orang lain seusianya.
    Activity Theory
Teori aktivitas berpendapat bahwa penuaan harus disertai dengan keaktifan beraktifitas sebisa mungkin. Teori ini memperlihatkan efek positif dari aktivitas terhadap kepribadian lansia, kesehatan jiwa, dan kepuasan dalam hidup.
     The Family in Later Life
Teori keluarga berfokus pada keluarga sebagai unti dasar perkembangan emosi seseorang. Teori ini berpendapat bahwa pusat proses siklus kehidupan adalah perubahan sistem hubungan dengan orang lain untuk medukung fungsi masuk, keluar dan perkembangan anggota keluarga. Gejala fisik, emosi, dan sosial dipercaya merupakan repleksi dari masalah negosiasi dan transisi pada siklus kehidupan keluarga.


    Tinjaan Umum Tentang Istirahat Tidur
    Kebutuhan Istirahat
Menurut Lumbantobing (2004), Jumlah total tidur dalam satu hari pada masing-masing orang berbeda bergantung pada usia, pada lanjut usia dibutuhkan tidur selama 5-8 jam. Tidur kurang dari 6 jam semalam, umumnya mengakibatkan gejala deprivasi (kurang) tidur. Perlu juga diketahui bahwa tidur berlebihan dapat mengakibatkan tidur yang tidak menyegarkan dan rasa letih (Fatigue) di siang hari. Manusia butuh tidur 5-8 jam sehari. Sebenarnya, orang tua membutuhkan tidur sama banyaknya dengan orang dewasa lainnya.
Pola tidur mereka sering terganggu karena mereka sering terbangun di malam hari. Masingmasing individu memerlukan jumlah tidur yang berbeda. Mayoritas dari kita memerlukan antara 5 hingga 8 jam tidur setiap malam. Ada yang memerlukan lebih dari itu dan ada juga yang tanpa tidur lama dapat bangun dengan segar. Tidur sebaiknya tidak terpotong atau terganggu. Pada saat bangun, jika tidur cukup, badan akan terasa segar dan tidak lelah. Paling penting, umumnya tidak merasa ngantuk sepanjang harimeskipun sedang melakukan pekerjaan yang membosankan atau rutin. Jika masih terasa ngantuk pada saat beraktivitas, itu tandanya kualitas tidur anda kurang baik.
    Kebutuhan Istirahat dan Tidur
    Tidur
Istirahat dan tidur menjalankan sebuah fungsi pemulihan baik secara fisiologis maupun psikologis.Secara fisiologis, tidur mengistirahatkan organ tubuh, menyimpan energi, menjaga irama biologis, dan memperbaiki kesadaran mental dan efisiensi neurologist. Secara psikologis, tidur mengurangi ketegangan dan meningkatkan perasaan sejahtera. (Stockslager dan Schaeffer,2008).
Menurut Feinberg (dalam Nugroho, 2008) mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi relative tetap, sementarara itu factor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Gangguan tidur pada lansia dapat disebabkan oleh factor ekstrinsik yang meliputi lingkungan yang kurang tenang dan factor intrinsik baik organ maupun psikogemik.Organik dapat berupa nyeri, gatal, kram betis, sakit gigi, sindrom tungkai bergerak, penyakit tertentu yang membuat gelisah. Sedangkan psikogemik dapat berupa depresi, kecemasan, stress, iritabilitas dan marah yang tidak tersalurkan.
Tidur adalah keadaan perilaku ritmik dan siklik yang terjadi dalam lima tahap (empat non rapid eye movement (NREM) dan satu rapid eye movement (REM)). Tidur terjadi secara alami, dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang melekat yang merupakan suatu proses perbaikan tubuh. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapat tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dapat terjadi efek-efek seperti pelupa, konfusi, dan disorientasi, terutama jika deprivasi tidur terjadi untuk waktu yang lama. Efek merugikan dari deprivasi tidur pada seseorang yang sudah mengalami konfusi, terutama penyakit Alzheimer, meliputi peningkatan agitasi, perilaku mengeluyur, gelisah dan sinrom matahari terbenam. Secara psikologis, tidur memungkinkan seseorang untuk mengalami perasaan sejahtera serta energi psikis dan kewaspadaan untuk menyelesaikan tugas-tugas (Stanley dan Beare, 2007).
    REM
Fenomena REM awalnya ditemukan dan dilaporkan oleh Aserinsky dan Kleitman (1954) dari University of Chicago keterangan ini di ambil dalam buku Gangguan Tidur. Lumbantobing, S. M. (2004). waktu tidur Rem menyerupai aktivitas waktu bangun. Pada fase ini berasosiasi dengan bermimpi pada manusia sehingga sering disebut tidur-mimpi. Pada stadium ini juga didapatkan gerak mata cepat yang menjadi tanda utama.
    NREM
Tidur NREM dibagi menjadi 4 tingkat (stadium), yaitu :
    Tingkat 1 (tidur ringan)
Pada stadium ini terjadi mengantuk, tidur ringan, pupil mata kontriksi dan dilatasi secara lambat, bola mata bergerak pelan bolak-balik, kelopak mata menutup sebagian atau semuanya. Pada stadium ini bila diukur waktu reaksi terhadap rangsang, terlihat melamban dan ketajaman intelektual menurun. Di tempat tidur, orang dengan stadium 1, tidur ringan dan bergerak atau menggeliat ringan.


    Tingkat 2 (tidur konsolidasi)
Individu yang berada dalam stadium ini bila dibangunkan ia merasa bahwa ia memang tertidur. Namun, sebagaimana halnya dengan stadium 1, ada individu yang merasa ia cukup sadar terhadap sekelilingnya, namun ia tidak menyadari seberapa jauh kesadarannya sudah menumpul. Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan ambang bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi serta terhadap rangsang menggerakkan badan.
    Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)
Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat pada rekaman EEG. Stadium tidur gelombang lambat bervariasi berkaitan dengan usia. Orang yang berusia lebih dari 60 tahun dapat tanpa tidur gelombang lambat dan anak yang sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase tinggi walaupun ia masih tidur ringan (Lumbantobing, S. M, 2004)

    Tinjauan Umum Tentang Insomnia
    Pengertian
Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti pensiun dan perubahan pola sosial, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan penggunaan obat-obatan, penyakit yang dialami dan perubahan irama sirkadian. Proses patologis terkait usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur (Stanley dan Beare, 2007).
Isnomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena adanya perubahan pola tidur, biasanya menyerang tahap 4 (tidur dalam). Keluhan insomnia mencakup ketidakmampuan untuk tidur, sering terbangun, ketidakmampuan untuk kembali tidur dan terbangun pada dini hari. Karena insomnia merupakan gejala, maka perhatian khusus harus diberikan pada faktor-faktor biologis, emosional dan medis yang berperan juga kebiasaan tidur yang buruk (Stanley dan Beare, 2007).
    Faktor Penyebab Insomnia
Terjadinya insomnia ini disebabkan oleh beberapa hal seperti (Lumbantobing, 2004):
    Gangguan psikiatrik
Gangguan ini meliputi alkoholisme, gangguan tidur karena ketergantungan obat, depresi, stres, ansietas dan kehilangan.
    Gangguan medis
Gangguan ini meliputi gangguan pernapasan, refluks gastoresofegeal, fibromialgia, penyakit reumatologi dan lainnya.
    Gangguan neurologis
Gangguan ini meliputi parkinsonisme dan gangguan gerak lainnya, dimensia, penyakit degneratif, penyakit serebrovaskuler, epilepsy, nyeri kepala dan sindrom nyeri lainnya.


    Gangguan lingkungan
Gangguan ini misalnya kebisingan dan lingkungan yang tidak nyaman.
    Gangguan ritme sirkardian
Gangguan ini meliputi sindrom perubahan waktu, gangguan tidur oleh karena shift kerja dan pola tidur yang tidak regular.
    Gangguan perilaku
Gangguan ini meliputi insomnia psiko-fisiologis, hygiene tidur yang tidak adekuat, dan gangguan pada penyesuaian tidur.
    Gangguan tidur primer
Gangguan ini meliputi salah persepsi keadaan tidur, insomnia idiopatis, apnea waktu tidur, sindrom tungkai gelisah dan gerak ekstremitas periodik.
Menurut Stanley dan Beare (2007), terjadinya gangguan tidur pada lansia disebabkan oleh :
    Penyakit psikiatrik, terutama depresi
    Penyakit Alzheimer dan penyakit degeneratif neuro lainnya
    Penyakit kardiovaskuler dan perawatan pasca operasi bedah jantung
    Inkompetensi jalan napas atas
    Penyakit paru
    Sindrom nyeri
    Penyakit prostatik
    Endokrinopati
    Jenis-jenis insomnia
Insomnia terdiri atas tiga jenis (Stanley dan Beare, 2007):
    Jangka pendek yaitu kejadian insomnia yang berakhir beberapa minggu dan muncuk akibat pengalaman stres yang bersifat sementara seperti kehilangan orang yang dicintai, tekanan ditempat kerja, atau takut kehilangan pekerjaan. Biasanya kondisi ini dapat hilang tanpa intervensi medis setelah orang tersebut beradaptasi dengan stressor.
    Sementara yaitu timbulnya episode malam yang tidak sering terjadi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan seperti jet lag, kontruksi bangunan yang bising,atau pengalaman yang menimbulkan ansietas.
    Kronis yaitu kejadian insomnia yang berlangsung selama 3 minggu atau seumur hidup. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis, penggunaan obat tidur yang berlebihan, penggunaan alkohol yang berlebihan, gangguan jadwal tidur bangun dan masalah kesehatan lainyya (Stanley dan Beare, 2007).
    Dampak insomnia
Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain :
    Efek fisiologis : karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stres
    Efek psikologis : dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, kehilangan  motivasi, depresi dan lain-lain.
    Efek fisik/somatic : dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi dan sebagainya.
    Efek sosial : dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan social dan keluarga.
    Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang yang normal (Turana, 2007)
    Pengukuran insomnia
Ada atau tidaknya gangguan tidur atau insomnia dapat diukur melalui kuesioner dengan menunjukkan gejala-gejala insomnia yang ada seperti sulit mengawali tidur, terbangun ditengah malam atau terbangun terlalu pagi, terganggunya kualitas tidur dan kuwantitas tidur. Apabila muncul satu atau seluruh gejala yang ada maka dianggap telah terjadi insomnia.

    Perubahan yang Terjadi pada Lansia yang Mengakibatkan Insomia
Nugroho (2008) menyebutkan beberapa perubahan pada lanjut usia diantaranya adalah :
    Perubahan Fisik
    Sel
    Lebih sedikit jumlahnya.
    Lebih besar ukurannya.
    Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraselular.
    Menurunya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati.
    Jumlah sel otak menurun.
    Terganggunya mekanisme perbaikan sel.
    Otak menjadi atrofi beratnya berkurang 5-10%.
    Sistem Persarafan
    Berat otak menurun 10-20%. (setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam setiap harinya).
     Cepatnya menurun hubungan persarafan
     Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress.
    Mengecilnya saraf panca indera. Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
    Kurang sensitif terhadap sentuhan.
    Sistem Pendengaran
    Presbiakusis (gangguan pada pendengaran). Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun.
    Membrana timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
    Terjadinya pengumpualan cerumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin.
    Pendengaran bertambah menurun pada usia lanjut yang mengalami ketegangan jiwa/stress.
    Sistem Penglihatan
    Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap  sinar.
    Kornea lebih berbentuk sferis (bola).
    Lensa lebih suram (kekeruahan pada lensa) menjadi katarak, jelas menyeababkan gangguanpenglihatan.
    Menigkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, dan    susah melihat dalam cahaya gelap.
    Hilangnya daya akomodasi.
    Menurunya lapang pandang, berkurang luas pendangannya.
    Menurunya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala.
    Sistem Kardiovaskuler
    Elastisitas, dinding aorta menurun.
    Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
    Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
    Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurang efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg (mengakibatkan pusing mendadak).
    Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistol normal kurang lebih 170 mmHg. Diastole normal kurang lebih 90 mmHg.
    Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu termostat, yaitu menetapakan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering ditemui, antara lain :
    Temperatur tubuh menurun (hipotermi) secara fisiologik kurang lebih 35 derajat celsius ini akibat metabolisme yang menurun.
    Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.
    Sistem Respirasi
    Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.
    Menurunya aktivitas dari silia.
    Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalam bernafas menurun
    Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.
    O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg.
    CO2 pada arteri tidak bergabti.
    Kemampuan untuk batuk berkurang.
    Kemampuan pegas, dinding, dada, dan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertumbuhan usia.
    Sistem Gastrointestinal
    Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
    Indera pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atrofi indera pengecap (kurang lebih 80%), hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit.
    Esofagus melebar.
    Lambung, rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun), asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
    Peristaltik lemah dan biasanya timbul kontipasi.
    Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi terganggu).
    Liver (hati), makin mengecil dan menurunya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah.
    Sistem reproduksi.
    Menciutnya ovari dan uterus.
     Atrofi payudara.
    Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.
    Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun (asal kondisi kesehatan baik), yaitu :
    Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia.
    Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan kemampuan seksual.
    Tidak perlu cemas karena merupakan perubahan alami.
    Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya menjadi akali, dan terjadi perubahan-perubahan warna.
     Sistem Genitourinaria
    Ginjal
Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urien darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di glomelurus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi etrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang, akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun proteinuria (biasanya + 1) BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat sampai 21 mg % nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.

    Vesikasi urinaria (kandung kamih)
Otot-otot menjadi lemah, kapsitasnya menurun sampai 20 ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni maningkat, vesika susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urin.
    Pembesaran prostat kurang lebih 75% dialami oleh pria usia 65 tahun.
    Atrofi vulva.
    Vagina.
Orang-oarang yang makin menua sexual intercourse masih juga membutuhkannya; tidak ada batasan umur tertentu fungsi seksual seseorang berhenti; ferkuensi sexual intercourse cenderung menurun secara bertahap tiap tahun tetapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus sampai tua.
    Sistem Endokrin
    Produksi dari hampir semua hormon menurun.
    Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
    Menurunya aktivitas tiroid, menurunya BMR= Basal Metabolic Rate, dan menurunya daya pertukaran zat.
    Menurunnya produksi aldesteron.
    Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya: progesteron, estrogen, dan testeron

     Sistem Kulit (Integumentary System)
    Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
    Permukaan kulit kasar dan berisik (karena kehilangan proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis).
    Menurunnya respon terhadap trauma.
    Mekanisme proteksi kulit menurun.
    Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.
    Rambut dan hidung dan telinga menebal.
    Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi.
    Pertumbuhan kuku lebih lambat.
    Kuku jari menjadi keras dan rapuh.
    Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.
    Kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya.
    Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.
     Sistem Muskulosletal (Musculosceletal System)
    Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh.
    Kifosis.
    Pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.
    Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang).
    Persendian membesar dan menjadi kaku.
    Tendon mengkerut dan mengalami skelerosis.
    Atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil)Serabut-serabut otot mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot kram dan menjadi tremor.
    Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh.
    Perubahan Mental
Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental antara lain :
Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. Kesehatan umum. Tingkat pendidikan. Keturunan (Herediter). Lingkungan. Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin karena faktor lain seperti penyakit-penyakit. Perubahan pada gangguan mental ini dapat berupa depresi, ansietas, stres dan gangguangangguan lain. Ansietas sering dijumpai pada penderita insomnia dibandingkan oleh hal lain, yaitu sekitar 25-40% penderita disebabkan oleh ansietas (Lumbantobing, 2004)
    Perubahan Psikososial
    Pensiun
Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
    Kehilangan finansial (income berkurang).
    Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).
    Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
    Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
    Bila seseorang pensiun (perna tugas), ia akan mengalami kehilangan, antara lain:
    Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality).
    Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.
    Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation). Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan.
    Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
    Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.
    Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
    Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan dengan teman-teman dan family.
    Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.
    Perkembangan Spiritual
Menurut Maslow, (1978) agama atau kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupanya, sedangkan menurut pendapat Murray, & Zentner, (1970). Lain halnya dengan pendapat Fowler, (1978) mengatakan perkembangan spiritual pada usia 70 tahun perkembangan yang dicapai tingkatan ini berfikir dan bertindak dengan memberikan contoh cara mencintai dan keadilan. Kutipan tadi diambil dari buku Keperawatan Gerontik Nugroho (2008).

     Tinjauan Umum Tentang Kecemasan
    Pengertian
Banyak pengertian kecemasan yang dikemukakan oleh berbagai ahli kesehatan antra lain; Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui ataundikenal (Stuart and Sundeens, 2011). Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Kaplan & Sadock, 1997). Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993). Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiea Zazty Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu ini pada umumnya tidak menyenangkan dan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis (misal gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat) dan psikologis (misalnya panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi). Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis (misal gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat) dan psikologis (misal panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi).
    Teori-Teori Psikologis Penyebab Kecemasan
    Faktor presdisposisi
    Teori psikoanalitik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikoanalitik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa,yaitu: sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya. (Prawirohusodo, 2005).
    Teori interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga. Dalam pandangan interpersonal ansietas timbul dari perasaan takut tidak adanya penerimaan dan penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan intrpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan lingkungan.
    Teori perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ketidakmampuan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan akan menimbulkan frustasi atau keputusasaan, keputusasaan inilah yang menyebabkan seorang menjadi ansietas. Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antra dua pilihan yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu. Konflik akan menimbulkan kecemasan dan kecemasan akan meningkatkan presepsi terhadap konflik dengan timbulnya rasa ketidakberdayaan. Konflik muncul dari dua kecenderungan yaitu “approach” dan “avoidance”. Approach merupakan kecenderungan untuk melakukan atau menggerakan sesuatu.Sedangkan avoidance adalah tidak melakukan atau menggerakan sesuatu melalui sesuatu.
    Teori eksistensial
Teori eksistensi tentang kecemasan memberikan model untuk gangguan kecemasan umum, dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan kronik. Konsep inti dari teori ini dalah bahwa seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan yang menonjol dalam dirinya, perasaan yang mungkin lebih mengganggu dari pada penerimaan kematian mereka yang tidak dapat dihindari (Arita Muwarni, 2008).
    Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga. Studi pada keluarga dalam bentuk dan sifatnya heterogen.
    Teori Biologi
Teori biologis menunjukan bahwa otak memiliki reseptor khusus terhadap benzoideazepin, reseptor tersebut membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut bergabung dengan aktifitas neurontransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktifitas neuron di bagian otak yang mengatur kecemasan. Billa GABA bersentuhan dengan sinaps dan berikatan 29 dengan reseptor GABA pada membran post sinaps akan membuka saluran atau pintu reseptor sehingga terjadi perpindahan ion. Perubahan ini akan mengakibatkan eksitasi sel dan memperlambat aktivitas sel. Teori ini menjelaskan individu yang sering mengalami kecemasan mempunyai masalah dengan proses neurontransmiter ini, bukan oleh konflik emosional. Mekanisme koping juga dapat terganggu karena pengaruh toksik, difisiensi nutrisi, menurunnya suplai darah, perubahan hormon dan penyebab fisik lainya. Kelelahan dapat meningkatkan iritabilitas dan perasaan cemas.
    Faktor prepitasi
Stresor prepitasi menurut Stuart & Sundeen (2007) berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Stresor prespitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu;
    Ancaman terhadap integritas fisik terdiri dari;
    Faktor internal yaitu meliputi kegagalan mekanisme fisiologis, sistem imun, regulasi suhu tubuh, dan perubahan biologis normal.
    Faktor eksternal yaitu meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangn nutrisi tidak adekuatnya tempat tinggal. Ancaman terhadap integritas fisik merupakan suatu perasaan yang mencemaskan muncul dari diri lansia terhadap kondisi fisiknya meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunkan kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari.
    Ancaman terhadap harga diri terdiri dari;
    Faktor internal yaitu meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di lingkungan dan penyesuaian diri terhadap peran baru.
    Sumber eksternal yaitu meliputi kehilangan orang yang di cintai, penceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok dan sosial budaya.
    Gabungan
Penyebab timbul ansietas gabungan dari genetik, perkembangan, stressor, gabungan dari genetic, perkembangan, stressor fisik, stresor psikososial.
    Rentang Respon Kecemasan
Stuart dan Sundeen (2007) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu :
    Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
    Respon Fisiologis
Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.
    Respon Kognitif
Lapang persegi meluas, mampu menerima rangsangan kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif.
    Respon perilaku
Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan suara kadang-kadang meninggi.


    Kecemasan sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun, sindividu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain.
    Respon Fisiologis
Sering nafas pendek, nadi ekstra sistolik dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah.
    Respon Kognitif
Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
    Respon Perilaku
Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), berbicara banyak dan lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman.
    Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntutan.
    Respon Fisiologis
Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringant dan sakit kepala, penglihatan kabur.

    Respon Kognitif
Lapang persepsi sangat menyempit dan tidak mampu menyelesaikan masalah.
    Respon Prilaku
Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.
    Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan.
    Respon Fisiologis
Nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, pucat sakit dada dan rendahnya koordanasi motorik.
    Respon Kognitif
Lapang persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, tidak dapat berfikir logis, dan ketidakmampuan mengalami distorsi.
    Respon Prilaku
Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak,bocking, presepsi kacau, kecemasan yang timbul dapat diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik, emosional dan kognitif atau intelektual.
    Proses Adaptasi Kecemasan
    Mekanisme koping
    Strategi pemecahan masalah.
Strategi pemecahan masalah bertujuan untuk mengatasi atau menanggulangi masalah atau ancaman yang ada dengan kemampuan realistis. Strategi pemecahan masalah ini secarah ringkas dpat digunakan dengan metode STOP yaitu Source, Trial and Error, Others, serta Pray and Patient. Source berarti mencari dan mengidentifikasi apa yang menjadi sumber masalah. Trial and error mencoba berbagi rencana pemecahan masalah yang disusun. Bila satu tidak berhasil maka mencoba lagi dengan metode yang lain. Begitu selanjutnya, others berarti meminta bantuan orang lain bila diri sendiri tidak mampu. Sedangkan pray and patient yaitu berdoa kepada Tuhan. Hal yang perlu dihindari adalah adanya rasa keputusasaan yang terhadap kegagalan yang dialami.
    Task oriented (berorentasi pada tugas)
    Dipikirkan untuk memecahkan masalah, konflik, memenuhi kebutuhan.
    Realistis memenuhi tuntunan situasi stress.
    Disadari dan berorentasi pada tindakan.
    Berupa reaksi melawan(mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan),menarik diri(mengindari sumber ancaman fisik atau psikologis),kompromi(mengubahcara, tujuan untuk memuaskan kebutuhan).


    Ego oriented
Dalam teori ini, ego oriented berguna untuk melindungi diri dengan perasaan yang tidak adekuat seperti inadequacy dan perasaan buruk berupa pengguanan mekanismme pertahanan diri (defens mechanism). Jenis mekanisme pertahan diri yaitu:
    Denial
Menghindar atau menolak untuk melihat kenyataan yang tidak diinginkan dengan cara mengabaikan dan menolak kenyataan tersebut.
    Proyeksi
Menyalakan orang lain mengenai ketidakmampuan pribadinya atas kesalahan yang diperbuatnya. Mekanisme ini diguakan untuk mengindari celaan atau hukuman yang mungkin akan ditimpakan pada dirinya.
    Represi
Menekan kedalam tidak sadar dan sengaja melupakan terhadap pikiran, perasaan, dan pengalaman yang menyakitkan.
    Regresi
Kemunduran dalam hal tingkah laku yang dilakukan individu dalam menghadapi stress.
    Rasionalisasi
Berusahah memberikan memberikan alasan yang masuk akal terhadap perbuatan yang dilakukanya.

    Fantasi
Keinginan yang tidak tercapai dipuaskan dengan imajinasi yang diciptakan sendiri dan merupakan situasi yangberkhyal.
    Displacement
Memindahkan perasaan yang tidak menyenangkan diri atau objek ke orang atau objek lain yang biasannya lebih kurang berbahaya dari pada semula.
    Undoing
Tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan menghapuskan atau meniadakan tindakan sebelumnya.
    Kompensasi
Menutupi kekurangan dengan meningkatkan keelebihan yang ada pada dirinya. Menurut Kalista Roy (1974) mengatakan manusia makluk yang unik karenanya mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung kemampuan adaptasi ini yang dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Selanjutnya Roy (1974) menerangkan proses adaptasi dipengaruhi oleh 2 aspek yaitu masing-masing individu dan kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress.

    Stresor (stimulus lokal)
Yaitu semua rangsang yang dihadapi individu dan memerlukan respon adaptasi. Mediator (proses adaptasi)
    Stimulus Internal
Yaitu faktor dari dalam yang dimiliki individu seperti keyakinan, pengalaman masa lalu, sikap, dan kepribadian.
    Stimulus eksternal (kontekstual)
Yaitu faktor dari luar yang berkontribusi atau melatar belakangi dan mempengaruhi respon adaptasi individu terhadap stresor yang dihadapi.
    Pengukuran Tingkat Kecemsan
 Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale).  Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor( skala likert) antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).
     Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic.  Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable.
    Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)  penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:
1.  Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,  mudah tensinggung.
2. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3.   Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.
4.   Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5.   Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.
6. Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7.   Gejala somatik: nyeni path otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
8.  Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.
9.  Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
   10. Gejala pemapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut.
12. Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
13. Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
  14. Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.
               Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:
0    = tidak ada gejala sama sekali
1    = Satu dari gejala yang ada
2    = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3    = berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4    = sangat berat semua gejala ada
  Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil:
1.  Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
2.  Skor 7 – 14            = kecemasan ringan.
3.  Skor 15 – 27          = kecemasan sedang.
4.  Skor lebih dari 27  = kecemasan berat.

    Tinjauan Umum Tentang Puskesmas
    Pengartian Puskesmas
       Menurut Depkes RI (2004), puskesmas adalah unit pelaksanaan Dinas Kesehatan kabupaten/Kota yang bertaggung jawab menyelenggrakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah kesehatan.
    Unit Pelaksana Teknis
Sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan kabupaten/kota (UPTD), Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagai dari tugas teknis operasional Dinkes kabupaten /kota dan merupakan unit pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
    Pembangunan Kesehatan
Pebangunan Kesehatan adalah penyelenggara upaya kesehatan oleh Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
    Pertanggungjawaban Penyelenggara
Penanggung jawab utama penyelenggara seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten / kota adalah Dinkes kabupaten / kota, sedangkan pukesmas bertanggung jawab hanya unuk sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinkes kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
    Wilayah Kerja
Secara Nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu Kecamatan, tetapi apabila lebih di  satu Kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinkes kabupaten / kota.
Puskesmas adalah organisasi kesehatan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat yang tinggal di wilayah kerja tertentu. Dalam pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat, Puskesmas mempunyai program berupa usaha-usaha kesehatan pokok. Secara rinci Puskesmas sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan ( Muninja,  2004 ) 
Secara sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama di Indonesia, pengelola program kerja Puskesmas berpedoman pada empat asas pokok yaitu ( Thironi, 2005 )
    Asas Pertanggungjawaban Wilayah
Puskesmas harus melaksanakan asas pertanggungjawaban wilayah. Artinya, Puskesmas bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan mayarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya.


    Asas Pemberdayaan masayarakat
Puskesmas harus melaksanakan asas pemberdayaan masyarakat. Artinya, Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat agar berperan aktif dalam penyelenggara setiap upaya Puskesmas.
    Asas Keterpaduan
Puskesmas harus melaksanakan asas keterpaduan. Artinya, untuk mengatasi keterbatasan sumber daya serta diperolehnya hasil yang optimal, penyelenggra setiap upaya Puskesmas harus diselenggarakan secara terpadu.
    Asas Rujukan
Puskesmas harus melaksanakan asas rujukan. Artinya, jika tidak mampu menangani suatu masalah kesehatan harus merujukan ke sarana kesehatan yang lebih mampu.

    Hubungan kecemasan dengan kejadian insomnia
Setiap permasalahan kehidupan yang manimpa pada diri seseorang (stresor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi atau faal organ tubuh, reaksi yang dialami oleh tubuh ini dikatakan stres (Yosep, 2007). Stres yang terjadi pada lansia berhubungan dengan kematian pasangan, status sosial ekonomi rendah, penyakit fisik yang menyertai, isolasi sosial dan spiritual. Perubahan kedudukan, pensiun, serta menurunnya kondisi fisik dan mental juga dapat mengakibatkan stres pada lansia (Nugroho, 2008).
Menurut Nugroho (2008), akibat stres psikososial yang dialami lansia dapat mengakibatkan kecemasan yang mendalam, penurunan kondisi fisik, kemarahan yang tak terkendali, bahkan dapat mengakibatkan perasaan depresi.
Menurut Rafknowledge (dalam Wibowo, 2009), kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan kesulitan tidur atau insomnia serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup.














BAB III
KERANGKA KONSEP
    Dasar Pemikiran
     Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur. Salah satu faktor yang mempengaruhi insomnia pada lansia adalah kecemasan. Prayitno (2004) menyatakan bahwa adanya kecemasan menyebabkan kesulitan memulai tidur, masuk tidur memerlukan waktu yang lebih dari 60 menit, timbulnya mimpi menakutkan dan mengalami kesukaran bangun di pagi hari, merasa kurang segar.
Ansietas adalah keadaan dimana seorang mengalami perasaan gelisah/cemas dan aktivasi sistem syaraf otonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas, tak spesifik. Seseorang yang mengalami ansietas tidak dapat mengidentifikasi ancaman. Ansietas dapat terjadi tanpa rasa takut namun ketakutan biasanya tidak terjadi tanpa ansietas. (Capernito, Linda jual,2012).
Dalam penelitian ini ada empat tingkat kecemasan yang di alami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik ( Peplauda ). Dalam penelitian ini penilaian yang digunakan yaitu dengan cara Hamilton Anxietas Rating Scale dengan skala HARS. ( Stuart & Sundeen, 2007)




Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut :
Variabel independent            Variabel Dependen




          keterangan :
            = Variabel independen yang diteliti
        = Variabel yang tidak diteliti
        = Variabel dependen
Gambar 1. Bagan kerangka konsep

    Variabel Penelitian
    Variabel Independen
Variabel ini sering disebut juga sebagai variabel stimulus, prediktor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia ssering disebut variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono 2011).
Variabel independen atau bebas dalam penelititan ini adalah tingkat kecemasan lansia diwilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

    Variabel Dependen
Variabel dependen sering disebut juga variabel output, criteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
( Sugiyono 2011).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian insomnia pada lansia diwilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

    Definisi Oprasinal dan Kriteria Objektif
    Kejadian insomnia
Seseorang dapat dikatakan mengalami insomnia dalam penelitai ini apabila kualitas dan kuantitas tidur terganggu. Dihitung berdasarkan 15 pertanyaan yang didapatkan dengan  kuesioner dan di ukur menggunakan skala Guttman, yakni jawaban ya diberi nilai 1 dan jawaban tidak diberi nilai 0. sehingga  diperoleh dengan skor nilai :
   Skor tertinggi            :   15 x 1  =15(100%)
   Skor terendah           :  15 x 0   = 0 (0%)
            Kemudian diukur dengan menggunakan rumus Sugiono (2006).
             I  =    R     ,   dimana :
                     K      
             I  =  Interval Kelas.
            R =  Range (kisaran yaitu nilai tertinggi-nilai terendah).
    =  (100 % - 0 %)  = 100%
           K  = Jumlah kategori = 2 (baik dan tidak baik).
            Jadi  untuk  I =    R      =      100%       = 50%.
                       K                 2
Kriteria obyektif :
Insomnia          :         Apa bila jawaban responden memperoleh nilai  ≥ 50% dari total skor jawaban 1-15 soal.
Tidak insomnia :        Apa bila jawaban responden memperoleh nilai < 50% dari total skor jawaban 1-15 soal.
    Tingkat Kecemasan
Kecemasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi yang dihubungkan dengan ketegangan yang di  alami sehari-hari.
Kriteria obyektif :
Kecemasan ringan   : Apabila hasil jawaban responden memperoleh nilai <  50 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.
Kecemasan sedang   : Apabila hasil jawaban responden memperoleh nilai 50 - 80 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.
Kecemasan berat      : Apabila hasil jawaban responden memperoleh nilai > 80 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.




    Hipotesis Penelitian
Ho : Tidak ada hubungannya kecemasan ringan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilaya kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013
Ha  : Ada hubungannya kecemasan ringan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
BAB IV
METODE PENELITIAN
    Jenis Penelitian
Penelitian ini ada adalah penelitian analtik dengan pendekatan Cross Sectional. Cross sectional yaitu sustu penelitian untuk mengetahui status dan hubungan satu dengan lainnya antara variabel independent dan variabel dependent  yang dilihat dari konteks dengan dilandasi dengan konsep teoritis serta mempelajari dinamika kolerasi faktor - faktor resiko dengan efek, dengan cara mengkaji atau mengumpulkan data sekaligus pada saat yang sama (poin tame approach) (Sugiyono 2011).  

    Waktu dan Lokasi Penelitian
    Waktu Penelitian
  Penelitian ini akan dilasanakan pada pada bulan Juni   2013.
     Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.



    Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
    Populasi
Yang menjadi populasi pada penelitian ini yaitu penduduk lansia yang tinggal di wilayah  kerja Puskesmas Kulisusu yang tercatatan pada buku kunjungan pustu Puskesmas Kulisusu disetiap desa  yang berjumlah 53 orang.
    Sampel
Yang akan menjadi sampel pada penelitian ini yaitu lansia yang berumur 60 tahun keatas yang diambil dari sebagian populasi  sejumlah 53 usila, sehingga diperoleh sampel sebanyak 47 usila yang ditentukan berdasarkan Notonoatmojo (2002), dengan rumus sebagai berikut :
n     =      N/(1+N (d^(2)) )
keterangan :
n : Besar sampel
N : Besar populasi
d : Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketepatan yang diinginkan (0,05) jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah :
n       =    N/(1+N 〖(d)〗^2 )
n      =    53/(1+53 ( 〖0,05〗^ )2)
                  =  53/(1+53 ( 0,0025))
=   53/(1+0,1325)
=    53/1,1325
               =   46,79          47 orang.
Dengan demikian maka akan sampel dalam penelitian ini berjumlah 47 orang yang dianggap mewakili seluruh populasi.
Kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, dimana kriteria tersebut menentukan dapat atau tidaknya sampel digunakan.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut :
a.Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2003) yaitu :
                      Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
:
    Lansia  yang telah mancapai usia 60 tahun keatas
    Sehat jasmani dan rohani.
    Berdomisili di  Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara
    Bersedia menjadi informan / responden
    Keluarga setuju untuk di ikut sertakan dalam penelitian.
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2003).
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah lansia dalam keadaan sakit fisik dan kejiwaan.
    Teknik Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling yaitu pemilihan sampel dilakukan secara proporsional  di dalam populasi tiap kelurahan. Kemudian pengambilan sampel dari masing-masing kelurahan dilakukan dengan cara simple random sampling. Adapun formulasi perhitungan jumlah contoh per kelurahan adalah sebagai berikut (Riyanto, 2011) :
    Jumlah sampel
                       x Jumlah populasi tiap kelurahan
                Jumlah populasi  
                      14
Kelurahan Bangkudu    :       x 47 = 12,41 =12
                         53   
                                                        

                                                       10
Kelurahan Loji    :     x   47 = 8,86 = 9       
                         53   
                         10   
Kelurahan Lipu     :      x 47 = 8,86 = 9
                                                        53

                            8                           
Kelurahan Bone Lipu    :            x 47 = 7,09 = 7
            53   
                  11
    Kelurahan Lakonea     :        x 47 = 9,75 = 10
            53
               
    Responden
Yang akan menjadi responden pada penelitian ini adalah lansia yanag terpilih menjadi sampel serta besedia untuk menjadi responden.
    Prosedur Pengumpulan Data
    Jenis data
    Data Primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada lansia dengan alat bantu kuisioner.

    Data sekunder
Data yang di ambil dari Puskesmas Kulisusu, Dinas Sosial Buton Utara, Biro Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara.
    Cara Pengambilan Data
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan teknik :
    Angket atau Kuesioner yaitu merupakan suatu daftar atau rangkaian pertanyaan yang disusun secara tertulis mengenai sesuatu yang berkaitan dengan penelitian. Angket yang digunakan adalah tipe pilihan ( tertutup ). Dalam hal ini pertanyaan diajukan kepada lansia dalam angket ini adalah mengenai tingkat kecemasan yang dialami lansia sehari-hari. Angket diberikan pada lansia yang akan dijadikan  sampel dalam penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan tingkat kecemasan ringan, sedang dan berat  dengan kejadian insomnia pada lansia.
    Wawancara yaitu merupakan tanya jawab yang akan dikerjakan secara sistematis berdasarakan pada tujuan penelitian. Wawancara ini dilakukan dengan lansia dan anaknya yang bersedia mendampinginya dalam mengisi kuesioner, dengan tujuan untuk memperoleh informasi dan melengkapi data yang akan diperlukan dalam penelitian.
    Dokumentasi yaitu suatu usaha aktif bagi suatu badan atau lembaga dengan menyajikan hasil pengolahan bahan-bahan dokumen yang bagi badan atau lembaga yang mengadakan. Dokumentasi yang akan dilakukan untuk memperoleh data tentang peristiwa. 
    Pengolahan Data,  Analisa Data, dan Penyajian Data
    Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer Melalui program Statistic program for Social Science ( SPSS) versi 15,0 for windows, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
    Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan dari hsial pengisian kuesioner yang sesuai dengan tujuan penelitian.
    Coding (pengkodean) merupakan kegiatan yang dilakukanuntuk mengisi daftar kode yang disediakan pada lembar acuan kuesioner sesuai dengan jawaban yang diisi dari laporan, selanjutnya dibuat didaftar variabel sesuai dengan yang ada didalam instrumen    penelitian. Apabila ada variabel yang diperlukan dalam instrumen penelitian maka tidak lagi dimasukan dalam daftar variabel. Selanjutnya untuk mempermudah pemasukan data maka dibuat formulir coding kemudia hasil coding siap untuk dimasukan kedalam komputer atau melalui perhitungan secara manual.
    Scoring adalah perhitungan secara manual dengan  menggunakan kalkulator untuk mengetahui presentase setiap variabel yang diteliti.
    Tabulasi adalah penyusunan data-data kedalam  tabel yang sesuai dengan analisis dan selanjutnya data tersebut  dianalisis sesuai dengan rumus yang telah ditetntukan.
    Analisa Data
Data yang akan dianalisis dengan menggunakan dua cara, anatara lain :
    Analisa Univariat
Dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel  yang akan diteliti. Dengan menggunkan rumus :
 (∑▒xi)/N  100 %
Keterangan :
∑xi = jumlah karateristik dari jumlah penelitian.
N   = jumlah total sampel.


    Analisis Bivariat
Dilakuakan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Pada penelitian ini akan dilakukan dengan menggunkan uji statistik Chi Square (x^2) dengan rumus 
                  X2 = ∑ ((0i-Ei)2)/Ei
Ketearangan :
X2 = Chi-square
O = Nilai Observasi ( observation value )
E = Nilai Harapan ( expected value )
Ada hubung jika X2 hitung ≥  X2 tabel Ho ditolak Ha diterima.
Tidak ada hubungan jika X2 hitung < X2 tabel Ho diterim Ha ditolak.
    Penyajian Data
Penyajian data akan dilakukan secara deskriptif dalam tabel distribusi frekuensi serta tabel analisis hubungan variabel bebas dan variabel terikat yang disertai dengan narasi.

    Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini Pihak Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Setelah mendapat persetujuan, barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yang meliputi :
    Informed concent
Lembar persetujuan diberikan kepada reponden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subyek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subyek.
    Anonimity
Untuk menjga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada kuesioner tetapi pada kuesioner terseut diberikan kode responden.
    Konfidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2008).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Umum Tentang Lanjut Usia
1.    Pengertian Lanjut Usia
Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merpakan tahap perkembangan normal yang akan di alami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notonoatmodjo 2007).
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun keatas (Setiabudi dan Hardywinoto, 2005). Menurut UU No. 13 Tahun 1998 (BAB I Pasal 1 Ayat 2) tentang Kesejahteraan Lanjut Usia “Lanjut usia adalah seseorang  yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas”.Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. (Efendi, 2005,http://www.depkes.co.id Retrieved Februari 23, 2013).
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup (Bastaman, 2000).
Teori Genetik dan Mutasi menyebutkan bahwa menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Menua ini terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai (Sikhan, 2009).
Menurut (Nugroho 2008) menyebutkan bahwa pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Jadi lanjut usia dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya.

2.    Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO Lanjut usia (elderly) ialah kelompok usia 60 sampai 74 tahun, Lanjut usia tua (old) ialah kelompok usia 75 sampai 90 tahun, Usia sangat tua (very old) ialah usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut pendapat Sumiati dalam buku keperawatan gerontik (2000) Membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut: Umur 40 – 65 tahun : masa setengah umur (prasenium), 65 tahun ke atas : masa lanjut usia (senium). Lain halnya dengan penapat Masdani dalam buku keperawatan gerontik (2000) Mengatakan bahwa lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi fase prasenium, antara 55 dan 65 tahun dan fase senium, antara 65 tahun hingga tutup usia. Sedangkan menurut Setyonegoro dalam buku keperawatan gerontik (2000) Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut : Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Untuk umur 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old). Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke atas.

3.    Masalah yang Sering Dihadapi oleh Lansia
Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya sebagai a series of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh) (Kemala Sari, 2010). Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi lansia adalah sebagai berikut :

a.    Demensia
Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada orang yang berusia > 65 tahun.
b.    Steres
Gangguan stres merupakan hal yang terpenting dalam problem lansia. Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi atau stres tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah yang dihadapi lansia yang membuat mereka depresi. Gejala depresi pada lansia dengan orang dewasa muda berbeda dimana pada lansia terdapat keluhan somatik.
c.    Skizofrenia
Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia lambat dibanding pria. Perbedaan onset lambat dengan awal adalah adanya skizofrenia paranoid pada tipe onset lambat.
d.    Gangguan Delusi
Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapatterjadi kapan saja.  Pada gangguan delusi terdapat waham yang tersering yaitu : waham kejar dan waham somatik.


e.    Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan panik pada lansia adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan gejala fobia pada lansia kurang serius daripada dewasa muda, tetapi efeknya sama, jika tidak lebih dapat menimbulkan debilitasi pada pasien lanjut usia. Teori eksistensial menjelaskan kecemasan tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi secara spesifik bagi perasaan yang cemas secara kronis. Kecemasan yang tersering pada lansia adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan dalam perkembangan kecemasan setelah suatu stresor yang berat. Gangguan stres lebih sering pada lansia terutama jenis stres pasca traumatik karena pada lansia akan mudah terbentuk suatu cacat fisik.
f.    Gangguan Somatiform
 Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan apada pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis adalah berhati-hati. Untuk mententramkan pasien perlu dilakukan pemeriksaan fisik ulang sehingga ia yakin bahwa mereka tidak memliki penyakit yang mematikan.Terapi pada gangguan ini adalah dengan pendekatan psikologis dan farmakologis.
g.    Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain
Riwayat minum/ketergantungan alkohol biasanya memberikan riwayat minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja / dewasa. Mereka biasanya memiliki penyakit hati. Sejumlah besar lansia dengan riwayat penggunaan alkohol terdapat penyakit demensia yang kronis seperti ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff. Presentasi klinis pada lansia termasuk terjatuh, konfusi, higienis pribadi yang buruk, malnutrisi dan efek pemaparan. Zat yang dijual bebas seperti kafein dan nikotin sering disalahgunakan. Di sini harus diperhatikan adanya gangguan gastrointestiral kronis pada lansia pengguna alkohol maupun tidak obatobat sehingga tidak terjadi suatu penyakit medik.
h.    Gangguan Tidur / Insomnia
Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur atau insomnia. Fenomena yang sering dikeluhkan lansia daripada usia dewasa muda adalah gangguan tidur, ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari. Secara klinis, lansia memiliki gangguan pernafasan yang berhubungan dengan tidur dan gangguan pergerakan akibat medikasi yang lebih tinggi dibanding dewasa muda. Disamping perubahan sistem regulasi dan fisiologis, penyebab gangguan tidur primer pada lansia adalah insomnia. Selain itu gangguan mental lain, kondisi medis umum, faktor sosial dan lingkungan. Gangguan tersering pada lansia pria adgangguan rapid eye movement (REM). Hal yang menyebabkan gangguan tidur juga termasuk adanya gejala nyeri, nokturia, sesak napas, nyeri perut. Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur. Perburukan yang terjadi adalah perubahan waktu dan konsolidasi yang menyebabkan gangguan pada kualitas tidur pada lansia.

4.    Teori Penuaan
Gerontologis tidak setuju tentang adaptasi penuaan. Tidak ada satu teoripun dapat memasukan semua variabel yang menyebabkan penuaan dan respon individu terhadap hal itu. Secara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis, teori psikologis, dan teori sosiokultural (Hartati, 2008).
a.    Teori Biologis
1)    Biological Programming Theory
Teori program biologis merupakan suatu proses sepanjang kehidupan sel yang terjadi sesuai dengan sel itu sendiri. Teori waktu kehiduan makhluk memperlihatkan adanya kemunduran biologis, kognitif, dan fungsi psikomotor yang tidak dapat dihindari dan diperbaiki, walaupun perubahan diet atau hipotermi dalam waktu yang lama dapat menunda proses tersebut.
2)    Wear and Tear Theory
Teori wear and tear ini menyatakan bahwa perubahan struktur dan fungsi dapat dipercepat oleh perlakuan kejam dan diprlambat oleh perawatan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penuaan merupakan hasil dari akumulasi stres, trauma, luka, infeksi, nutrisi yang tidak adekuat, gangguan metabolik dan imunologi, dan perlakuan kasar yang lama. Konsep penuaan ini memperlihatkan penerimaan terhadap mitos dan stereotif penuaan.
3)    Stress-Adaptasi Theory
Teori adaptasi stres ini menegaskan efek positif dan negatif dari stres pada perkembangan biopsikososial. Sebagai efek positif, stres menstimulasi seseorang untuk melakukan sesuatu yang baru, jalan adaptasi yang lebih efektif. Efek negatif dari stres bisa menjadiketidakmampuan fungsi karena perasaan yang terlalu berlebihan. Stres sering di asumsikan dapat mempercepat proses penuaan. Stres dapat mempengaruhi kemampuan penerimaan seseorang, baik secara fisiologi, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini dapat berakibat sakit atau injuri.

b.    Teori psikologis
1)    Erikson’s Stage of Ego Integrity
Teori Erikson tentang perkembangan manusia mengidentifikasi tugas yang harus dicapai pada setiap tahap kehidupan. Tugas terakhir, berhubungan dengan refleksi tentang kehidupan seseorang dan pencapaiannya, ini diidentifikasi sebagai integritas ego. Jika ini tidak tercapai maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan.
2)    Life Review Theory
Pada lansia, melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan proses yang normal berkaitan dengan pendekatan terhadap kematian. Reintegrasi yang sukses dapat memberikan arti dalam kehidupan dan mempersiapkan seseorang untuk mati tanpa disertai dengan kecemasan dan rasa takut. Hasil diskusi terakhir tentang proses ini menemukan bahwa melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan salah satu strategi untuk merawat masalah kesehatan jiwa pada lansia.
3)    Stability of Personality
Perubahan kepribadian secara radikal pada lansia dapat mengakibatkan penyakit otak. Para peneliti menemukan bahwa periode krisis psikologis pada saat dewasa tidak akan terjadi pada interval regular. Perubahan peran, perilaku dan situasi membutuhkan respon tingkah laku yang baru. Mayoritas lansia pada studi ini memperlihatkan adaptasi yang efektif terhadap kebutuhan ini.
c.    Teori Sosiokultural
1)    Disengagement Theory
Postulat pada teori ini menyatakan bahwa lansia dan penarikan diri dari lingkungan sosial merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Terdapat stereotype yang kuat dari teori ini termasuk ide bahwa lansia merasa nyaman bila berhubungan dengan orang lain seusianya.
2)    Activity Theory
Teori aktivitas berpendapat bahwa penuaan harus disertai dengan keaktifan beraktifitas sebisa mungkin. Teori ini memperlihatkan efek positif dari aktivitas terhadap kepribadian lansia, kesehatan jiwa, dan kepuasan dalam hidup.
3)     The Family in Later Life
Teori keluarga berfokus pada keluarga sebagai unti dasar perkembangan emosi seseorang. Teori ini berpendapat bahwa pusat proses siklus kehidupan adalah perubahan sistem hubungan dengan orang lain untuk medukung fungsi masuk, keluar dan perkembangan anggota keluarga. Gejala fisik, emosi, dan sosial dipercaya merupakan repleksi dari masalah negosiasi dan transisi pada siklus kehidupan keluarga.
B.    Tinjauan Umum Tentang Insomnia
1.    Pengertian
Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti pensiun dan perubahan pola sosial, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan penggunaan obat-obatan, penyakit yang dialami dan perubahan irama sirkadian. Proses patologis terkait usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur (Stanley dan Beare, 2007).
Isnomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena adanya perubahan pola tidur, biasanya menyerang tahap 4 (tidur dalam). Keluhan insomnia mencakup ketidakmampuan untuk tidur, sering terbangun, ketidakmampuan untuk kembali tidur dan terbangun pada dini hari. Karena insomnia merupakan gejala, maka perhatian khusus harus diberikan pada faktor-faktor biologis, emosional dan medis yang berperan juga kebiasaan tidur yang buruk (Stanley dan Beare, 2007).

2.    Faktor Penyebab Insomnia
Terjadinya insomnia ini disebabkan oleh beberapa hal seperti (Lumbantobing, 2004):
a.    Gangguan psikiatrik
Gangguan ini meliputi alkoholisme, gangguan tidur karena ketergantungan obat, depresi, stres, ansietas dan kehilangan.
b.    Gangguan medis
Gangguan ini meliputi gangguan pernapasan, refluks gastoresofegeal, fibromialgia, penyakit reumatologi dan lainnya.
c.    Gangguan neurologis
Gangguan ini meliputi parkinsonisme dan gangguan gerak lainnya, dimensia, penyakit degneratif, penyakit serebrovaskuler, epilepsy, nyeri kepala dan sindrom nyeri lainnya.
d.    Gangguan lingkungan
Gangguan ini misalnya kebisingan dan lingkungan yang tidak nyaman.
e.    Gangguan ritme sirkardian
Gangguan ini meliputi sindrom perubahan waktu, gangguan tidur oleh karena shift kerja dan pola tidur yang tidak regular.
f.    Gangguan perilaku
Gangguan ini meliputi insomnia psiko-fisiologis, hygiene tidur yang tidak adekuat, dan gangguan pada penyesuaian tidur.
g.    Gangguan tidur primer
Gangguan ini meliputi salah persepsi keadaan tidur, insomnia idiopatis, apnea waktu tidur, sindrom tungkai gelisah dan gerak ekstremitas periodik.
Menurut Stanley dan Beare (2007), terjadinya gangguan tidur pada lansia disebabkan oleh :
a.    Penyakit psikiatrik, terutama depresi
b.    Penyakit Alzheimer dan penyakit degeneratif neuro lainnya
c.    Penyakit kardiovaskuler dan perawatan pasca operasi bedah jantung
d.    Inkompetensi jalan napas atas
e.    Penyakit paru
f.    Sindrom nyeri
g.    Penyakit prostatik
h.    Endokrinopati

3.      Jenis-jenis insomnia
Insomnia terdiri atas tiga jenis (Stanley dan Beare, 2007):
a.    Jangka pendek yaitu kejadian insomnia yang berakhir beberapa minggu dan muncuk akibat pengalaman stres yang bersifat sementara seperti kehilangan orang yang dicintai, tekanan ditempat kerja, atau takut kehilangan pekerjaan. Biasanya kondisi ini dapat hilang tanpa intervensi medis setelah orang tersebut beradaptasi dengan stressor.
b.    Sementara yaitu timbulnya episode malam yang tidak sering terjadi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan seperti jet lag, kontruksi bangunan yang bising,atau pengalaman yang menimbulkan ansietas.
c.    Kronis yaitu kejadian insomnia yang berlangsung selama 3 minggu atau seumur hidup. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis, penggunaan obat tidur yang berlebihan, penggunaan alkohol yang berlebihan, gangguan jadwal tidur bangun dan masalah kesehatan lainyya (Stanley dan Beare, 2007).
4.    Dampak insomnia
Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain :
a.    Efek fisiologis : karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stres
b.    Efek psikologis : dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, kehilangan  motivasi, depresi dan lain-lain.
c.    Efek fisik/somatic : dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi dan sebagainya.
d.    Efek sosial : dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan social dan keluarga.
e.    Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang yang normal (Turana, 2007)
5.    Pengukuran insomnia
Ada atau tidaknya gangguan tidur atau insomnia dapat diukur melalui kuesioner dengan menunjukkan gejala-gejala insomnia yang ada seperti sulit mengawali tidur, terbangun ditengah malam atau terbangun terlalu pagi, terganggunya kualitas tidur dan kuwantitas tidur. Apabila muncul satu atau seluruh gejala yang ada maka dianggap telah terjadi insomnia.

6.    Kebutuhan Istirahat dan Tidur
1.    Tidur
Istirahat dan tidur menjalankan sebuah fungsi pemulihan baik secara fisiologis maupun psikologis.Secara fisiologis, tidur mengistirahatkan organ tubuh, menyimpan energi, menjaga irama biologis, dan memperbaiki kesadaran mental dan efisiensi neurologist. Secara psikologis, tidur mengurangi ketegangan dan meningkatkan perasaan sejahtera. (Stockslager dan Schaeffer,2008).
Menurut Feinberg (dalam Nugroho, 2008) mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi relative tetap, sementarara itu factor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Gangguan tidur pada lansia dapat disebabkan oleh factor ekstrinsik yang meliputi lingkungan yang kurang tenang dan factor intrinsik baik organ maupun psikogemik.Organik dapat berupa nyeri, gatal, kram betis, sakit gigi, sindrom tungkai bergerak, penyakit tertentu yang membuat gelisah. Sedangkan psikogemik dapat berupa depresi, kecemasan, stress, iritabilitas dan marah yang tidak tersalurkan.
Tidur adalah keadaan perilaku ritmik dan siklik yang terjadi dalam lima tahap (empat non rapid eye movement (NREM) dan satu rapid eye movement (REM)). Tidur terjadi secara alami, dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang melekat yang merupakan suatu proses perbaikan tubuh. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapat tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dapat terjadi efek-efek seperti pelupa, konfusi, dan disorientasi, terutama jika deprivasi tidur terjadi untuk waktu yang lama. Efek merugikan dari deprivasi tidur pada seseorang yang sudah mengalami konfusi, terutama penyakit Alzheimer, meliputi peningkatan agitasi, perilaku mengeluyur, gelisah dan sinrom matahari terbenam. Secara psikologis, tidur memungkinkan seseorang untuk mengalami perasaan sejahtera serta energi psikis dan kewaspadaan untuk menyelesaikan tugas-tugas (Stanley dan Beare, 2007).

a.    REM
Fenomena REM awalnya ditemukan dan dilaporkan oleh Aserinsky dan Kleitman (1954) dari University of Chicago keterangan ini di ambil dalam buku Gangguan Tidur. Lumbantobing, S. M. (2004). waktu tidur Rem menyerupai aktivitas waktu bangun. Pada fase ini berasosiasi dengan bermimpi pada manusia sehingga sering disebut tidur-mimpi. Pada stadium ini juga didapatkan gerak mata cepat yang menjadi tanda utama.
b.    NREM
Tidur NREM dibagi menjadi 4 tingkat (stadium), yaitu :
1.    Tingkat 1 (tidur ringan)
Pada stadium ini terjadi mengantuk, tidur ringan, pupil mata kontriksi dan dilatasi secara lambat, bola mata bergerak pelan bolak-balik, kelopak mata menutup sebagian atau semuanya. Pada stadium ini bila diukur waktu reaksi terhadap rangsang, terlihat melamban dan ketajaman intelektual menurun. Di tempat tidur, orang dengan stadium 1, tidur ringan dan bergerak atau menggeliat ringan.
2.    Tingkat 2 (tidur konsolidasi)
Individu yang berada dalam stadium ini bila dibangunkan ia merasa bahwa ia memang tertidur. Namun, sebagaimana halnya dengan stadium 1, ada individu yang merasa ia cukup sadar terhadap sekelilingnya, namun ia tidak menyadari seberapa jauh kesadarannya sudah menumpul. Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan ambang bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi serta terhadap rangsang menggerakkan badan.
3.    Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)
Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat pada rekaman EEG. Stadium tidur gelombang lambat bervariasi berkaitan dengan usia. Orang yang berusia lebih dari 60 tahun dapat tanpa tidur gelombang lambat dan anak yang sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase tinggi walaupun ia masih tidur ringan (Lumbantobing, S. M, 2004)
2.    Kebutuhan Istirahat
Menurut Lumbantobing (2004), Jumlah total tidur dalam satu hari pada masing-masing orang berbeda bergantung pada usia, pada lanjut usia dibutuhkan tidur selama 5-8 jam. Tidur kurang dari 6 jam semalam, umumnya mengakibatkan gejala deprivasi (kurang) tidur. Perlu juga diketahui bahwa tidur berlebihan dapat mengakibatkan tidur yang tidak menyegarkan dan rasa letih (Fatigue) di siang hari. Manusia butuh tidur 5-8 jam sehari. Sebenarnya, orang tua membutuhkan tidur sama banyaknya dengan orang dewasa lainnya.
Pola tidur mereka sering terganggu karena mereka sering terbangun di malam hari. Masingmasing individu memerlukan jumlah tidur yang berbeda. Mayoritas dari kita memerlukan antara 5 hingga 8 jam tidur setiap malam. Ada yang memerlukan lebih dari itu dan ada juga yang tanpa tidur lama dapat bangun dengan segar. Tidur sebaiknya tidak terpotong atau terganggu. Pada saat bangun, jika tidur cukup, badan akan terasa segar dan tidak lelah. Paling penting, umumnya tidak merasa ngantuk sepanjang harimeskipun sedang melakukan pekerjaan yang membosankan atau rutin. Jika masih terasa ngantuk pada saat beraktivitas, itu tandanya kualitas tidur anda kurang baik.

7.    Perubahan yang Terjadi pada Lansia yang Mengakibatkan Insomia
Nugroho (2008) menyebutkan beberapa perubahan pada lanjut usia diantaranya adalah :
1)    Perubahan Fisik
a.    Sel
1)    Lebih sedikit jumlahnya.
2)    Lebih besar ukurannya.
3)    Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraselular.
4)    Menurunya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati.
5)    Jumlah sel otak menurun.
6)    Terganggunya mekanisme perbaikan sel.
7)    Otak menjadi atrofi beratnya berkurang 5-10%.
b.    Sistem Persarafan
1)    Berat otak menurun 10-20%. (setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam setiap harinya).
2)     Cepatnya menurun hubungan persarafan
3)     Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress.
4)    Mengecilnya saraf panca indera. Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.
5)    Kurang sensitif terhadap sentuhan.
c.    Sistem Pendengaran
1)    Presbiakusis (gangguan pada pendengaran). Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun.
2)    Membrana timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
3)    Terjadinya pengumpualan cerumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin.
4)    Pendengaran bertambah menurun pada usia lanjut yang mengalami ketegangan jiwa/stress.
d.    Sistem Penglihatan
1)    Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap  sinar.
2)    Kornea lebih berbentuk sferis (bola).
3)    Lensa lebih suram (kekeruahan pada lensa) menjadi katarak, jelas menyeababkan gangguanpenglihatan.
4)    Menigkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, dan    susah melihat dalam cahaya gelap.
5)    Hilangnya daya akomodasi.
6)    Menurunya lapang pandang, berkurang luas pendangannya.
7)    Menurunya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala.
e.    Sistem Kardiovaskuler
1)    Elastisitas, dinding aorta menurun.
2)    Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
3)    Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4)    Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurang efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg (mengakibatkan pusing mendadak).
5)    Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistol normal kurang lebih 170 mmHg. Diastole normal kurang lebih 90 mmHg.
f.    Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu termostat, yaitu menetapakan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering ditemui, antara lain :
1)    Temperatur tubuh menurun (hipotermi) secara fisiologik kurang lebih 35 derajat celsius ini akibat metabolisme yang menurun.
2)    Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.
g.    Sistem Respirasi
1)    Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.
2)    Menurunya aktivitas dari silia.
3)    Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalam bernafas menurun
4)    Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.
5)    O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg.
6)    CO2 pada arteri tidak bergabti.
7)    Kemampuan untuk batuk berkurang.
8)    Kemampuan pegas, dinding, dada, dan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertumbuhan usia.
h.    Sistem Gastrointestinal
1)    Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
2)    Indera pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atrofi indera pengecap (kurang lebih 80%), hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit.
3)    Esofagus melebar.
4)    Lambung, rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun), asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
5)    Peristaltik lemah dan biasanya timbul kontipasi.
6)    Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi terganggu).
7)    Liver (hati), makin mengecil dan menurunya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah.
8)    Sistem reproduksi.
9)    Menciutnya ovari dan uterus.
10)     Atrofi payudara.
11)    Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.
12)    Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun (asal kondisi kesehatan baik), yaitu :
a)    Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia.
b)    Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan kemampuan seksual.
c)    Tidak perlu cemas karena merupakan perubahan alami.
13)Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya menjadi akali, dan terjadi perubahan-perubahan warna.
i.    Sistem Genitourinaria
1)    Ginjal
Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urien darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di glomelurus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi etrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang, akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun proteinuria (biasanya + 1) BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat sampai 21 mg % nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
2)    Vesikasi urinaria (kandung kamih)
Otot-otot menjadi lemah, kapsitasnya menurun sampai 20 ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni maningkat, vesika susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urin.
3)    Pembesaran prostat kurang lebih 75% dialami oleh pria usia 65 tahun.
4)    Atrofi vulva.
5)    Vagina.
Orang-oarang yang makin menua sexual intercourse masih juga membutuhkannya; tidak ada batasan umur tertentu fungsi seksual seseorang berhenti; ferkuensi sexual intercourse cenderung menurun secara bertahap tiap tahun tetapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus sampai tua.
j.    Sistem Endokrin
1)    Produksi dari hampir semua hormon menurun.
2)    Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
3)    Menurunya aktivitas tiroid, menurunya BMR= Basal Metabolic Rate, dan menurunya daya pertukaran zat.
4)    Menurunnya produksi aldesteron.
5)    Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya: progesteron, estrogen, dan testeron.
k.    Sistem Kulit (Integumentary System)
1)    Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
2)    Permukaan kulit kasar dan berisik (karena kehilangan proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis).
3)    Menurunnya respon terhadap trauma.
4)    Mekanisme proteksi kulit menurun.
5)    Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.
6)    Rambut dan hidung dan telinga menebal.
7)    Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi.
8)    Pertumbuhan kuku lebih lambat.
9)    Kuku jari menjadi keras dan rapuh.
10)    Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.
11)    Kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya.
12)    Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.
l.    Sistem Muskulosletal (Musculosceletal System)
1)    Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh.
2)    Kifosis.
3)    Pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.
4)    Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang).
5)    Persendian membesar dan menjadi kaku.
6)    Tendon mengkerut dan mengalami skelerosis.
7)    Atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil)Serabut-serabut otot mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot kram dan menjadi tremor.
8)    Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh.
2)    Perubahan Mental
Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental antara lain :
Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. Kesehatan umum. Tingkat pendidikan. Keturunan (Herediter). Lingkungan. Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin karena faktor lain seperti penyakit-penyakit. Perubahan pada gangguan mental ini dapat berupa depresi, ansietas, stres dan gangguangangguan lain. Ansietas sering dijumpai pada penderita insomnia dibandingkan oleh hal lain, yaitu sekitar 25-40% penderita disebabkan oleh ansietas (Lumbantobing, 2004)


3)    Perubahan Psikososial
a.    Pensiun
Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
1)    Kehilangan finansial (income berkurang).
2)    Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).
3)    Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
4)    Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
b.    Bila seseorang pensiun (perna tugas), ia akan mengalami kehilangan, antara lain:
1)    Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality).
2)    Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.
3)    Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation). Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan.
4)    Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
5)    Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.
6)    Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
7)    Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan dengan teman-teman dan family.
8)    Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.
4)    Perkembangan Spiritual
Menurut Maslow, (1978) agama atau kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupanya, sedangkan menurut pendapat Murray, & Zentner, (1970). Lain halnya dengan pendapat Fowler, (1978) mengatakan perkembangan spiritual pada usia 70 tahun perkembangan yang dicapai tingkatan ini berfikir dan bertindak dengan memberikan contoh cara mencintai dan keadilan. Kutipan tadi diambil dari buku Keperawatan Gerontik Nugroho (2008).
C. Tinjauan Umum Tentang Kecemasan
1.    Pengertian
Banyak pengertian kecemasan yang dikemukakan oleh berbagai ahli kesehatan antra lain; Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui ataundikenal (Stuart and Sundeens, 2011). Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Kaplan & Sadock, 1997). Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993). Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiea Zazty Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu ini pada umumnya tidak menyenangkan dan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis (misal gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat) dan psikologis (misalnya panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi). Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis (misal gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat) dan psikologis (misal panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi).
2.    Teori-Teori Psikologis Penyebab Kecemasan
a.    Faktor presdisposisi
1)    Teori psikoanalitik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikoanalitik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa,yaitu: sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya. (Prawirohusodo, 2005).
2)    Teori interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga. Dalam pandangan interpersonal ansietas timbul dari perasaan takut tidak adanya penerimaan dan penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan intrpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan lingkungan.
3)    Teori perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ketidakmampuan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan akan menimbulkan frustasi atau keputusasaan, keputusasaan inilah yang menyebabkan seorang menjadi ansietas. Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antra dua pilihan yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu. Konflik akan menimbulkan kecemasan dan kecemasan akan meningkatkan presepsi terhadap konflik dengan timbulnya rasa ketidakberdayaan. Konflik muncul dari dua kecenderungan yaitu “approach” dan “avoidance”. Approach merupakan kecenderungan untuk melakukan atau menggerakan sesuatu.Sedangkan avoidance adalah tidak melakukan atau menggerakan sesuatu melalui sesuatu.
4)    Teori eksistensial
Teori eksistensi tentang kecemasan memberikan model untuk gangguan kecemasan umum, dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan kronik. Konsep inti dari teori ini dalah bahwa seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan yang menonjol dalam dirinya, perasaan yang mungkin lebih mengganggu dari pada penerimaan kematian mereka yang tidak dapat dihindari (Arita Muwarni, 2008).
5)    Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga. Studi pada keluarga dalam bentuk dan sifatnya heterogen.
6)    Teori Biologi
Teori biologis menunjukan bahwa otak memiliki reseptor khusus terhadap benzoideazepin, reseptor tersebut membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut bergabung dengan aktifitas neurontransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktifitas neuron di bagian otak yang mengatur kecemasan. Billa GABA bersentuhan dengan sinaps dan berikatan 29 dengan reseptor GABA pada membran post sinaps akan membuka saluran atau pintu reseptor sehingga terjadi perpindahan ion. Perubahan ini akan mengakibatkan eksitasi sel dan memperlambat aktivitas sel. Teori ini menjelaskan individu yang sering mengalami kecemasan mempunyai masalah dengan proses neurontransmiter ini, bukan oleh konflik emosional. Mekanisme koping juga dapat terganggu karena pengaruh toksik, difisiensi nutrisi, menurunnya suplai darah, perubahan hormon dan penyebab fisik lainya. Kelelahan dapat meningkatkan iritabilitas dan perasaan cemas.
b.    Faktor prepitasi
Stresor prepitasi menurut Stuart & Sundeen (2007) berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Stresor prespitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu;

1.    Ancaman terhadap integritas fisik terdiri dari;
a.    Faktor internal yaitu meliputi kegagalan mekanisme fisiologis, sistem imun, regulasi suhu tubuh, dan perubahan biologis normal.
b.    Faktor eksternal yaitu meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangn nutrisi tidak adekuatnya tempat tinggal. Ancaman terhadap integritas fisik merupakan suatu perasaan yang mencemaskan muncul dari diri lansia terhadap kondisi fisiknya meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunkan kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari.
2.    Ancaman terhadap harga diri terdiri dari;
a.    Faktor internal yaitu meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di lingkungan dan penyesuaian diri terhadap peran baru.
b.    Sumber eksternal yaitu meliputi kehilangan orang yang di cintai, penceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok dan sosial budaya.
3.    Gabungan
Penyebab timbul ansietas gabungan dari genetik, perkembangan, stressor, gabungan dari genetic, perkembangan, stressor fisik, stresor psikososial.
3.    Rentang Respon Kecemasan
Stuart dan Sundeen (2007) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu :
a.    Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
1)    Respon Fisiologis
Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.
2)    Respon Kognitif
Lapang persegi meluas, mampu menerima rangsangan kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif.
3)    Respon perilaku
Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan suara kadang-kadang meninggi.
b.    Kecemasan sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun, sindividu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain.
1)    Respon Fisiologis
Sering nafas pendek, nadi ekstra sistolik dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah.
2)    Respon Kognitif
Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
3)    Respon Perilaku
Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), berbicara banyak dan lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman.
c.    Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntutan.
1.    Respon Fisiologis
Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringant dan sakit kepala, penglihatan kabur.
2.    Respon Kognitif
Lapang persepsi sangat menyempit dan tidak mampu menyelesaikan masalah.


3.    Respon Prilaku
Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.
d.    Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan.
1.    Respon Fisiologis
Nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, pucat sakit dada dan rendahnya koordanasi motorik.
2.    Respon Kognitif
Lapang persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, tidak dapat berfikir logis, dan ketidakmampuan mengalami distorsi.
3.    Respon Prilaku
Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak,bocking, presepsi kacau, kecemasan yang timbul dapat diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik, emosional dan kognitif atau intelektual.



4.    Proses Adaptasi Kecemasan
a.    Mekanisme koping
1.    Strategi pemecahan masalah.
Strategi pemecahan masalah bertujuan untuk mengatasi atau menanggulangi masalah atau ancaman yang ada dengan kemampuan realistis. Strategi pemecahan masalah ini secarah ringkas dpat digunakan dengan metode STOP yaitu Source, Trial and Error, Others, serta Pray and Patient. Source berarti mencari dan mengidentifikasi apa yang menjadi sumber masalah. Trial and error mencoba berbagi rencana pemecahan masalah yang disusun. Bila satu tidak berhasil maka mencoba lagi dengan metode yang lain. Begitu selanjutnya, others berarti meminta bantuan orang lain bila diri sendiri tidak mampu. Sedangkan pray and patient yaitu berdoa kepada Tuhan. Hal yang perlu dihindari adalah adanya rasa keputusasaan yang terhadap kegagalan yang dialami.
2.    Task oriented (berorentasi pada tugas)
a.    Dipikirkan untuk memecahkan masalah, konflik, memenuhi kebutuhan.
b.    Realistis memenuhi tuntunan situasi stress.
c.    Disadari dan berorentasi pada tindakan.
d.    Berupa reaksi melawan(mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan),menarik diri(mengindari sumber ancaman fisik atau psikologis),kompromi(mengubahcara, tujuan untuk memuaskan kebutuhan).
3.    Ego oriented
Dalam teori ini, ego oriented berguna untuk melindungi diri dengan perasaan yang tidak adekuat seperti inadequacy dan perasaan buruk berupa pengguanan mekanismme pertahanan diri (defens mechanism). Jenis mekanisme pertahan diri yaitu:
a.    Denial
Menghindar atau menolak untuk melihat kenyataan yang tidak diinginkan dengan cara mengabaikan dan menolak kenyataan tersebut.
b.    Proyeksi
Menyalakan orang lain mengenai ketidakmampuan pribadinya atas kesalahan yang diperbuatnya. Mekanisme ini diguakan untuk mengindari celaan atau hukuman yang mungkin akan ditimpakan pada dirinya.
c.    Represi
Menekan kedalam tidak sadar dan sengaja melupakan terhadap pikiran, perasaan, dan pengalaman yang menyakitkan.


d.    Regresi
Kemunduran dalam hal tingkah laku yang dilakukan individu dalam menghadapi stress.
e.    Rasionalisasi
Berusahah memberikan memberikan alasan yang masuk akal terhadap perbuatan yang dilakukanya.
f.    Fantasi
Keinginan yang tidak tercapai dipuaskan dengan imajinasi yang diciptakan sendiri dan merupakan situasi yangberkhyal.
g.    Displacement
Memindahkan perasaan yang tidak menyenangkan diri atau objek ke orang atau objek lain yang biasannya lebih kurang berbahaya dari pada semula.
h.    Undoing
Tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan menghapuskan atau meniadakan tindakan sebelumnya.
i.    Kompensasi
Menutupi kekurangan dengan meningkatkan keelebihan yang ada pada dirinya. Menurut Kalista Roy (1974) mengatakan manusia makluk yang unik karenanya mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung kemampuan adaptasi ini yang dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Selanjutnya Roy (1974) menerangkan proses adaptasi dipengaruhi oleh 2 aspek yaitu masing-masing individu dan kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress.
1.    Stresor (stimulus lokal)
Yaitu semua rangsang yang dihadapi individu dan memerlukan respon adaptasi. Mediator (proses adaptasi)
2.    Stimulus Internal
Yaitu faktor dari dalam yang dimiliki individu seperti keyakinan, pengalaman masa lalu, sikap, dan kepribadian.
3.    Stimulus eksternal (kontekstual)
Yaitu faktor dari luar yang berkontribusi atau melatar belakangi dan mempengaruhi respon adaptasi individu terhadap stresor yang dihadapi.
5.    Pengukuran Tingkat Kecemsan
           Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale).  Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor( skala likert) antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).
     Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic.  Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable.
    Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)  penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:
1.  Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,  mudah tensinggung.
2. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3.   Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.
4.   Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5.   Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.
6. Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7.   Gejala somatik: nyeni path otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
8.  Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.
9.  Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
   10. Gejala pemapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut.
12. Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
13. Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
  14. Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.
               Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:
0    = tidak ada gejala sama sekali
1    = Satu dari gejala yang ada
2    = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3    = berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4    = sangat berat semua gejala ada
  Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil:
1.  Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
2.  Skor 7 – 14            = kecemasan ringan.
3.  Skor 15 – 27          = kecemasan sedang.
4.  Skor lebih dari 27  = kecemasan berat.

D.    Tinjauan Umum Tentang Puskesmas
1.    Pengartian Puskesmas
       Menurut Depkes RI (2004), puskesmas adalah unit pelaksanaan Dinas Kesehatan kabupaten/Kota yang bertaggung jawab menyelenggrakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah kesehatan.
a.    Unit Pelaksana Teknis
Sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan kabupaten/kota (UPTD), Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagai dari tugas teknis operasional Dinkes kabupaten /kota dan merupakan unit pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
b.    Pembangunan Kesehatan
Pebangunan Kesehatan adalah penyelenggara upaya kesehatan oleh Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
c.    Pertanggungjawaban Penyelenggara
Penanggung jawab utama penyelenggara seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten / kota adalah Dinkes kabupaten / kota, sedangkan pukesmas bertanggung jawab hanya unuk sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinkes kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
d.    Wilayah Kerja
Secara Nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu Kecamatan, tetapi apabila lebih di  satu Kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinkes kabupaten / kota.
Puskesmas adalah organisasi kesehatan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat yang tinggal di wilayah kerja tertentu. Dalam pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat, Puskesmas mempunyai program berupa usaha-usaha kesehatan pokok. Secara rinci Puskesmas sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan ( Muninja,  2004 ) 
Secara sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama di Indonesia, pengelola program kerja Puskesmas berpedoman pada empat asas pokok yaitu ( Thironi, 2005 )
1.    Asas Pertanggungjawaban Wilayah
Puskesmas harus melaksanakan asas pertanggungjawaban wilayah. Artinya, Puskesmas bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan mayarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya.
2.    Asas Pemberdayaan masayarakat
Puskesmas harus melaksanakan asas pemberdayaan masyarakat. Artinya, Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat agar berperan aktif dalam penyelenggara setiap upaya Puskesmas.
3.    Asas Keterpaduan
Puskesmas harus melaksanakan asas keterpaduan. Artinya, untuk mengatasi keterbatasan sumber daya serta diperolehnya hasil yang optimal, penyelenggra setiap upaya Puskesmas harus diselenggarakan secara terpadu.
4.    Asas Rujukan
Puskesmas harus melaksanakan asas rujukan. Artinya, jika tidak mampu menangani suatu masalah kesehatan harus merujukan ke sarana kesehatan yang lebih mampu.

E.    Hubungan kecemasan dengan kejadian insomnia
Setiap permasalahan kehidupan yang manimpa pada diri seseorang (stresor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi atau faal organ tubuh, reaksi yang dialami oleh tubuh ini dikatakan stres (Yosep, 2007). Stres yang terjadi pada lansia berhubungan dengan kematian pasangan, status sosial ekonomi rendah, penyakit fisik yang menyertai, isolasi sosial dan spiritual. Perubahan kedudukan, pensiun, serta menurunnya kondisi fisik dan mental juga dapat mengakibatkan stres pada lansia (Nugroho, 2008).
Menurut Nugroho (2008), akibat stres psikososial yang dialami lansia dapat mengakibatkan kecemasan yang mendalam, penurunan kondisi fisik, kemarahan yang tak terkendali, bahkan dapat mengakibatkan perasaan depresi.
Menurut Rafknowledge (dalam Wibowo, 2009), kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan kesulitan tidur atau insomnia serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup.
BAB III
KERANGKA KONSEP
A.    Dasar Pemikiran
     Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur. Salah satu faktor yang mempengaruhi insomnia pada lansia adalah kecemasan. Prayitno (2004) menyatakan bahwa adanya kecemasan menyebabkan kesulitan memulai tidur, masuk tidur memerlukan waktu yang lebih dari 60 menit, timbulnya mimpi menakutkan dan mengalami kesukaran bangun di pagi hari, merasa kurang segar.
Ansietas adalah keadaan dimana seorang mengalami perasaan gelisah/cemas dan aktivasi sistem syaraf otonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas, tak spesifik. Seseorang yang mengalami ansietas tidak dapat mengidentifikasi ancaman. Ansietas dapat terjadi tanpa rasa takut namun ketakutan biasanya tidak terjadi tanpa ansietas. (Capernito, Linda jual,2012).
Dalam penelitian ini ada empat tingkat kecemasan yang di alami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik ( Peplauda ). Dalam penelitian ini penilaian yang digunakan yaitu dengan cara Hamilton Anxietas Rating Scale dengan skala HARS. ( Stuart & Sundeen, 2007)


Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut :

B.    Variabel Penelitian
a.    Variabel Independen
Variabel ini sering disebut juga sebagai variabel stimulus, prediktor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia ssering disebut variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono 2011).
Variabel independen atau bebas dalam penelititan ini adalah tingkat kecemasan ringan, sedang dan berat pada lansia diwilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
b.    Variabel Dependen
Variabel dependen sering disebut juga variabel output, criteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
( Sugiyono 2011).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian insomnia pada lansia diwilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
C.    Definisi Oprasinal dan Kriteria Objektif
1.    Kejadian insomnia
Seseorang dapat dikatakan mengalami insomnia dalam penelitai ini apabila kualitas dan kuantitas tidur terganggu.
Kriteria obyektif :
Insomnia     : Apa bila jawaban responden memperoleh      nilai  ≥ 50% dari total skor jawaban 1-15 soal.
Tidak insomnia    : Apa bila jawaban responden memperoleh nilai < 50% dari total skor jawaban 1-15 soal.
2.    Kecemasan ringan
Kecemasan ringan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi yang dihubungkan dengan ketegangan yang di  alami sehari-hari dimana lansia masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi lansia untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan memenghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
Kriteria obyektif :
Ada gejala             : Apa bila hasil jawaban responden           
                                 memperoleh nilai  ≥ 50 % dari total skor
                                 jawaban 1 – 14 soal.
Tiadak ada gejala  : Apa bila hasil jawaban responden memperoleh
                                nilai < 50 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.
3.    Kecemasan sedang
Kecemasan sedang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lansia terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.
Kriteria obyektif :
Ada gejala     : Apa bila hasil jawaban responden memperoleh 
                               nilai ≥ 50 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.
Tiadak ada gejala : Apa bila hasil jawaban responden memperoleh
                               nilai < 50 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.
4.    Kecemasan berat
Lapangan persepsi lansia sangat  sempit. Pusat perhatiannya pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain. Seluruh prilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah/arahan untuk terfokus pada area lain.
Kriteria obyektif :
Ada gejala     : Apa bila hasil jawaban responden memperoleh
                                nilai ≥ 50 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal.
Tiadak ada gejala : Apa bila hasil jawaban responden memperoleh nilai < 50 % dari total skor jawaban 1 – 14 soal .
D.    Hipotesis Penelitian
1.    Kecemasan ringan
Ho : Tidak ada hubungannya kecemasan ringan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilaya kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013
Ha     : Ada hubungannya kecemasan ringan dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
2.    Kecemasan sedang
Ho  : Tidak ada hubungannya kecemasan sedang dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahunu 2013.
Ha  : Ada hubungannya kecemasan sedang dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahunu 2013.
3.    Kecemasan berat
Ho  : Tidak ada hubungannya kecemasan berat dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.
Ha  : Ada hubungannya kecemasan berat dengan kejadian insomnia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

link download disini

No comments:

Post a Comment

* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya