Contoh Askep Demensia

ASUHAN KEPERAWATAN DEMENSIA


 http://asmanurs3.blogspot.com/

Oleh Kelompok I:
HENDIAWATI
ASMA
HASRIYATI
RUSLI
BASMAN RIYADI
NUR ASFIATI
JAINA LIFUMANGAU


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES IST-BUTON
BAUBAU
2013

KATA PENGANTAR

Tiada kata terindah yang patut diucapkan kepada ALLAH SWT selain ucapan puji dan syukur yang setinggi-tingginya karena berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nyalah sehingga kami dapat  menyelesaikan askep ini. Askep ini diharapkan berguna bagi mahasisiwa-mahasiswi sekalian.
    Selama penyusunan askep ini, penyusun telah mendapat begitu banyak bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen  “KEPERAWATAN GERONTIK”  yang telah membimbing kami dengan sabar dan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingan bagi kesempurnaan askep ini,  teristimewa orang tua yang telah mengasuh dan memberikan dorongan moral maupun bantuan material juga atas semua doa dan kasih sayang yang telah diberikan kepada kami dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga kebaikan dan  keikhlasannya mendapat balasan yang berlipat ganda dari ALLAH SWT. Amin. Kami menyadari dalam proses penyelesaian askep ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami selalu terbuka dan berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan askep ini dan demi terciptanya askep lain tentang ” DEMENSIA“ yang lebih baik di kemudian hari.
    Demikian, semoga askep ini berguna dan memberikan nilai tambah dan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
BauBau, 7 Juni 2013

Kelompok I 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    ......................................................................................... ii       
DAFTAR ISI    ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN    .................................................................................. 1
1.1    Latar Belakang    ......................................................................................... 1
1.2    Rumusan Masalah    ...................................................................................... 2
1.3    Tujuan dan Manfaat    ...................................................................................3
BAB II KONSEP MEDIS    ................................................................................ 3
A.    Definis Demensia    .........................................................................................3
B.    Klasifikasi    ..................................................................................................6
C.    Epidemiologi...    ............................................................................................9
D.    Etiologi    ......................................................................................................11
E.    Faktor Predisposisi dan Presipitasi    .............................................................12
F.    Tanda dan Gejala    .......................................................................................13
G.    Patofisiologi    .............................................................................................. 16
H.    Komplikasi Demensia    ................................................................................17
I.    Pemeriksaan Diagnostik    ..............................................................................18
J.    Penatalaksanaan Medik    ..............................................................................20
K.    Pencegahan dan Perawatan Demensia    .......................................................24
BAB III KONSEP ASUHANA KEPERAWATAN    ..........................................25
A.    Pengkajian    ................................................................................................25
B.    Diagnosa    ...................................................................................................28   
C.    Intervensi    ..................................................................................................29
BAB IV PENUTUP    .........................................................................................39
A.    Kesimpulan    ...............................................................................................39
B.    Saran                 ...........................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Demensia adalah sebuah sindrom karena penyakit otak, bersifat kronis atau progresif dimana ada banyak gangguan fungsi kortikal yang lebih tinggi, termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, belajar,kemampuan, bahasa, dan penilaian kesadaran tidak terganggu. Gangguan fungsikognitif yang biasanya disertai, kadang-kadang didahului, oleh kemerosotandalam pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi. Sindrom terjadi pada penyakit Alzheimer, di penyakit serebrovaskular dan dalam kondisi lain terutama atau sekunder yang mempengaruhi otak (Durand dan Barlow, 2006)
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian diperoleh data bahwa dimensia seringkali terjadi pada usia lanjut yang telah berumur kurang lebih 60 tahun. Dimensia tersebut dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: 1) Dimensia Senilis (60 tahun); 2) Demensia Pra Senilis (60 tahun). Sekitar 56,8% lansia mengalami demensia dalam bentuk Demensia Alzheimer (4% dialami lansia yang telah berusia 75 tahun, 16% pada usia 85 tahun, dan 32% pada usia 90 tahun). Sampai saat ini diperkirakan +/- 30 juta penduduk dunia mengalami Demensia dengan berbagai sebab (Oelly Mardi Santoso, 2002).
Pertambahan jumlah lansia Indonesia, dalam kurun waktu tahun 1990 - 2025, tergolong tercepat di dunia (Kompas, 25 Maret 2002:10). Jumlah sekarang 16 juta dan akan menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37 % penduduk dan ini merupakan peringkat ke empat dunia, dibawah Cina, India dan Amerika Serikat. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS 1998 adalah 63 tahun untuk pria dan 67 tahun untuk perempuan. (Meski menurut kajian WHO (1999), usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia, dan nomor satu adalah Jepang dengan usia harapan hidup rata-rata 74,5 tahun).
Gejala awal gangguan ini adalah lupa akan peristiwa yang baru sajaterjadi, tetapi bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi atau perubahan kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringandalam pola berbicara, penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana,menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-katayang tepat.Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkankesulitan dalam mengemudikan kendaraan. Pada akhirnya penderita tidak dapatmenjalankan fungsi sosialnya.
Demensia banyak menyerang mereka yang telah memasuki usia lanjut.Bahkan, penurunan fungsi kognitif ini bisa dialami pada usia kurang dari 50tahun. Sebagian besar orang mengira bahwa demensia adalah penyakit yanghanya diderita oleh para Lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapasaja dari semua tingkat usia dan jenis kelamin (Harvey, R. J. et al. 2003). Untuk mengurangi risiko, otak perlu dilatih sejak dini disertai penerapan gaya hidupsehat. (Harvey, R. J., Robinson, M. S. & Rossor, M. N, 2003).
Kondisi ini tentu saja menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan masalah demensia. Betapa besar beban yang harus ditanggung oleh negara atau keluarga jika masalah demensia tidak disikapi secara tepat dan serius, sehubungan dengan dampak yang ditimbulkannya. Mengingat bahwa masalah demensia merupakan masalah masa depan yang mau tidak mau akan dihadapi orang Indonesia dan memerlukan pendekatan holistik karena umumnya lanjut usia (lansia) mengalami gangguan berbagai fungsi organ dan mental, maka masalah demensia memerlukan penanganan lintas profesi yang melibatkan: Internist, Neurologist, Psikiater, Spesialist Gizi, Spesialis Rehabilitasi Medis dan Psikolog Klinis.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Apa definisi demensia
2.    Sebutkan klasifikasi, gejalah, penyebab, epidemiologi, faktor predisposisi dan presipitasi, komplikasi demensia
3.    Jelaskan patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis den pencegahan serta perawatannya.

C.    TUJUAN DAN MANFAAT

1.    Agar mampu menjelaskan definisi demensia
2.    Agar mampu menyebutkan klasifikasi, gejalah, penyebab, epidemiologi, faktor predisposisi dan presipitasi, komplikasi demensia
3.    Agar mampu menjelaskan patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis den pencegahan serta perawatannya.
BAB II
PEMBAHASAN

KONSEP MEDIS

A.    Definisi Demensia
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, danbisa terjadi kemunduran kepribadian. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak.Tetapi demensia biasanya timbul secara perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun. Namun demensia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal.
Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan penurunan beberapa kemampuan belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi fungsi. Lupa pada usia lanjut bukn merupakan pertanda dari demensia maupun penyakit Alzameir stadium awal. Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama
makin parah. Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil; tetapi penderita demensia bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.
Diagnosis dilaksanakan dengan pemeriksaan klinis, laboratorlum dan pemeriksaan pencitraan (imaging), dimaksudkan untuk mencari penyebab yang bisa diobati. Pengobatan biasanya hanya suportif. Zat penghambat kolines terasa (Cholinesterase inhibitors) bisa memperbaiki fungsi kognitif untuk sementara, dan membuat beberapa obat antipsikotika lebih efektif daripada hanya dengan satu macam obat saja. Demensia bisa terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lanjut usia (l.k 5% untuk rentang umur 65-74 tahun dan 40% bagi yang berumur >85 tahun). Kebanyakan mereka dirawat dalam panti dan menempati sejumlah 50% tempat tidur.
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita Demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavior symptom) yang menganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptif) (Voicer. L., Hurley, A.C., Mahoney, E.1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara
abnormal. Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit
otak degeneratif yang progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas bila mengalami demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh semua orang dari berbagai latarbelakang pendidikan mahupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat sebarang rawatan untuk demensia namun rawatan untuk menangani gejala-gejala boleh diperolehi.
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang
secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.
B.    Klasifikasi
Menurut Umur:
1.    Demensia senilis (>65th)
2.    Demensia prasenilis (<65th)
Menurut perjalanan penyakit:
1.    Reversibel
2.    Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit B Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel dengan meningkatnya cairan serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :
1)    Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
2)    Inkontinensia urin.
3)    Demensia.
Menurut kerusakan struktur otak
1.    Tipe Alzheimer
Dari semua pasien dengan demensia, 50 – 60 % memiliki demensia tipe ini. Orang yang pertama kali mendefinisikan penyakit ini adalah Alois Alzheimer sekitar tahun 1910. Demensia ini ditandai dengan gejala :
1)    Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,
2)    Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia, agnosia, gangguan fungsi eksekutif,
3)    Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,
4)    Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
5)    Kehilangan inisiatif.

2.    Demensia vascular
Penyakit ini disebabkan adanya defisit kognitif yang sama dengan Alzheimer  tetapi  terdapat gejala-gejala / tanda-tanda neurologis fokal seperti :
1)    Peningkatan reflek tendon dalam,
2)    Respontar eksensor,
3)    Palsi pseudobulbar,
4)    Kelainan gaya berjalan,
5)    Kelemahan anggota gerak.

3.    Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
Demensia dengan kumpulan Lewy (Lewy bodies) disebabkan oleh kemunduran dan matinya sel-sel syaraf diotak. Nama itu berasal dari adanya struktur-struktur abnormal berbentuk bola, disebut kumpulan Lewy, yang tumbuh di dalam sel-sel syaraf. Diduga struktur itu ikut menyebabkan kematian sel-sel otak. Orang yang mempunyai demensia dengan kumpulan Lewy cenderung melihat sesuatu yang tidak ada (mengalami halusinasi visual), mengalami kekakuan atau gemetar (parkinsonisme) dan kondisi mereka cenderung berubah-ubah secara cepat, sering dari jam ke jam atau dari hari ke hari. Gejala itu memungkinkan dibedakannya penyakit ini dari penyakit Alzheimer.
4.    Demensia Lobus frontal-temporal
Ini adalah nama yang diberikan kepada sebuah kelompok demensia jika terjadi proses kemunduran dalam satu atau keduanya dari lobus frontal atau lobus temporal otak. Termasuk dalam kelompok ini adalah Fronto Temporal lobus frontal dan lobus temporal), Progressive non-Fluent Aphasia (Afasia Progresif non-Fluent, penderita secara berangsur-angsur kehilangan kemampuan berbicara), Semantic Demensia (Demensia Semantik, penderita tidak mengerti arti kata-kata) dan penyakit Pick. Lebih dari 50% orang penderita FTLD mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit tersebut. Mereka yang mewarisinya sering mengalami mutasi gen pada protein tau dalam kromosom 17 yang menyebabkan diproduksinya protein tau yang abnormal. Tidak diketahui adanya faktor risiko lain.

5.    Morbus Parkinson
Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai dengan gejala :
1)    Disfungsi motorik.
2)    Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.
3)    Lobus frontalis dan defisit daya ingat.
4)    Depresi.

6.    Morbus Huntington
Demensia ini disebabkan penyakit herediter yang disertai dengan degenoivasi progresif pada ganglia basalis dan kortex serebral. Transmisi terdapat pada gen autosomal dominan fragmen G8 dari kromosom 4. Onset terjadi pada usia 35 – 50 tahun. Gejalanya :
1)    Demensia progresif.
2)    Hipertonisitas mascular.
3)    Gerakan koreiform yang aneh.

7.    Morbus Pick
Intraneunoral yang Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan perilaku yang terjadi secara progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada lobus frontalis. Penyakit ini juga sulit dibedakan dengan Alzheimer hanya bisa dengan otopsi, dimana otak menunjukkan inklusi disebut “badan Pick” yang dibedakan dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer.

8.    Morbus Jakob-Creutzfeldt
Penyakit ini disebabkan oleh degeneratif difus yang mengenai sistim piramidalis dan ekstrapiramidal. Pada penyakit ini tidak berhubungan dengan proses ketuaan. Gejala terminal adalah :
1)    Demensia parah.
2)    Hipertonisitas menyeluruh.
3)    Gangguan bicara yang berat.

C.    Epidemiologi
Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999)
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999)
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang.
Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer.
Insiden dimensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia, setelah 65 tahun. Prafalensia demensia meningkat 2 kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevelensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6 %. Penyebab sering dimensia di amerika serika dan eropa penyebab tersering demensia di amerika dan eropa adalah penyakit Alzameir sedangkan di asia diperkirakan dimensia vascular merupakan penyebab tersering demensia.
D.    Etiologi
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar :
1.    Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal, Sering pada golongan ini tidak ditemukan atrofia serebri, mungkin kelainan terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim, atau pada metabolisme seperti yang ditemukan pada penyakit alzheimer dan demensia senilis.
2.    Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati, penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
1)    Penyakit degenerasi spino-serebelar.
2)    Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
3)    Khorea Huntington
4)    penyakit jacob-creutzfeld dll
3.    Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan ini diantaranya :
1)    Penyakit cerebro kardiofaskuler
2)    penyakit- penyakit metabolik
3)    Gangguan nutrisi
4)    Akibat intoksikasi menahun
5)    Hidrosefalus komunikans
Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian berat sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari- hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat (pelupa). Demensia terutama yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat dengan usia lanjut. Penyakit alzheimer ini 60% menyebabkan kepikunan atau demensia dan diperkirakan akan meningkat terus.
Gejala klasik penyakit demensia alzheimer adalah kehilangan memori (daya ingat) yang terjadi secara bertahap, termasuk kesulitan menemukan atau menyebutkan kata yang tepat, tidak mampu mengenali objek, lupa cara menggunakan benda biasa dan sederhana, seperti pensil, lupa mematikan kompor, menutup jendela atau menutup pintu, suasana hati dan kepribadian dapat berubah, agitasi, masalah dengan daya ingat, dan membuat keputusan yang buruk dapat menimbulkan perilaku yang tidak biasa.
E.    Faktor Predisposisi dan Presipitasi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya demensia adalah:
1.    Degenerasi yang berhubungan dengan proses menua.
2.    Gangguan suplai oksigen, glukosa dan zat-zat makanan yang penting untuk fungsi otak:
3.    Arteriosklerotik vaskuler
4.    Serangan iskemik singkat
5.    Perdarahan otak
6.    Gangguan infak pada otak
7.    Penumpukan racun pada jaringan otak
8.    Penyakit hati kronik
9.    Penyakit ginjal kronik
10.    Kekurangan vitamin (B1 atau Tiamin)
11.    Malnutrisi
12.    Penyakit HIV

Factor presipitasi
Setiap kelainan atau gangguan pada otak dapat menjadi factor presipitasi pada gangguan kognitif. Kelainan tersebut antara lain:
1.    Hipoksia
2.    Gangguan metabolism (hipertiroidisme, hipotiroidisme, penyakit adrenal, hipoglikemia)
3.    Racun pada otak
4.    Adanya perubahan struktur pada otak
5.    Stimulus lingkungan yang kurang atau berlebih yang mengakibatkan gangguan sensori.
6.    Respon perlawanan terhadap pengobatan.
   
F.    Tanda dan Gejala
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
1.    Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2.    Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat penderita demensia berada
3.    Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
4.    Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5.    Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisa
6.    Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
7.    Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
8.    Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
9.    Defisit neurologik motorik & fokal
10.    Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
11.    Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
12.    Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
13.    Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
14.    Lupa meletakkan barang penting
15.    Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
16.    Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
17.    Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
18.    Tak dapat makan dan menelan
19.    Koma dan kematian.
G.    Patofisiologi
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai   pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayatkeluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. 
Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat.
ndividu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).

H.    Komplikasi Demensia
1.    Peningkatan risiko infeksi di seluruh bagian tubuh :
1)    Ulkus Dekubitus
2)    Infeksi saluran kencing
3)    Pneumonia
2.    Thromboemboli, infark miokardium.
3.    Kejang
4.    Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
5.    Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan menggunakan peralatan
6.    Kehilangan kemampuan berinteraksi
7.    Harapan hidup berkurang
I.    Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :
1.    Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
2.    Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atauhidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.
3.    Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.


4.    Riwayat psikiatrik    
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.
5.    Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.
6.    Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
7.    Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
8.    Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
.
9.    Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
10.    Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
11.    Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.

J.    Penatalaksanaan Medik
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi.
Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi -2dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor  dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya padapasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.

1.    Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
2.    Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi).
Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
1.    Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
2.    Antipsikotika atipik:
1)    Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
2)    Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
3)    Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
4)    Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
5)    Abilify 1 x 10 - 15 mg
6)    Anxiolitika
7)    Clobazam 1 x 10 mg
8)    Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
9)    Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
10)    Buspirone HCI 10 - 30 mg
11)    Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
12)    Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
13)    Antidepresiva
14)    Amitriptyline 25 - 50 mg
15)    Tofranil 25 - 30 mg
16)    Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
17)    SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
18)    Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
19)    Mood stabilizers
20)    Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
21)    Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
22)    Topamate 1 x 50 mg
23)    Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
24)    Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
25)    Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
26)    Priadel 2 - 3 x 400 mg

K.    Pencegahan & Perawatan Demensia
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia
diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa
mengoptimalkan fungsi otak, seperti :
1.    Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan zat adiktif yang berlebihan.
2.    Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap hari.
3.    Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif
Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
4.    Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki persamaan minat atau hobby.
5.    Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam
kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian

1.    Identitas
Indentias klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat.
2.    Keluhan utama
Keluhan utama atau sebab utama yang menyebbkan klien datang berobat (menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesadaran menurun.
3.    Pemeriksaan fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi menurun, takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang menurun dan tidak mau makan.
4.    Spiritual
Keyakina klien terhadapa agama dan keyakinannya masih kuat.a tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksnakan ibadatnmya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
5.    Status mental
1)    Penampila klien tidak rapi dan tidak mampu utnuk merawat dirinya sendiri.
2)    Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
3)    Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat dinmanifestasikan adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme, otomatis, steriotipi.

6.    Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan putus asa.

7.    Afek dan emosi.
Perubahan afek terjadi karena klien berusaha membuat jarak dengan perasaan tertentu karena jika langsung mengalami perasaa tersebut dapat menimbulkan ansietas. Keadaan ini menimbulkan perubahan afek yang digunakan klien untukj melindungi dirinya, karena afek yang telah berubahn memampukan kien mengingkari dampak emosional yang menyakitkan dari lingkungan eksternal. Respon emosional klien mungkin tampak bizar dan tidak sesuai karena datang dari kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul, datar, tidak sesuai, berlebihan dan ambivalen

8.    Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurawng kooperatif, kontak mata kurang.

9.    Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan, sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering ditemukan adalah halusinasi.

10.    Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern, tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang tidak logis.(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang kebenaran realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir yang dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya asosiasi, pemikiran magis, delusi (waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit misalnya ekholali, clang asosiasi dan neologisme.

11.          Tingkat kesadaran
Kesadaran yang menurun, bingung. Disorientasi waktu, tempat dan orang
1)    Memori: Gangguan daya ingat sudah lama terjadi (kejadian beberapa tahun yang lalu).
2)    Tingkat konsentrasi: Klien tidak mampu berkonsentrasi
3)    Kemampuan penilaian: Gangguan berat dalam penilaian atau keputusan.

12.    Kebutuhan klien sehari-hari

1)    Tidur, klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah . Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur kemabali. Tidurnya mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
2)    Selera makan, klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit, karea putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat badan.
3)    Eliminasi
Klien mungkin tergnaggu buang air kecilnya, kadang-kdang lebih sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola makan.

13.    Mekanisme koping
Apabila klien merasa tridak berhasil, kegagalan maka ia akan menetralisir, mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai pola koping mekanisme. Ketidak mampuan mengatasi secara konstruktif merupakan faktor penyebab primer terbentuknya pola tiungkah laku patologis. Koping mekanisme yang digunakan seseorang dalam keadaan delerium adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.

B.    Diagnosa Keperawatan

1.    Sindrom stress relokasi berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari ditandai dengan kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah laku defensive, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif.
2.    Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (degenerasi neuron ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau memori, hilang konsentrsi, tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
3.    Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi atau integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.
4.    Perubahan pola tidur  berhubungan dengan perubahan lingkungan ditandai dengan keluhan verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak mampu menentukan kebutuhan/ waktu tidur.
5.    Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas, menurunnya daya tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
6.    Risiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktivitas kejang.
7.    Risiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn sensori.
C.  I...n...t...e...r...v...e...n...s...i  l...e...n...g...k...a...p

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.    Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran
2.    Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia
3.    Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases)
4.    Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi kepribadian, halusinasi dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi Katastrofik, Sindrom Sundowner
5.    Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
6.    Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
7.    Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian
8.    Diagnosis Banding meliputi Demensia tipe Alzheimer lawan demensia vaskuler, demensia vaskuler lawan transient ishemic attacks , delirium, depresi, skizofrenia, proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi mental, gangguan ,depresi berat)
9.    Penatalaksanaan pasien demensia meliputi
10.    Terapi pada demensia meliputi psikososial, farmakoterapi, terapi dengan menggunakan pendekatan lain, Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)

B.    SARAN
Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan diagnosisnya membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan harus diingat penatalaksanaan pada pasien demensia bukan hanya farmakologi tetapi bersifat holistic yang juga mencakup psikososial dan Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih. Jakarta : EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa. Ni Made Sumarwati. Jakarta : EGC, 1999.

Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika; Jakarta

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Lumbantobing. 2006. Kecerdasan Pada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta: FKUI

Nugroho,Wahjudi.1999.  Keperawatan Gerontik.Edisi2.Buku Kedokteran. EGC;  Jakarta

Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta


0 Response to "Contoh Askep Demensia"

Post a Comment

* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya