askep anak

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Varicella Zooster Virus (VZV) adalah penyebab dari sindroma klinik Varicella atau Chickenpox. Varicella merupakan penyakit yang biasanya tidak berat, sembuh dengan sendirinya, dan merupakan infeksi primer (1,2,3). Zooster sebagai kesatuan klinis yang berbeda, disebabkan oleh reaktivitas dari VZV setelah infeksi primer, dimana VZV (disebut juga Human Herpes Virus – 3 / HVH-3) sendiri adalah virus dengan DNA double-stranded yang termasuk Alphaherpesvirinae(1,4). Setelah infeksi primer, VZV menempati sistem saraf sensoris terutama di Geniculatum, Trigeminal, atau akar Ganglia Dorsalis dan dormant di sana untuk beberapa tahun. Dengan bertambahnya umur atau keadaan immunocompromised, virus menjadi aktif kembali dan turun dari sistem saraf sensoris ke kulit sehingga muncul erupsi di kulit atau keluhan lain seperti nyeri tanpa manifestasi yang nampak di kulit (3,4,5). Varicella atau Chickenpox merupakan penyakit yang banyak ditemukan pada anak usia sekolah, dimana lebih dari 90% kasus diderita anak usia kurang dari 10 tahun. Penyakit ini tidak berat pada anak yang sehat, meskipun morbiditas meningkat pada orang dewasa dan pada pasien dengan immunocompromised. Data lain menyebutkan bahwa morbiditas penyakit ini 4000 kasus di rumah sakit dalam satu tahun, dan mortalitasnya 50 – 100 kematian dalam satu tahun, dengan perkiraan biaya perawatan mencapai 400 juta dollar sehingga pada tahun 1995 diadopsilah vaksinasi untuk penyakit ini (1,2). 1. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini asuhan keperawatan ini adalah untuk membahas mengenai cara mendiagnosis dini dan mekanisme terjadinya penyakit varicella pada anak. 1. Manfaat Manfaat dari asuhan keperawatan anak dengan varicella ini bermanfaat untuk melakukuan askep yang valid mulai dari pengkajian, diagnose keperawatan, proses kaperawatan, implementasi, evaluasi. BAB II TINJAUAN TEORI 1. KONSEP DASAR TEORI A. Definisi June M. Thomson mendefinisikan varisela sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus varisela-zoster (V-Z virus) yang sangat menular bersifat akut yang umumnya menganai anak, yang ditandai oleh demam yang mendadak, malese, dan erupsi kulit berupa makulopapular untuk beberapa jam yang kemudian berubah menjadi vesikel selama 3-4 hari dan dapat meninggalkan keropeng (Thomson, 1986, p. 1483). Sedangkan menurut Adhi Djuanda varisela yang mempunyai sinonim cacar air atau chickenpox adalah infeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa yang secara klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorfi terutama dibagian sentral tubuh (Djuanda, 1993). B. ANATOMII FISIOLOGI organ kulit 1)Epidermis (Kutilkula) Epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit, yang memiliki struktur tipis dengan ketebalan sekitar 0,07 mm terdiri atas beberapa lapisan, antara lain seperti berikut : a) Stratum korneum yang disebut juga lapisan zat tanduk. Letak lapisan ini berada paling luar dan merupakan kulit mati. Jaringan epidermis ini disusun oleh 50 lapisan sel-sel mati, dan akan mengalami pengelupasansecara perlahan-lahan, digantikan dengan sel telur yang baru. b) Stratum lusidum, yang berfungsi melakukan “pengecatan” terhadap kulit dan rambut. Semakin banyak melanin yang dihasilkan dari sel-sel ini, maka warna kulit akan menjadi semakin gelap. Coba Anda perhatikan kulit orang “suku Dani di Irian dengan suku Dayak di Kalimantan pada Gambar 7.8! Jika dikaitkan dengan hal ini apa yang terjadi pada kulit dari kedua suku tersebut? Selain memberikan warna pada kulit, melanin ini juga berfungsi untuk melindungi sel-sel kulit dari sinar ultraviolet matahari yang dapat membahayakan kulit. Walaupun sebenarnya dalam jumlah yang tepat sinar ultraviolet ini bermanfaat untuk mengubah lemaktertentu di kulit menjadi vitamin D, tetapi dalam jumlah yang berlebihan sangat berbahaya bagi kulit. Kadang-kadang seseorang menghindari sinar matahari di siang hari yang terik, karena ingin menghindari sinar ultraviolet ini. Hal ini disebabkan karena ternyata sinar ultraviolet ini dapat membuat kulit semakin hitam. Berdasarkan riset, sinar ultraviolet dapat merangsang pembentukan melanosit menjadi lebih banyak untuk tujuan perlindungan terhadap kulit. Sedangkan jika kita lihat seseorang mempunyai kulit kuning langsat, ini disebabkan orang tersebut memiliki pigmen karoten. c) Stratum granulosum, yang menghasilkan pigmen warna kulit, yang disebut melamin. Lapisan ini terdiri atas sel-sel hidup dan terletak pada bagian paling bawah dari jaringan epidermis. d) Stratum germinativum, sering dikatakan sebagai sel hidup karena lapisan ini merupakan lapisan yang aktif membelah. Sel-selnya membelah ke arah luar untuk membentuk sel-sel kulit teluar. Sel-sel yang baru terbentuk akan mendorong sel-sel yang ada di atasnya selanjutnya sel ini juga akan didorong dari bawah oleh sel yang lebih baru lagi. Pada saat yang sama sel-sel lapisan paling luar mengelupas dan gugur. 2) Jaringan dermis memiliki struktur yang lebih rumit daripada epidermis, yang terdiri atas banyak lapisan. Jaringan ini lebih tebal daripada epidermis yaitu sekitar 2,5 mm. Dermis dibentuk oleh serabut-serabut khusus yang membuatnya lentur, yang terdiri atas kolagen, yaitu suatu jenis protein yang membentuk sekitar 30% dari protein tubuh. Kolagen akan berangsur-angsur berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Itulah sebabnya seorang yang sudah tua tekstur kulitnya kasar dan keriput. Lapisan dermis terletak di bawah lapisan epidermis. Lapisan dermis terdiri atas bagian-bagian berikut. Folikel rambut dan struktur sekitarnya a)Akar Rambut Di sekitar akar rambut terdapat otot polos penegak rambut (Musculus arektor pili), dan ujung saraf indera perasa nyeri. Udara dingin akan membuat otot-otot ini berkontraksi dan mengakibatkan rambut akan berdiri. Adanya saraf-saraf perasa mengakibatkan rasa nyeri apabila rambut dicabut. b)Pembuluh Darah Pembuluh darah banyak terdapat di sekitar akar rambut. Melalui pembuluh darah ini akar-akar rambut mendapatkan makanan, sehingga rambut dapat tumbuh. c)Kelenjar Minyak (glandula sebasea) Kelenjar minyak terdapat di sekitar akar rambut. Adanya kelenjar minyak ini dapat menjaga agar rambut tidak kering. d)Kelenjar Keringat (glandula sudorifera) Kelenjar keringat dapat menghasilkan keringat. Kelenjar keringat berbentuk botol dan bermuara di dalam folikel rambut. Bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar keringat adalah bagian kepala, muka, sekitar hidung, dan lain-lain. Kelenjar keringat tidak terdapat dalam kulit tapak tangan dan telapak kaki. e)Serabut Saraf Pada lapisan dermis terdapat puting peraba yang merupakan ujung akhir saraf sensoris. Ujung-ujung saraf tersebut merupakan indera perasa panas, dingin, nyeri, dan sebagainya. Jaringan dermis juga dapat menghasilkan zat feromon, yaitu suatu zat yang memiliki bau khas pada seorang wanita maupun laki-laki. Feromon ini dapat memikat lawan jenisDermis (Kulit Jangat) C. Etiologi Penyebab dari varisela adalah virus varisela-zoster. Penamaan virus ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini menyebabkan timbulnya penyakit varisela, sedangkan reaktivasi (keadaan kambuh setelah sembuh dari varisela) menyebabkan herves zoster. D. Manifestasi Klinis Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14-21 hari. Gejala klinis mulai dari gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malese dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfi. Penyebarannya terutama didaerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut dan saluran nafas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder terjadi pembesaran kelenjar getah bening regional (lymphadenopathy regional). Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal. E. PATOFISIOLOGI Varicella primer disebabkan oleh infeksi Varicella Zooster Virus, suatu Herpes Virus. Penularan melalui inhalasi (droplet) atau kontak langsung dengan lesi di kulit penderita. Infeksi biasanya terjadi dengan menembus selaput konjungtiva atau lapisan mukosa saluran napas atas penderita. Kemudian terjadi replikasi virus di limfonodi setelah dua sampai empat hari sesudahnya, dan diikuti viremia primer yang terjadi setelah empat sampai enam hari setelah inokulasi awal. Virus kemudian menggandakan diri di liver, spleen, dan organ lain yang memungkinkan. Viremia kedua, ditandai dengan adanya partikel – partikel virus yang menyebar di kulit 14 sampai 16 hari sejak paparan awal, menyebabkan typical vesicular rash. Ensefalitis, hepatitis, atau pneumonia dapat terjadi pada saat itu. Periode inkubasi biasanya berlangsung antara 10 sampai 21 hari. Pasien mampu menularkan penyakitnya sejak satu sampai dua hari sebelum muncul rash sampai muncul lesi yang mengeras, biasanya lima sampai enam hari setelah muncul rash pertama kali. Meskipun kebanyakan infeksi varicella menimbulkan kekebalan seumur hidup, pernah dilaporkan infeksi ulangan pada anak yang sehat. Hal lain yang harus dijelaskan, setelah infeksi primer VZV bertahan hidup dengan cara menjadi dormant di system saraf sensorik, terutama Geniculatum, Trigeminal, atau akar Ganglia Dorsalis dan dormant. Mekanisme imunologi host gagal menekan replikasi virus, namun VZV diaktifkan kembali jika mekanisme host gagal menampilkan virus. Kadang – kadang terjadi setelah ada trauma langsung. Viremia VZV sering terjadi bersama dengan herpes zoster. Virus bermigrasi dari akar saraf sensoris dan menimbulkan kehilangan sensoris pada dermatom dan rash yang nyeri dan khas. Infeksi varicella zoster Kontak langsung inhalasi Virus II virus I Partikel virus infeksi Menyebar dikulit slptkonjugtiva lapsn mukosa sal nafas 4-16 hari 4-6 hari Ensepalitis,hepatitis, typical vesikuler menggandakan diri Pneumonia Menlarkan penykt diliver,spleen.organ lain Lesi mengeras Vurus varicella Kekebalan tubuh F. Penatalaksanaan Pengobatan bersifat simtomatik dengan antipiretik dan analgesik, untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedativ. Secara lokal diberikan bedak yang ditambah dengan zat anti gatal (antipruritus) seperti menthol, kamfor dll, untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan obat-obat anti virus seperti asiklovir dengan dosisi 5 x 400 mg sehari selama 7 hari dengan hasil yang cukup baik. Selain itu dapat pula diberikan imunotimulator seperti isoprinosin. Satu tablet 500 mg. Dosisnya 50 mg/kg berat badan sehari, dengan dosisi maksimum 3000 mg sehari. Umumnya dosis untuk orang dewasa 6 x 1 tablet atau 4 x 1 tablet sehari. Lama pengobatan sampai penyakit membaik. Obat ini diberikan jika lama penyakitnya telah lebih 3 hari 2. KONSEP DASAR ASKEP A. Pengkajian • Gejala subyektif berupa keluhan nyeri kepala, anorexia dan malese. • Pada kulit dan membran mukosa : Lesi dalam berbagai tahap perkembangannya : mulai dari makula eritematosa yang muncul selama 4-5 hari kemudian berkembang dengan cepat menjadi vesikel dan krusta yang dimulai pada badan dan menyebar secara sentrifubal kemuka dan ekstremitas. Lesi dapat pula terjadi pada mukosa, palatum dan konjunctiva. • Suhu : dapat terjadi demam antara 38°-39° C b. Diagnosa keperawatan 1. gangguan integritas kulit b/d Trauma 2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d kerusakan kulit/jaringan 3. Potensial penularan infeksi b/d kerusakan perlindungan kulit 4. Kurang pengetahuan b/d salah interpretasi informasi c. Intervensi keperawatan DX 1 gangguan integritas kulit B/D trauma Intervensi : • Anjurkan mandi secara teratur • Hindari menggaruk lesi • Gunakan pakaian yang halus/lembut DX2 Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d kerusakan kulit/jaringan • Gunakan analgetik dan bedak antipruritus. • Pertahankan suhu ruangan tetap sejuk dengan kelembaban yang adekuat. DX3 Potensial penularan infeksi b/d kerusakan perlindungan kulit • Lakukan isolasi (strict isolation) : Prosedur strict isolation : a. Ruangan tersendiri; pintu harus selalu tertutup. Klien yang terinfeksi karena organisme yang sama dapat ditempatkan dalam ruangan yang sama. b. Gunakan masker, pakaian khusus, dan sarung tangan bagi semua orang yang masuk kedalam ruangan. c. Selalu cuci tangan setelah menyentuh klien atau benda-benda yang kemungkinan terkontaminasi serta sebelum memberikan tindakan kepada klien lain. d. Semua benda-benda yang terkontaminasi dibuang atau dimasukan kedalam tempat khusus dan diberi label sebelum dilakukan dekontaminasi atau diproses ulang kembali DX4 Kurang pengetahuan b/d salah interpretasi informasi • Ajarkan pada orang tua dalam melakukan perawatan terhadap anaknya di ruamah tentang hal-hal di atas. • Jelaskan bahwa demam d apat diatasi dengan melakukan tepid sponge bath. Jealskan bahwa penggunaan medikasi harus sesuai dengan petunjuk dikter D. IMPLEMENTASI gangguan integritas kulit B/D trauma dapat dilakukan tindakan : •1. Menganjurkan mandi secara teratur 2. Menghindari menggaruk lesi 3. Menggunakan pakaian yang halus/lembut E. Evaluasi Masalah gangguan intebritas kulit dikatakan teratasi apabila : Fungsi kulit dan membran mukosa baik dengan parut minimal. • Krusta berkurang • Suhu kulit, kelembaban dan warna kulit serta membran mukosa normal alami Tidak terjadi komplikasi dan infeksi sekunder • Tidak terdapat kelainan neurologik • Tidak terjadi kelainan respiratorik. Suhu tubuh normal. BAB III PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN Varicella atau Chickenpox merupakan penyakit yang banyak ditemukan pada anak usia sekolah, dimana lebih dari 90% kasus diderita anak usia kurang dari 10 tahun. Penyakit ini tidak berat pada anak yang sehat, meskipun morbiditas meningkat pada orang dewasa dan pada pasien dengan immunocompromised. Data lain menyebutkan bahwa morbiditas penyakit ini 4000 kasus di rumah sakit dalam satu tahun, dan mortalitasnya 50 – 100 kematian dalam satu tahun, dengan perkiraan biaya perawatan mencapai 400 juta dollar sehingga pada tahun 1995 diadopsilah vaksinasi untuk penyakit ini (1,2). DAFTAR PUSTAKA Adhi Djuanda (1993). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Kedua, FK Universitas Indonesia, Jakarta, 1993. June M. Thomson, et. al. (1986). Clinical Nursing Practice, The C.V. Mosby Company, Toronto. Arief, M, Suproharta, Wahyu J.K. Wlewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ED : 3 jilid : 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal. Closkey, Mc, et all. 2007. Diagnosa Keperawatan NOC-NIC. St-Louis.   Asuhan Keperawatan Hisprung A. Pengertian Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi. Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir  3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ). B. Etiologi Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. C. Patofisiologi Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197). Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ). D. Manifestasi Klinis Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317). Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ). 1. Anak – anak a Konstipasi b Tinja seperti pita dan berbau busuk c Distenssi abdomen d Adanya masa difecal dapat dipalpasi e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ). 2. Komplikasi a Obstruksi usus b Konstipasi c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit d Entrokolitis e Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ) E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan : a Daerah transisi b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit c Entrokolitis padasegmen yang melebar d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 ) 2. Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 ) 3. Biopsi otot rektum Yaitu pengambilan lapisan otot rektum 4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 ) 5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus ( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 ) 6. Pemeriksaan colok anus Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan. F. Penatalaksanaan 1. Medis Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu : a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya. b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama ( Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 ) Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K 2004 : 37 ) 2. Perawatan Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain : a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan ) d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 ) Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT ) Konsep Tumbuh Kembang Anak Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ). Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ). 1. Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman. Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan. Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004). 2. Fokus Intervensi a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces ( Wong, Donna, 2004 : 508 ) Tujuan : 1. anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan Kriteria Hasil 1. Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi 2. Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik Intervensi : 1. Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 % 2. Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali 3. Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah 4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses 5. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah Tujuan : 1. Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan Kriteria Hasil 1. Berat badan pasien sesuai dengan umurnya 2. Turgor kulit pasien lembab 3. Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan Intervensi 1. Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan 2. Ukur berat badan anak tiap hari 3. Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily & Sowden 2002:197) Tujuan : 1. Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh Kriteria Hasil 1. Turgor kulit lembab. 2. Keseimbangan cairan. Intervensi 1. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien 2. Pantau tanda – tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake – output 3. Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. ( Whaley & Wong, 2004 ). Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat Kriteria hasil : 1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat – obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali Intervensi 1. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal – hal yang ingn diketahui sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien 2. Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon 3. Kaji latar belakang keluarga 4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat – obatan pada keluarga pasien 5. Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien Menggunakan liflet aatau agmbar dalam menjelaskan ( Suriadi & Yuliani, 2001: 60 ). DAFTAR PUSTAKA A. Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius FKUI Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC Carpenito. LJ ( 2001 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto. Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk. Jakarta : Bina Rupa Aksara Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika Jakaarta. Suherman. ( 2000 ). Buku Saku Perkembanagn Anak. Jakarta : EGC Suryadi dan Yuliani, R ( 2001 ) Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto Wong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC Yupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC   ASKEP LABIOPALATOSCHIZIS TINJAUAN TEORITIS PENYAKIT A. Pengertian Labio palatoshcizis atau sumbing bibir langitan adalah cacat bawaan berupa celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit (Fitri Purwanto, 2001). Labio palatoshcizis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut palato shcizis (sumbing palatum) labio shcizis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio (Hidayat, 2005). Labio palatoschizis adalah merupakan congenital anomaly yang berupa adanya kelainan bentuk pada wajah ( Suryadi SKP, 2001). Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa labio palatoschizis adalah suatu kelainan congenital berupa celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio. Beberapa jenis bibir sumbing : a. Unilateral Incomplete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung. b. Unilateral complete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke hidung. c. Bilateral complete Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. B. Etiologi 1. Faktor herediter 2. Kegagalan fase embrio yang penyebabnya belum diketahui 3. Akibat gagalnya prosessus maksilaris dan prosessus medialis menyatu 4. Dapat dikaitkan abnormal kromosom, mutasi gen dan teratogen (agen/faktor yang menimbulkan cacat pada embrio). 5. Beberapa obat (korison, anti konsulfan, klorsiklizin). 6. Mutasi genetic atau teratogen. C. Patofisiologi 1. Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trimester I. 2. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu. 3. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. 4. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan. Penyebab utama bibir sumbing karena kekurangan seng dan karena menikah/kawin dengan saudara/kerabat. Bagi tubuh, seng sangat dibutuhkan enzim tubuh. Walau yang diperlukan sedikit, tapi jika kekurangan berbahaya. Sumber makanan yang mengandung seng antara lain : daging, sayur sayuran dan air. Di NTT airnya bahkan tidak mengandung seng sama sekali. Soal kawin antara kerabat atau saudara memang menjadi pemicu munculnya penyakit generatif, (keterununan) yang sebelumnya resesif. Kekurangan gizi lainya seperti kekurangan vit B6 dan B complek. Infeksi pada janin pada usia kehamilan muda, dan salah minum obat obatan/jamu juga bisa menyebabkan bibir sumbing. Proses terjadinya labio palatoshcizis yaitu ketika kehamilan trimester I dimana terjadinya gangguan oleh karena beberapa penyakit seperti virus. Pada trimester I terjadi proses perkembangan pembentukan berbagai organ tubuh dan pada saat itu terjadi kegagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan lunak atau tulang selama fase embrio. Apabila terjadinya kegagalan dalam penyatuan proses nasal medical dan maxilaris maka dapat mengalami labio shcizis (sumbing bibir) dan proses penyatuan tersebut akan terjadi pada usia 6-8 minggu. Kemudian apabila terjadi kegagalan penyatuan pada susunan palato selama masa kehamilan 7-12 minggu, maka dapat mengakibatkan sumbing pada palato (palato shcizis). D. Manifestasi Klinis 1. Deformitas pada bibir 2. Kesukaran dalam menghisap/makan 3. Kelainan susunan archumdentis. 4. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan. 5. Gangguan komunikasi verbal 6. Regurgitasi makanan. 7. Pada Labio skisis Distorsi pada hidung Tampak sebagian atau keduanya Adanya celah pada bibir 8. Pada Palati skisis a. Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen incisive. b. Ada rongga pada hidung. c. Distorsi hidung d. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksadn jari e. Kesukaran dalam menghisap/makan. E. Komplikasi 1. Gangguan bicara 2. Terjadinya atitis media 3. Aspirasi 4. Distress pernafasan 5. Resiko infeksi saluran nafas 6. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat 7. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh atitis media rekureris sekunder akibat disfungsi tuba eustachius. 8. Masalah gigi 9. Perubahan harga diri dan citra tubuh yang dipengaruhi derajat kecacatan dan jaringan paruh. F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan tergantung pada kecacatan. Prioritas pertama antara lain pada tekhnik pemberian nutrisi yang adekuat untuk mencegah komplikasi, fasilitas pertumbuhan dan perkembangan. Penanganan : bedah plastik yang bertujuan menutupi kelainan, mencegah kelainan, meningkatkan tumbuh kembang anak. Labio plasty dilakukan apabila sudah tercapai ”rules of overten” yaitu : umur diatas 10 minggu, BB diatas 10 ponds (± 5 kg), tidak ada infeksi mulut, saluran pernafasan unutk mendapatkan bibir dan hidung yang baik, koreksi hidung dilakukan pada operasi yang pertama. Palato plasty dilakukan pada umur 12-18 bulan, pada usia 15 tahun dilakukan terapi dengan koreksi-koreksi bedah plastik. Pada usia 7-8 tahun dilakukan ”bone skingraft”, dan koreksi dengan flap pharing. Bila terlalu awal sulit karena rongga mulut kecil. Terlambat, proses bicara terganggu, tidak lanjutnya adalah pengaturan diet. Diet minum susu sesuai dengan kebutuhan klien. 1. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya kemajuan teknik bedah, orbodantis,dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir tindakan koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari berat ringan yang ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan secara bertahap. biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila bayi tersebut telah berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau sistemis. Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Pada kebanyakan kasus, pembedahan pada hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia pubertas. Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk dan derajat cerat yang cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus disesuaikan bagi masing-masing penderita. Waktu optimal untuk melakukan pembedahan langit-langit bervariasi dari 6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah balon bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga kontraksi otot-otot faring dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan balon tadi untuk menghasilkan penutup nasoporing. 2. Penatalaksanaan Keperawatan a. Perawatan Pra-Operasi: 1) Fasilitas penyesuaian yang positif dari orangtua terhadap bayi. a) Bantu orangtua dalam mengatasi reaksi berduka b) Dorong orangtua untuk mengekspresikan perasaannya. c) Diskusikan tentang pembedahan d) Berikan informasi yang membangkitkan harapan dan perasaan yang positif terhadap bayi. e) Tunjukkan sikap penerimaan terhadap bayi. 2) Berikan dan kuatkan informasi pada orangtua tentang prognosis dan pengobatan bayi. a) Tahap-tahap intervensi bedah b) Teknik pemberian makan c) Penyebab devitasi 3) Tingkatkan dan pertahankan asupan dan nutrisi yang adequate. a) Fasilitasi menyusui dengan ASI atau susu formula dengan botol atau dot yang cocok.Monitor atau mengobservasi kemampuan menelan dan menghisap. b) Tempatkan bayi pada posisi yang tegak dan arahkan aliran susu ke dinding mulut. c) Arahkan cairan ke sebalah dalam gusi di dekat lidah. d) Sendawkan bayi dengan sering selama pemberian makan e) Kaji respon bayi terhadap pemberian susu. f) Akhiri pemberian susu dengan air. 4) Tingkatkan dan pertahankan kepatenan jalan nafas a) Pantau status pernafasan b) Posisikan bayi miring kekanan dengan sedikit ditinggikan c) Letakkan selalu alat penghisap di dekat bayi b. Perawatan Pasca-Operasi 1) Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adequate a) Berikan makan cair selama 3 minggu mempergunakan alat penetes atau sendok. b) Lanjutkan dengan makanan formula sesuai toleransi. c) Lanjutkan dengan diet lunak d) Sendawakan bayi selama pemberian makanan. 2) Tingkatkan penyembuhan dan pertahankan integritas daerah insisi anak. a) Bersihkan garis sutura dengan hati-hati b) Oleskan salep antibiotik pada garis sutura (Keiloskisis) c) Bilas mulut dengan air sebelum dan sesudah pemberian makan. d) Hindari memasukkan obyek ke dalam mulut anak sesudah pemberian makan untuk mencegah terjadinya aspirasi. e) Pantau tanda-tanda infeksi pada tempat operasi dan secara sistemik. f) Pantau tingkat nyeri pada bayi dan perlunya obat pereda nyeri. g) Perhatikan pendarahan, cdema, drainage. h) Monitor keutuhan jaringan kulit i) Perhatikan posisi jahitan, hindari jangan kontak dengan alat-alat tidak steril, missal alat tensi G. Pemeriksaan penunjang 1. Tes pendengaran, bicara dan evaluasi. 2. Laboratorium untuk persiapan operasi; Hb, Ht, leuko, BT, CT. 3. Evaluasi ortodental dan prostontal dari mulai posisi gigi dan perubahan struktur dari orkumaxilaris. 4. Konsultasi bedah plastik, ahli anak, ahli THT, ortodentisist, spech therapi. 5. MRI TINJAUAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN A. Konsep Tumbuh Kembang, Bermain, Nutrisi dan Dampak Hospitalisasi. Dibawah ini akan diuraikan mengenai konsep tumbuh kembang, bermain, nutrisi dan dampak hospitalisasi pada anak yang berumur 5 tahun. 1. Pertumbuhan, menurut Whalley dan Wong (2000), mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu peningkatan jumlah dan ukuran, hal ini merupakan suatu proses yang alamiah yang terjadi pada setiap individu, sedangkan Marlow (1998) mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu peningkatan ukuran tubuh yang dapat diukur dengan meter atau sentimeter untuk tinggi badan dan kilogram atau gram untuk berat badan. Pertumbuhan pada anak usia 5 tahun pertumbuhan fisik khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata per tahunnya adalah 2 Kg, kelihatan kurus akan tetapi aktifitas motorik tinggi, dimana sistem tubuh mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, dan lain-lain. Pada pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan anak akan bertambah rata-rata 6,75 sampai 7,5 cm setiap tahunnya (Hidayat, 2006). 2. Perkembangan, perkembangan menitikberatkan pada perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan kompleks yang melalui maturasi dan pembelajaran. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak diantaranya faktor herediter, faktor lingkungan, dan faktor internal. Perkembangan psikoseksual, anak pada fase falik (3-6 tahun), selama fase ini genitalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin, seringkali anak merasa penasaran dengan pertanyaan yang diajukannya. Dengan perbedaan ini anak sering meniru ibu atau bapaknya untuk memahami identitas gender (Freud). Pada masa ini anak mengalami proses perubahan dalam pola makan dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan. Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian dan masa ini adalah masa dimana perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan dan anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah yang terlihat sekali kemampuan anak belum mampu menilai sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat dan anak membutuhkan pengalaman belajar dengan lingkungan dan orang tuanya (Hidayat, 2006). 3. Nutrisi, nutrisi sangat penting untuk tumbuh dan berembang, anak membutuhkan zat gizi yang esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air yang harus dikonsumsi secara seimbang, dengan jumlah yang sesuai kebutuhan pada tahapan usianya. Kebutuhan cairan pada anak usia 5 tahun yaitu 1600-1800cc/24 jam (Hidayat, 2006). Kebutuhan kalorinya adalah 85 kkal per kg BB, Pada masa prasekolah kemampuan kemandirian dalam pemenuha kebutuhan nutrisi sudah mulai muncul, sehingga segala peralatan yang berhubungan dengan makanan seperti garpu, piring, sendok dan gelas semuanya harus dijalaskan pada anak atau doperkenalkan dan dilatih dalam penggunaannya, sehingga dapat mengikuti aturan yang ada. Dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia ini sebaiknya penyediaan bervariasi menunya untuk mencegah kebosanan, berikan susu dan makanan yang dianjurkan antara lain daging, sup, sayuran dan buah-buahan. 4. Bermain , bermain merupakan suatu aktifitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku dewasa. Pada usia 3-6 tahun anak sudah mulai mampu mengembangkan kreatifitas dan sosialisasi sehingga sangat diperlukan permainan yang dapat mengembangakan kemampuan menyamakan dan membedakan, kemampuan berbahasa, mengembangkan kecerdasan, menumbuhkan sportifitas, mengembangkan koordinasi motorik, mengembangkan dalam mengontrol emosi, motorik kasar dan halus, memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan dan memperkenalkan suasana kompetisi serta gotong royong. Sehingga jenis permainan yang dapat digunakan pada anak usia ini seperti benda-benda sekitar rumah, buku gambar, majalah anak-anak, alat-alat gambar, kertas untuk belajar melipat, gunting dan air. 5. Dampak Hospitalisasi Hospitalisasi merupakan suatu poroses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya sampai kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan sterss. Perawatan anak dirumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakan amat, penuh kasih sayang, dan menanyakan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan dirumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya, anak merasa kehilangan kekuatan diri, malu, bersalah, atau takut.anak akan bereaksi agresif dengan marah dan berontak, tidak mau bekerjasama dengan perawat. B. PENGKAJIAN 1. Riwayat Kesehatan Riwayat kehamilan, riwayat keturunan, labiotalatos kisis dari keluarga, berat/panjang bayi saat lahir, pola pertumbuhan, pertambahan/penurunan berat badan, riwayat otitis media dan infeksi saluran pernafasan atas. 2. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik sumbing. b. Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi c. Kaji kemampuan hisap, menelan, bernafas. d. Kaji tanda-tanda infeksi e. Palpasi dengan menggunakan jari f. Kaji tingkat nyeri pada bayi 3. Pengkajia Keluarga a. Observasi infeksi bayi dan keluarga b. Kaji harga diri / mekanisme kuping dari anak/orangtua c. Kaji reaksi orangtua terhadap operasi yang akan dilakukan d. Kaji kesiapan orangtua terhadap pemulangan dan kesanggupan mengatur perawatan di rumah. e. Kaji tingkat pengetahuan keluarga C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Koping Keluarga melemah berhubungan dengan situasi lain atau krisis perkembangan /keadaan dari orang terdekat mungkin muncul ke permukaan. 2. Resiko aspirasi berhubungan dengan kondisi yang menghambat elevasi tubuh bagian atas. 3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakseimbangan. 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menaikkan zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis. 5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik 6. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif D. INTERVENSI 1. DX.1 : Koping keluarga melemah berhubungan dengan situasi lain dan krisis perkembangan / keadaan dari orang lain terdekat mungkin muncul ke permukaan. NOC.: Family koping KH : a. Mengatur masalah b. Mengekspresikan perasaan dan emosional dengan bebas c. Menggunakan startegi pengurangan stress d. Membuat jadwal untuk rutinitas dan kegiatan keluarga Indikator skala : 1) Tidak pernah dilakukan 2) Jarang dilakukan 3) Kadang dilakukan 4) Sering dilakukan 5) Selalu dilakukan NIC : Family Support a. Dengarkan apa yang diungkapkan b. Bangun hubungan kepercayaan dalam keluarga c. Ajarkan pengobatan dan rencana keperawatan untuk keluarga d. Gunakan mekanisme kopoing adaptif e. Mengkonsultasikan dengan anggota keluarga utnk menambahkan kopoing yang efektif. 2. DX.II: Resiko aspirasi berhubungan dengan kondisi yang menghambat elevasi tubuh bagian atas. NOC : Risk Control KH : a. Monitor lingkungan faktor resiko b. Gunakan strategi kontrol resiko yang efektif c. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko d. Monitor perubahan status kesehatan e. Monitor faktor resiko individu Indikator skala : 1) Tidak pernah dilakukan 2) Jarang dilakukan 3) Kadang dilakukan 4) Sering dilakukan 5) Selalu dilakukan NIC : Aspiration Precaution a. Monitor status hormonal b. Hindari penggunaan cairan / penggunaan agen amat tebal c. Tawarkan makanan / cairan yang dapat dibentuk menjadi bolu sebelum ditelan. d. Sarankan untuk berkonsultasi ke Patologi e. Posisikan 900 atau lebih jika memungkinkan. f. Cek NGT sebelum memberi makan 3. DX. III : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidak seimbangan NOC : a. Menggunakan pesan tertulis b. Menggunakan bahasa percakapan vocal c. Menggunakan percakapan yang jelas d. Menggunakan gambar/lukisan e. Menggunakan bahasa non verbal Indikator skala : 1) Tidak pernah dilakukan 2) Jarang dilakukan 3) Kadang dilakukan 4) Sering dilakukan 5) Selalu dilakukan NIC : Perbaikan Komunikasi a. Membantu keluarga dalam memahami pembicaraan pasien b. Berbicara kepada pasien dengan lambat dan dengan suara yang jelas. c. Menggunakan kata dan kalimat yang singkat d. Mendengarkan pasien dengan baik e. Memberikan reinforcement/pujian positif pada keluarga f. Anjurkan pasien mengulangi pembicaraannya jika belum jelas. 4. DX. IV : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menaikkan zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis. NOC : Status Nutrisi KH : a. Stamina b. Tenaga c. Penyembuhan jaringan d. Daya tahan tubuh e. Pertumbuhan (untuk anak) Indikator skala : 1) Tidak pernah dilakukan 2) Jarang dilakukan 3) Kadang dilakukan 4) Sering dilakukan 5) Selalu dilakukan NIC : Nutrition Monitoring a. BB dalam batas normal b. Monitor type dan jumlah aktifitas yang biasa dilakukan c. Monitor interaksi anak/orangtua selama makan d. Monitor lingkungan selama makan e. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi f. Monitor turgor kulit g. Monitor rambut kusam, kering dan mudah patah h. Monitor pertumbuhan danperkembangan 5. DX. V : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik NOC : Tingkat Kenyamanan KH : a. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan managemen nyeri. b. Mampu mengenali nyeri (skal), intensitas, frekwensi, dan tanda nyeri. c. TTV dalam batas normal Indikator skala : 1) Tidak pernah dilakukan 2) Jarang dilakukan 3) Kadang dilakukan 4) Sering dilakukan 5) Selalu dilakukan NIC : Pain Management a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meiputi : Lokasi, karkteristik, durasi, frekwensi, kualitas dan intensitas nyeri. b. Observasi isarat-isarat non verbal dari ketidaknyamanan c. Gunakan komunikasi teraupeutik agar pasien dapat nyaman mengekspresikan nyeri.berikan dukungan kepada pasien dan keluarga. 6. DX. VI : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif NOC : Risk Control KH : a. Monitor gejala kemunduran penglihatan b. Hindari tauma mata c. Hindarkan gejal penyakit mata d. Gunakan alat melindungi mata e. Gunakan resep obat mata yang benar Indikator skala : 1) Tidak pernah dilakukan 2) Jarang dilakukan 3) Kadang dilakukan 4) Sering dilakukan 5) Selalu dilakukan NIC : Identifikasi Resiko a. Identifikasi pasien dengan kebutuhan perawatan rencana berkelanjutan b. Menentukan sumber yang financial c. Identifikasi sumber agen penyakit untuk mengurangi faktor resiko d. Menentukan pelaksanaan dengan treatment medis dan perawatan E. EVALUASI 1. Diagnosa I : Koping keluarga melemah berhubungan dengan situasi lain atau krisis perkembangan keadaan dari orang terdekat mungkin muncul ke permukaan. a. Mengatur masalah b. Mengekspresikan perasaan dan emosional dengan bebas c. Menggunakan startegi pengurangan stress d. Membuat jadwal untuk rutinitas dan kegiatan keluarga 2. Diagnosa II : Resiko aspirasi berhubungan dengan kondisi yang menghambat elevasi tubuh bagian atas. a. Monitor lingkungan faktor resiko b. Gunakan strategi kontrol resiko yang efektif c. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko d. Monitor perubahan status kesehatan e. Monitor faktor resiko individu 3. Diagnosa III : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakseimbangan. a. Menggunakan pesan tertulis b. Menggunakan bahasa percakapan vocal c. Menggunakan percakapan yang jelas d. Menggunakan gambar/lukisan e. Menggunakan bahasa non verbal 4. Diagnosa IV : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan menaikkan zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis. a. Stamina b. Tenaga c. Penyembuhan jaringan d. Daya tahan tubuh e. Pertumbuhan (untuk anak) 5. Diagnosa V : Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik a. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan managemen nyeri. b. Mampu mengenali nyeri (skal), intensitas, frekwensi, dan tanda nyeri c. TTV dalam batas normal 6. Diagnosa VI : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif. a. Monitor gejala kemunduran penglihatan b. Hindari tauma mata c. Hindarkan gejal penyakit mata d. Gunakan alat melindungi mata e. Gunakan resep obat mata yang benar DADFTAR PUSTAKA http://www.trinoval.web.id/2010/04/askep-labio-palato-skisis.html http://askep-topbgt.blogspot.com/.../asuhan-keperawatan-labio-palatos Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pedriatik. Jakarta ; EEC. Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika. Nelson. 1993. Ilmu Kesehatan Anak bagian 2. Jakarta; Fajar Interpratama. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EEC. Wong, Dona L.2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pedriatik. Jakarta : EEC.   SPINA BIFIDA Kasus Bayi Ny. V lahir dengan kelainan tulang belakang, dokter mengatakan bayi menderita spina bifida. Definisi Spina Bifida (Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. (http://www.medicastore.com/) Spina bifida adalah gagal menutupnya columna vertebralis pada masa perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan gangguan fusi tuba neural. Gangguan fusi tuba neural terjadi sekitar minggu ketiga setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Beberapa hipotesis terjadinya spina bifida antara lain adalah : 1. Terhentinya proses pembentukan tuba neural karena penyebab tertentu 2. Adanya tekanan yang berlebih dikanalis sentralis yang baru terbentuk sehingga menyebabkan ruptur permukaan tuba neural 3. Adanya kerusakan pada dinding tuba neural yang baru terbentuk karena suatu penyebab. ( Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak, A.H. Markum:2002) Penyebab Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan. Kelainan bawaan lainnya yang juga ditemukan pada penderita spina bifida (diagnosa banding) : - Hidrocephalus - Siringomielia - Dislokasi pinggul Beberapa jenis spina bifida : 1. Okulta : merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau beberapa vertebra tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens) tidak menonjol. Gejalanya : - Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang) - Lekukan pada daerah sakrum 1. Meningokel : meningens menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan dari cairan dibawah kulit. - menonjolnya meninges - sumsum tulang belakang - cairan serebrospinal 1. Mielokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan kulit diatasnya tampak kasar da merah. Gejala Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan saraf yang terkena. Gejalanya berupa: - Penonjolan seperti kantung dipunggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir - Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya - Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki - Penurunan sensasi - Inkontinensia urine, maupun inkontinensia tinja - Korda spinalis yang terkena, rentan terhadap infeksi (meningitis). http://images.google.co.id/images Komplikasi Terjadi pada salahsatu syaraf yang terkena dengan menimbulkan suatu kerusakan pada syaraf spinal cord, dengan itu dapat menimbulkan suatu komplikasi tergantung pada syaraf yang rusak. Patofisiologi Cacat terbentuk pada trisemester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali. (Media Aesculapius. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. 2000. Jakarta: MA.) Hidrosefalus seringsepalus empuan 3 kali lebih dominan. pusatsi i foramen Luschkahasilkan peningkatan tekanan dan dilatasi dari aliran proksikali dihubungkan dengan Mielomeningokel yang seharusnya diamati perkembangannya pada bayi. Pada kasus yang masih tersisa terdapat riwayat infeksi intrauterin (toksoplasmosis, sitomegalovirus), perdarahan perinatal (anoksik atau traumatik), dan meningoensepalitis neonatal (bakteri atau virus). Pengobatan Tujuan dari pengobatan awal adalah: - Mengurangi kerusakan saraf akibat spina bifida - Meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi) • Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk dan untuk mengobati hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering menyertai spina bifida. • Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. • Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan antibiotik. • Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan penekanan lembut diatas kandung kemih. • Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki fungsi saluran pencernaan. Pencegahan • Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam folat. • Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus ditangani sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini. • Pada wanita hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4 mg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari. Pemeriksaan Diagnostik - USG : Untuk mengetahui apakah ada kelainan spina bifida pada bayi yang dikandung adalah melalui pemeriksaan USG. Hal itu dapat diketahui ketika usia bayi 20 minggu. - Pemeriksaan darah pada ibu Dengan teknik AFP : hanya membutuhkan sedikit sampel darah dari lengan ibu dan tidak beresiko terhadap janin. Bila hasil skrining positif biasanya diperlukan test lanjutan untuk memastikan adanya kelainan genetik pada janin yang lahir kelak menderita cacat. - Pemeriksaan air ketuban ibu Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang • Faktor genetik Faktor genetik merupakan dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik adalah sebagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa,. Potensi genetik yang bermutu jika berinteraksi dengan lingkungan secara positif akan dicapai hasil akhir yang optimal Faktor herediter, sebagai faktor yang sudah dipastikan. 75% dari faktor keturunan resesif dan 25% bersifat dominan. ü Mutasi gen. ü Kelainan kromosom • Faktor lingkungan 1. Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang baik memungkinkan potensi bawaan tercapai, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan “ bio-fisiko-psiko-sosial” yang mempengaruhi individu setiap hari mulai dari konsepsi sampai akhir hayat, antara lain : ü Faktor usia ibu ü Obat-obatan. Asetosal, Aspirin (SCHARDEIN-1985) Rifampisin, Fenasetin, Sulfonamid, Aminoglikosid, Indometasin, Asam Flufetamat, Ibuprofen, Penisilamin, Antihistamin dapat menyebabkan celah langit-langit. Antineoplastik, Kortikosteroid ü Nutrisi ü Penyakit : infeksi Sifilis, virus rubella ü Radiasi ü Stres emosional ü Trauma (trimester pertama) • Faktor psikososial : Respon orang tua terhadap bayi/anak : ü Rasa bersalah ü Kemampuan membuat keputusan tentang pengobatan/ tindakan segera ü Kemampuan untuk berkomunikasi dengan yang lain Pertumbuhan dan Perkembangan selama masa bayi : Fisik Motorik kasar Motorik halus - Penambahan berat badan 150 sampai 210 gr setiap minggu selama 6 bulan pertama. - Penambahan tinggi badan 2,5 cm setiap bulan selama 6 bulan pertama. - Peningkatan lingkar kepala sebesar 1,5 cm setiap bulan selama 6 bulan pertama. - Ada refleks primitif dan kuat - Refleks mata boneka dan refleks dansa menghilang. - Pernafasan hidung harus terjadi. - Memilih posisi fleksi dengan felvis tinggi tetapi lutut tidak dibawah abdomen bila telengkup. - Dapat memutar kepala dari satu sisi ke sisi lain bila telengkup. - Mengalami head lag yang nyata, khususnya bila menarik kepala dari posisi berbaring ke posisi duduk. - Menahan kepala sebentar secara faralel dan dlam garis tengah dan tertahan dlam posisi telengkup. - Menunjukan refleks leher tonik asimetris bila telentang - Bila menahan dalam posisi berdiri, tubuh lemas pada lutut dan panggul - Tangan tertutup secara umum. - Refleks menggenggam kuat. - Tangan mengatup pada kontak dengan mainan. Asuhan Keperawatan Pengkajian keperawatan - Riwayat prenatal - Riwayat keluarga dengan defek spinal cord - Pemeriksaan fisik : ü Adanya myelomeningocele sejak lahir ü Peningkatan lingkar kepala ü Hipoplasi ekstremitas bagian bawah ü Kontraktur/ dislokasi sendi ü Adanya inkontinensia urin dan feses ü Respon terhadap stimulasi ü Kebocoran cairan cerebrospinal Diagosa keperawatan : 1. Risiko tinggi infeksi b.d spinal malformation, luka operasi dan shunt Ganguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial Tujuan : 1. Anak bebas dari infeksi 2. Anak menunjukan respon neurologik yang normal Kriteria hasil : - Suhu dan TTV normal - Luka operasi, insisi bersih Intervensi Rasional - Monitor tanda-tanda vital. Observasi tanda infeksi : perubahan suhu, warna kulit, malas minum , irritability, perubahan warna pada myelomeingocele. - Ukur lingkar kepala setiap 1 minggu sekali, observasi fontanel dari cembung dan palpasi sutura kranial - Ubah posisi kepala setiap 3 jam untuk mencegah dekubitus - Observasi tanda-tanda infeksi dan obstruksi jika terpasang shunt, lakukan perawatan luka pada shunt dan upayakan agar shunt tidak tertekan Untuk melihat tanda-tanda terjadinya resiko infeksi Untuk melihat dan mencegah terjadinya TIK dan hidrosepalus Untuk mencegah terjadinya luka infeksi pada kepala (dekubitus) Menghindari terjadinya luka infeksi dan trauma terhadap pemasangan shunt 1. Berduka b.d kelahiran anak dengan spinal malformation Tujuan : Orangtua dapat menerima anaknya sebagai bagian dari keluarga Kriteria hasil : - Orangtua mendemonstrasikan menerima anaknya dengan menggendong, memberi minum, dan ada kontak mata dengan anaknya - Orangtua membuat keputusan tentang pengobatan - Orangtua dapat beradaptasi dengan perawatan dan pengobatan anaknya Intervensi Rasional - Dorong orangtua mengekspresikan perasaannya dan perhatiannya terhadap bayinya, diskusikan perasaan yang berhubungan dengan pengobatan anaknya - Bantu orangtua mengidentifikasi aspek normal dari bayinya terhadap pengobatan - Berikan support orangtua untuk membuat keputusan tentang pengobatan pada anaknya Untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling menyalahkan Memberikan stimulasi terhadap orangtua untuk mendapatkan keadaan bayinya yang lebih baik Memberikan arahan/suport terhadap orangtua untuk lebih mengetahui keadaan selanjutnya yang lebih baik terhadap bayi 1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d kebutuhan positioning, defisit stimulasi dan perpisahan Tujuan : Anak mendapat stimulasi perkembangan Kriteria hasil : - Bayi / anak berespon terhadap stimulasi yang diberikan - Bayi / anak tidak menangis berlebihan - Orangtua dapat melakukan stimulasi perkembangan yang tepat untuk bayi / anaknya Intervensi Rasional - Ajarkan orangtua cara merawat bayinya dengan memberikan terapi pemijatan bayi - Posisikan bayi prone atau miring kesalahasatu sisi - Lakukan stimulasi taktil/pemijatan saat melakukan perawatan kulit Agar orangtua dapat mandiri dan menerima segala sesuatu yang sudah terjadi Untuk mencegah terjadinya luka infeksi dan tekanan terhadap luka Untuk mencegah terjadinya luka memar dan infeksi yang melebar disekitar luka 1. Risiko tinggi trauma b.d lesi spinal Tujuan : Pasien tidak mengalami trauma pada sisi bedah/lesi spinal Kriteria Hasil: - Kantung meningeal tetap utuh - Sisi pembedahan sembuh tanpa trauma Intervensi Rasional Rawat bayi dengan cermat Tempatkan bayi pada posisi telungkup atau miring Gunakan alat pelindung di sekitar kantung ( mis : slimut plastik bedah) Modifikasi aktifitas keperawatan rutin (mis : memberi makan, member kenyamanan) Untuk mencegah kerusakan pada kantung meningeal atau sisi pembedahan Untuk meminimalkan tegangan pada kantong meningeal atau sisi pembedahan Untuk memberi lapisan pelindung agar tidak terjadi iritasi serta infeksi Mencegah terjadinya trauma 1. Resiko tinggi cedera b.d peningkatan intra kranial (TIK) Tujuan : pasien tidak mengalami peningkatan tekanan intrakranial Kriteria Hasil : anak tidak menunjukan bukti-bukti peningkatan TIK Intervensi Rasional Observasi dengan cermat adanya tanda-tanda peningkatan TIK Lakukan pengkajian Neurologis dasar pada praoperasi Hindari sedasi Ajari keluarga tentang tanda-tanda peningkatan TIK dan kapan harus memberitahu Untuk mencegah keterlambatan tindakan Sebagai pedoman untuk pengkajian pascaoperasi dan evaluasi fungsi firau Karena tingat kesadaran adalah pirau penting dari peningkatan TIK Praktisi kesehatan untuk mencegah keterlambatan tindakan 1. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin b.d paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses Tujuan : pasien tidak mengalami iritasi kulit dan gangguan eleminasi urin Kriteria hasil : kulit tetap bersih dan kering tanpa bukti-bukti iritasi dan gangguan eleminasi. Intervensi Rasional Jaga agar area perineal tetap bersih dan kering dan tempatkan anak pada permukaan pengurang tekanan. Masase kulit dengan perlahan selama pembersihan dan pemberian lotion. Berikan terapi stimulant pada bayi Untuk mengrangi tekanan pada lutut dan pergelangan kaki selama posisi telengkup Untuk meningkatkan sirkulasi. Untuk memberikan kelancaran eleminasi Daftar Pustaka Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : EGC, 2002. Media Aesculapius. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. Jakarta: MA, 2000. Whaley’s and Wong. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edis 4. Jakarta : EGC, 2003. (http://www.medicastore.com/ Suka Be the first to like this post. Mei 13, 2009 Kategori: Asuhan Keperawatan . . Penulis: zaa23 Tinggalkan sebuah Komentar Belum ada komentar. Komentar RSS Lacak Balik URI Pengenal   27 April 2009 TUMOR WILMS Sejarah Deskripsi patologi mengenai tumor Wilms pertama kali ditulis pada tahun 1872 dan dideskripsikan oleh Osler pada tahun 1879. Osler menemukan bahwa tumor ginjal pada anak-anak yang dilaporkan oleh beberapa klinisi saat itu sebenarnya merupakan kelainan yang sama. Pada tahun 1899, Wilms melaporkan 7 kasus yang dijumpainya dan melakukan tinjauan literatur pada kongres di Berlin. Penjelasannya mengenai gambaran klinis penyakit ini sangat jelas sehingga istilah tumor yang memakai namanya ini (tumor Wilms) lebih populer digunakan daripada nefroblastoma hingga sekarang. Eksisi bedah merupakan pilihan terapi satu-satunya hingga tahun 1915, ketika Friedlander memperkenalkan terapi radiasi sebagai altenatif pilihan. Ladd dan White kemudian secara bertahap menyempurkan teknik bedah dan meningkatkan survival hingga 20%. Kemoterapi dengan aktinomisin-D dimulai tahun 1954 dan vinkristin ditambahkan pada tahu 1963. Pada tahun 1956, Farber dengan menggunakan kombinasi eksisi bedah, radiasi pascaoperasi, dan kemoterapi memulai era modern dengan angka survival selama 2 tahun mencapai 81%. Pada tahun 1969, karena kasus tumor Wilms di Amerika Serikat berkisar antara 450-500 pertahun, timbul upaya kolaborasi untuk mendapatkan jumlah pasien yang bermakna secara statistik. Karenanya, Children's Cancer Study Group, Cancer and Leukemia Group B dan Southwest Oncology Group bergabung membentuk National Wilms Tumor Study Group (NWTS). Kolaborasi ini menghasilkan peningkatan survival yang sangat bermakna. Insidens Tumor Wilms merupakan tumor ganas intraabdomen yang tersering pada anak-anak. Di Amerika Serikat, penyakit ini dialami oleh lebih dari 400 penderita tiap tahunnya. Usia tersering adalah 3,5 tahun. Tumor Wilms terjadi secara sporadik (95%), familial (1-2%), atau berkaitan dengan suatu sindrom (2%). Sindrom yang berkaitan dengan tumor Wilms adalah WAGR (Wilms, aniridia, malformasi traktus genitourinarius, dan retardasi mental), sindrom Beckwith-Widemann (gigantisme, makroglosia, hiperplasia sel pankreas) dan sindrom Denys-Drash (pseudohermafrodit, nefropati, dan tumor Wilms). Kejadiannya cenderung timbul pada pasien yang lebih muda. Tumor Wilms sporadik berkaitan dengan 10% kasus dengan hemihipertrofi yang terisolasi atau malformasi genitourinarius seperti hipospadia, kriptorkismus, dan fusi ginjal. Tumor ginjal sinkronous yang bilateral ditemukan pada 5-10% kasus. Skrining rutin dengan USG setiap 6 bulan hingga usia 8 tahun direkomendasikan untuk pasien yang berisiko tinggi terhadap timbulnya tumor Wilm. Kejadian Tumor Wilms dan Genetika Awalnya diperkirakan, tumor Wilms terjadi akibat kejadian genetik yang sesuai dengan teori two hit model yang pertama dikembangkan pada retinoblastoma. Jika mutasi pertama terjadi sebelum penggabungan sperma dan sel telur (mutasi konstitusional/ germline), tumor diturunkan dan individu tersebut mendapat risiko mengalami multipel tumor. Tumor Wilms nonherediter terjadi akibat dua mutasi postzigot (somatik) pada sel tunggal. Hipotesis two hit model memperkirakan bahwa pasien dengan individu yang rentan, seperti kasus familial, pasien dengan penyakit yang multifokal, dan dengan kelainan anomali mempunyai usia median yang lebih rendah dibandingkan kasus sporadik. Saat ini, diketahui bahwa mutasi beberapa gen terlibat dalam patogenesis tumor Wilms. Hilangnya seluruh bagian dari kromosom disebut loss of heterozygosity (LOH), suatu mekanisme yang diduga menginaktivasi gen supresor tumor. Dari 50% kasus tumor Wilms, dapat ditemukan adanya LOH pada dua lokus genetik: 11p13 dan 11p15. Tumor Wilms terjadi pada 30% pasien dengan sindrom WAGR. Anak dengan sindrom WAGR memperlihatkan delesi pada lengan pendek kromosom 11 band 13 (11p13) namun daerah 11p15nya normal. Hingga sepertiga tumor Wilms yang sporadik, terjadi perubahan pada bagian distal kromosom 11, yang melibatkan band p13. Tempat delesi ini diberi nama gen WT1, suatu gen supresor tumor yang juga membentuk kompleks dengan supresor tumor lainnya, yaitu p53. Gen WT1 mengekspresikan pengaturan faktor transkripsi dari suatu protein yang terbatas pada sistem genitourinarius, limpa, mesenterium dorsal dari usus, otot, susunan saraf pusat, dan mesotelium. WT1 mengalami delesi pada semua kasus WAGR. Hubungan penting antara mutasi WT1 dan WAGR dengan berhentinya nefrogenik intralobuler menyebabkan dugaan bahwa ekspresi WT1 dibutuhkan untuk diferensiasi normal dari nefroblas. Hanya 5-10% tumor Wilms yang sporadik menunjukkan adanya mutasi WT1. Inaktivasi WT1 hanya mempengaruhi organ yang mengekspresikan gen ini, seperti ginjal dan sel-sel gonad tertentu (sel Sertoli testis dan sel granulosa ovarium). WT1 juga ditemukan sebagai penyebab sindrom Denys-Drash. Kebanyakan mutasi yang ditemukan pada pasien DDS merupakan mutasi missense yang dominan. Sebagian dari penderita BWS mengalami duplikasi atau delesi dari 11p15. Daerah ini dinamai WT2 dan merupakan telomerik dari WT1. BWS juga berkaitan dengan IGF-2, suatu gen yang menginduksi pertumbuhan embrional. Hal ini membuktikan kemungkinan adanya dua lokus yang berbeda terlibat dalam pembentukan tumor. Kandidat gen lain adalah gen insulin-like growth factor II (IGFII), dan gen tumor supresor H19. Fraksi penting dari tumor Wilms (tanpa terjadinya LOH pada tingkat DNA) telah ditemukan mempengaruhi cetakan dengan akibat ekspresi yang berlebihan dari IGFII dan hilangnya ekspresi supresor tumor H19. IGFII kemungkinan bekerja seperti onkogen dengan perpetuating nefroblas dan mungkin menyebabkan berhentinya perilobar yang diobservasi pada BWS. Sebuah bentuk gen familial tumor (FWT1) juga telah diidentifikasi pada kromosom 17q dan juga kromosom 7p dapat sebagai gen predisposisi tumor setelah ditemukannya translokasi konstitusional. Mutasi pada p53 berkaitan dengan progresi tumor, anaplasia, dan prognosis yang jelek. Kebanyakan tumor Wilm kemungkinan disebabkan oleh mutasi somatik pada satu atau lebih dari gen-gen tumor yang telah teridenfikasi tersebut. Beberapa tempat kromosom juga telah diidentifikasi berperan dalam perkembangan tumor. LOH pada kromosom 16q dan 1p menunjukkan progresivitas dan agresivitas pada 20% penderita tumor Wilms. Angka kekambuhan tumor Wilms 3 kali dan angka mortalitasnya 12 kali lebih tinggi dari penderita tumor Wilms tanpa LOH pada kromosom 1p. p53 juga berkaitan dengan histologi anaplastik yang unfavourable. Pasien dengan tumor Wilms dan kandungan DNA yang diploid (mengindikasikan proliferasi yang rendah) ditemukan mempunyai prognosis yang baik. Hiperploidi (aktivitas mitotik yang tinggi) merupakan gambaran prosnostik yang buruk untuk tumor Wilms. Sisa nefrogenik merupakan lesi prekursor bagi tumor Wilms. Ada dua tipe yang dikenal: perilobar nephrogenic rest (PLNR) yang terbatas di lobus perifer dan intralobar nephrogenic rest (ILNR) yang terdapat di dalam lobus, sinus renal, atau dinding sistem pelviokalises. Hubungan yang erat antara ILNR, aniridia, dan sindrom Denys Dash di mana gen WT1 terlibat, mengimplikasikan pendapat bahwa lokus ini mungkin berhubungan dengan patogenesis ILNR. Demikian pula, hubungan antara BWS dan beberapa kasus hemihipertrofi dengan kelainan lokus yang lebih jauh pada kromosom 11 meningkatkan kemungkinan bahwa gen WT2 mungkin lebih erat hubungannya dengan PLNR. Keuntungan uji genetik pada anak dengan sporadik aniridia, hemihipertrofi atau sindrom-sindrom di atas yang berisiko tinggi mengalami tumor Wilms dapat menjalani skrining DNA. Hal ini akan mengidentifikasi mereka yang mengalami mutasi dan memerlukan observasi yang ketat terhadap pertumbuhan tumor. Gambaran Klinis Gambaran klinis tumor Wilms berupa massa besar intraabdomen atau di pinggang yang asimptomatik dan seringkali ditemukan secara kebetulan oleh keluarga. Kadang kala temuan ini disertai rasa nyeri, hematuria asimptomatik (pada sepertiga kasus), dan demam. Gambaran klinis lainnya berupa malaise, penurunan berat badan, anemia, varikokel kiri (akibat obstruksi vena renalis kiri), dan hipertensi. Trombus tumor dapat meluas ke vena cava inferior dan jantung sehingga menimbulkan malfungsi jantung. Kadang-kadang, terjadi gejala akut abdomen akibat ruptur tumor setelah suatu trauma minor. Pemeriksaan fisik meliputi palpasi abdomen yang cermat dan pengukuran tekanan darah pada keempat ektremitas. Tumor dapat memproduksi renin atau menyebabkan kompresi vaskuler sehingga mengakibatkan hipertensi. Deskripsi yang rinci mengenai kelainan traktus urinarius dan adanya aniridia atau hemihipertrofi juga perlu dicari. Tidak ada tes darah atau urin yang merupakan alat diagnostik untuk tumor Wilms. Laporan terakhir menyebutkan peningkatan bFGF pada urin berkaitan dengan kelainan ini. Jika faktor ini muncul, peningkatan yang menetap setelah reseksi tumor mengindikasikan adanya persistensi atau rekurensi penyakit. Derajat peningkatan juga berkaitan dengan prognosis. Evaluasi awal terdiri dari pemeriksaan foto polos abdomen, ultrasonografi, IVP, urinalisis, foto toraks, dan CT scan. Keberadaan massa intrarenal yang padat menyebabkan distorsi sistem pelviokalises sangat membantu dalam diagnosis tumor Wilms. USG atau MRI vena renalis dan vena cava inferior dapat menyingkirkan adanya penyebaran tumor ke dalam vena. Metastasis tersering dijumpai pada paru-paru dan hepar. Patologi Komponen klasik dari tumor Wilms terdiri dari tiga komponen yang tampak pada diferensiasi ginjal normal: blastema, tubulus,dan stroma. Terdapat gambaran yang heterogen dari proporsi komponen tersebut dan juga adanya diferensiasi yang aberan, seperti jaringan lemak, otot lurik, kartilago, dan tulang. Adanya gambaran komponen yang monofasik juga ditemukan. Tumor ginjal lain yang ditemukan pada anak berupa mesoblastik nefroma, clear cell sarkoma, dan renal rhabdoid tumor dapat membingungkan. Gambaran anaplasia merupakan indikator penting dalam prognosis tumor Wilms. Gambaran anaplastik ditandai oleh pembesaran inti sel 2-3 kali lipat, hiperkromatisasi, dan gambaran mitosis yang abnormal. Staging Staging berdasarkan NWTSG V, terdiri dari: Stadium I: Tumor terbatas pada ginjal dan dapat direseksi secara lengkap dengan kapsul ginjal yang utuh. Tidak terjadi ruptur atau robekan kapsul. Pembuluh darah sinus renal tidak terlibat Stadium II: Tumor sudah melewati kapsul ginjal namun dapat dieksisi secara lengkap. Terdapat ekstensi regional tumor yang dibuktikan dengan penetrasi kapsul atau dengan invasi ekstensif sinus renal. Pembuluh darah di luar sinus renal dapat mengandung tumor. Tumor mengalami cedera akibat biopsi atau tercecer terbatas di daerah flank. Tidak ada bukti tumor pada atau di luar batas reseksi. Stadium III: Terdapat sisa tumor nonhematogen yang terbatas pada abdomen, atau yang meliputi berikut ini: a. Keterlibatan kelenjar getah bening pada hilus atau pelvis b. Penetrasi tumor melalui permukaan peritoneum c. Implan tumor pada permukaan peritoneum d. Tumor gross atau mikroskopik pada atau di luar batas reseksi bedah e. Tumor tidak dapat direseksi secara lengkap karena infiltrasi lokal ke dalam struktur vital f. Tumor menyebar tidak terbatas pada daerah flank Stadium IV: Metastasis hematogen ke paru-paru, hepar, tulang atau otak atau metastasis ke kelenkar getah bening di luar abdomen dan pelvis. Nodul paru tampak pada CT scan harus dibiopsi untuk diagnosis definitif stadium IV. Stadium V: Keterlibatan kedua ginjal pada diagnosis. Setiap sisi harus didiagnosis secara individu menurut kriteria di atas. Penatalaksanaan Tindakan operasi merupakan tindakan untuk terapi sekaligus penentuan stadium tumor. Berdasarkan rekomendasi NWTSG, nefrektomi primer dikerjakan pada semua keadaan kecuali pada tumor unilateral yang unresectable, tumor bilateral dan tumor yang sudah berekstensi ke vena cava inferior di atas vena hepatika. Tumor yang unresectable dinilai intraoperatif. Diberikan kemoterapi seperti stadium III dan pengangkatan tumor dilakukan setelah 6 minggu. Pada tumor bilateral, dilakukan biopsi untuk menentukan jenis tumor dan diberikan kemoterapi biasanya dalam 8-10 minggu. Nefrektomi dilakukan pada kasus tumor bilateral jika diberikan sisa parenkim ginjal setelah reseksi tumor masih lebih dari 2/3. Hal penting dalam pembedahan meliputi insisi transperitoneal, eksplorasi ginjal kontralateral, dilakukan nefrektomi radikal, hindari tumpahan tumor, dan biopsi kelenjar getah bening yang dicurigai. Terapi lanjutan dengan kemoterapi atau radioterapi tergantung pada hasil staging dan histologi (favourable atau non favourable) dari tumor. Berdasarkan NWTS-5 berikut algoritma pemberian kemoterapi dan radioterapi pada tumor Wilms. Nefrektomi parsial hanya dianjurkan pada pasien dengan tumor bilateral, solitary kidney, dan insufisiensi renal. Pada kasus tumor Wilms bilateral yang perlu dilakukan nefrektomi bilateral, transplantasi dilakukan setelah 1 tahun setelah selesai pemberian kemoterapi. Keberhasilan penanganan tumor Wilms ditentukan dari hasil stratifikasi, registrasi, dan studi NWTSG. Survival bebas penyakit 95% untuk stadium I, dan kira-kira 80% untuk pasien secara keseluruhan. Prognosis buruk dijumpai pada pasien dengan metastasis ke kelenjar getah bening, paru-paru dan hepar. Komplikasi dan Penatalaksaan Penyakit Lanjut 1. Tumor Bilateral 2. Ekstensi Intracaval dan atrium 3. Tumor lokal yang lanjut 4. Obstruksi usus halus   ASKEP HIDROCEPHALUS HIDROCEPHALUS I. Pengertian. Hidrocephalus adalah sebuah kondisi yang disebabkan oleh produksi yang tidak seimbang dan penyerapan dari cairan cerebrospinal (CSF) di dalam sistem Ventricular. Ketika produksi CSF lebih besar dari penyerapan, cairan cerebrospinal mengakumulasi di dalam sistem Ventricular. II. Penyebab. Penyebab dari hidrosefalus adalah : •Kelaianan bawahan( Konginetal ) •Infeksi •Neoplasma •Perdarahan. III. Macam-macam hidrosefalus •Hidrosefalus Non Komunikan ( Tipe tak berhubungan ): Terjadinya obstruksi pada aliran cairan serebro spinal. •Hidrosefalus Komunikan( Tipe berhubungan ) : Kegagalan absobsi cairan serebro spinal. IV. Patofisiologi. • Penyumbatan aliran CCS dalam sisstem ventrikel dan tempat absobsi dalam rongga subaracnoid dilatasi ruangan CSS diatasnya ( Foramen Monroi, foramen luschka dan magendie, sisterna magna dan sisterna basalis) pembentukan CSS yang berlebihan dan kecepatan absorsi yang normal Hidrosefalus. I. Pengkajian. A. Anamnesa. 1. Insiden : kelaliran denga hidrosefalus terjadi pada 5,8 bayi dai 10.000 kelahiran hidup •Hidrosefalus dengan spinabifida terdapat kira-kira 3-4 bayi dari 1000 kelahiran hidup •Type hidrosefalus obstruksi terdapat 99 % kasus pada anak-anak. 2. Riwayat kesehatan masa lalu: •Terutama adanya riwayat luka / trauma dikepala atau infeksi di sebral 3. Riwayat kahamilan dan persalinan : •Kelahiran yang prematur •Neonatal meningitis •Perdarahan subaracnoid •Infeksi intra uterin •Perdarahan perinatal,trauma/cidera persalinan. B. Pemeriksaan Fisik •Biasanya adanya myelomeningocele, penguran lingkar kepala (Occipitifrontal) •Pada hidrosefalus didapatkan : Tanda – tanda awal : o Mata juling o Sakit kepala o Lekas marah o Lesu o Menangis jika digendong dan diam bila berbaring o Mual dan muntah yang proyektil o Melihat kembar o Ataksia o Perkembangan yang berlangsung lambat o Pupil oedema o Respon pupil terhadap cahaya lambat dan tidak sama o Biasanya diikuti : perubahan tingkat kesadaran, opistotonus dan spastik pada ekstremitas bawah o Kesulitan dalam pemberian makanan dan menelan o Gangguan cardio pulmoner Tanda-tanda selanjutnya : o Nyeri kepala kepala diikuti dengan muntah-muntah o Pupil oedema o Strabismus o Peningkatan tekanan darah o Heart lambat o Gangguan respirasi o Kejang o Letargi o Muntah o Tanda-tanda ekstrapiramidal/ ataksia o Lekas marah o Lesu o Apatis o Kebingungan o Sering kali inkoheren o Kebutaaan C. Pemeriksaan Penunjang. Skan temograsfi komputer ( CT-Scan) mempertegas adanya dilatasi ventrikel dan membantui dalam memgidentifikasi kemungkinan penyebabnya( Neoplasma, kista,malformasi konginetal atau perdarahan intra kranial ) Fungsi ventrikel kadang digunakan untiuk menukur tekanan intra kranial menghilangkan cairan serebrospinal untuk kultur (aturan ditentukan untuk pengulangan pengaliran). EEG : untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik Transluminasi : Untuk mengetahui apakah adanya kelainan dalam kepala MRI : ( Magnetik resonance imaging ) : memberi informasi mengenai stuktur otak tanpa kena radiasi C. Penatalaksanaan Medis. Pasang parau untuk mengeluarkjan kelebihan CSS dari ventrikel lateral kebagian ekstrakranial ( biasanya peritonium untuk bayi dan anak-anak atau atrium pada remaja ) dimana hal tersebut dapat direabsorbsi Diagnosa keperawatan, Intervensi dan rasional. No. Diagnosa Keperawatan Tujuan /kriteria hasil Intervensi Rasional 1. 2. 3. Potensial terhadap perubahan integritas kulit kepala b/d ketidakmampuan bayi dalam mengerakan kepala akibata peningkatan ukuran dan berat kepala Perubahan fungsi keluarga b/d situasi krisis ( anak dalam catat fisik ) Resiko tinggi terjadi cidera b/d peningkatan tekanan intra kranial Tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria : Kulit utuh, bersih dan kering. Keluarga menerima keadaan anaknya, mampu menjelaskan keadaan penderita dengan kriteria : - Keluarga berpartisipasi dalam merawat anaknya dan secra verbal keluarga dapat mengerti tentang penyakit anaknya. Tidak terjadi peningkatan TIK dengan kriteria : - Tanda vital norma, pola nafas efektif, reflek cahaya positif,tidak tejadi gangguan kesadaran, tidak muntah dan tidak kejang.  Kaji kulit kepala setiap 2 jam dan monitor terhadap area yang tertekan  Ubah posisi tiap 2 jam dapat dipertimbangkan untuk mengubaha kepala tiap jam.  Hindari tidak adanya linen pada temap[t tidur  Baringkan kepala pada bantal karet busa atau menggunakan tempat tidur air jika mungkin.  Berikan nutrisi sesuai kebutuhan.  Jelaskan secara rinci tentang kondisi penderita, prosedur, terapi dan prognosanya.  Ulangi penjelasan tersebut bila perlu dengan contoh bila keluarga belum mengerti  Klarifikasi kesalahan asumsi dan misskonsepsi  Berikan kesempatan keluarga untuk bertanya.  Observasi ketat tanda-tanda peningkatan TIK  Tentukan skala coma  Hindari pemasangan infus dikepala  Hindari sedasi  Jangan sekali-kali memijat atau memopa shunt untuk memeriksa fungsinya  Ajari keluarga mengenai tanda-tanda peningkatan TIK  Untuk memantau keadaan integumen kulit secara dini.  Untuk meningkatkan sirkulasi kulit.  Linen dapat menyerap keringat sehingga kulit tetap kering  Untuk mengurangi tekanan yang menyebabkan stess mekanik.  Jaringan akan mudah nekrosis bila kalori dan protein kurang.  Pengetahuan dapat mempersiapkan keluarga dalam merawat penderita.  Keluarga dapat menerima seluruh informasi agar tidak menimbulkan salah persepsi  Untuk menghindari salah persepsi  Keluarga dapat mengemukakan perasaannya.  Untuk mengetahui secara dini peningkatan TIK  Penurunan keasadaran menandakakan adanya peningkatan TIK  Mencegah terjadi infeksi sistemik  Karena tingkat kesadaran merupakan indikator peningkatan TIK  Dapat mengakibatan sumbatan sehingga terjdi nyeri kepala karena peningkatan CSS atau obtruksi pada ujung kateter diperitonial  Keluarga dapat berpatisipasi dalam perawatan anak dengan hidrosefalus. Asuhan Keperawatan Anak J E dengan Hidrosephalus Di IRD Lt. I RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 9 April 2002 Pengkajian. A. Identitas. Penanggung jawab Nama : Anak J E Nama : J H Umur : 4 tahun Umur : 40 th Suku bangsa : Jawa / Indonesia Suku bangsa : sda Agama : Islam Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA Alamat : Genangan Bandungan Surabaya sda B. Riwayat Penyakit. Riwayat penyakit sebelumnya: Menurut pengakuan orang tua sejak 4 bulan yang lalu anaknya pernah panas kemudian disertai mual dan kejang-kejang serta terlihat kepala anaknya mulai membesar kemudian oleh keluarga anaknya diantar ke wat di RSUD Madiun kemudian dirawat selama 7 hari dan pulang paksa dalam keadaan tidak sadar. C. Riwayat penyakit sekarang. Pasien datang diantar oleh orang tuanya ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya tanggal 9 April 2002 Jam 09.00 WIB dalam keadaan tidak sadar ( apatis ) ,muntah tidak proyektil, suhu tubuh meningkat dari normal ( 38 C ), keadaan umum lemah, paralisa. D. Pemeriksaan fisik per sistem tubuh. 1. Sistem Pernafasan. Pada pengkajian sistem pernafasan tidak ditemukan adanya kelainan baik saat inspirasi maupun ekspirsi. 2. Sistem kardiovaskuler Tidak ditemukan adanya kelainan 3. Sistem persarafan. 1) Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi injuri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial o Data obyektif : Tidak sadar, panas( 38 C), muntah tanpa proyektil, strabismus. serta gelisah,paralisa. o Data Subyektif : Orangnya mengatakan anaknya tidak sadar ,muntah tubuhnya panas. 2) Rencana tindakan. Tujuan : Tidak terjadi peningkatan tekanan intra kranial dengan kriteria : Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial ( mual, muntah, kejang, gelisah ). 3) Tindakan keperawatan : •Observasi ketat tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial. Rasional : Untuk mengetahui secara dini peningkatan TIK •Tentukan skala tingkat kesadaran Rasional : Menurunnya kesadaran menunjukkan adanya tanda-tanda adanya peningkatan TIK. •Ajari keluarga mengenai tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial Rasional : Keluarga dapat berpartisipasi dalam perawatan anaknya. •Kolaborasi Rasional : Dapat mencegah atau mempercepat proses penyebuhan penyakit. 4) Evaluasi S : Orang tua mengatakan anaknya belum sadar O : kesadaran apatis, tidak ada mual dan muntah,tidak gelisah A : Masalah teratasi sebagian P : Lanjutkan sesuai rencana Diagnosa keperawatan no.2 Resiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan kemampuan untuk mencapai tugas perkembangan Data obyektif: Peningkatan ukuran lingkar kepala yang abnormal,paralisa,bedres total. Data subyektif: Orang tua mengatakan anaknya tidak dapat melakukan aktivitas seperti anak normal lainnya. Tujuan : Tidak terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Tindakan keperawatan: •Observasi tanda dan gejala gangguan perkembangan secara dini Rasional : Akan mengetahui secara dini kelainan atau penyimpangan dari keadaan normal. •Kolaborasi untuk tindakan pembedahan Membantu mempercepatan proses penyembuhan. Evaluasi : S : Orang mengatakan anaknya tidak dapat beraktifitas seperti biasa O : Anak dalam keadaan bedres total, kepala membesar. A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan sesuai rencana( persiapan tindakan operasi ) 4. Sistem Perkemihan. Tidak ditemukan adanya masalah atau kelainan,namun dalam keadaan sekarang pasien dalam keadaan apatis sehingga kebiasaan BAK dan BAB tidak dapat terkontrol. Diagnosa keperawatan : Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskular Data obyektif : Pasien BAB dan BAK diatas tempat tidur, Paralisa Data Subyektif: Orang mengatakan anaknya tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Tujuan : Perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. Tindakan keperawatan : •Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari Rasional Membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual. •Identifikasikasi kebiasaan BAB dan BAK sebelumnya Rasional : Mengkaji perkembangan program latihan. •Libatkan keluarga dalam perawatan Rasional : Keluarga memahami tentang pentingnya pemenuhan BAB dan Bak dalam perawatan. Evaluasi : S : Orang mengatakan anaknya BAK dan BAB selalu dibantu O : Pasien dalam keadaan bedres total A : Masalah teratasi sebagian P : Lanjutkan sesuai rencana. 5) Sistem Pencernaan. Diagnosa keperawatan Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan muntah sekunder akibat peningkatan TIK Data Obyektif: Pasien muntah, kesadaran apatis,terpasang infus RL 16 x/menit, bibir tampak kering. Data subyektif: Orang mengatakan anaknya tidak mau minum sejak 2hari yang lalu. Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan dalam tubuh dengan kriteria : Pasien tidak haus, mau minum, bibir tidak kering. Tindakan keperawatan: •Observasi ketat intake dan output Rasional : Menentukan data dasar dari pada cairan tubuh. •Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium Rasional : Mengkaji hidrasi dan keefektifan / kebutuhan intervensi •Berikan cairan infus sesuai pesanan Rasional Mempertahan volume sirkulasi cairan dalam tubuh Evaluasi S : Orang mengatakan anaknya muntah-muntah sejak jam 05.00 tanggal 9-4-2002 O : Pasien terpasang infus RL 16 x/menit makro, panas ( 38 C), bibir tampak kering A : Masalah teratasi P : Dilanjutkan sesuai rencana Daftar Pustaka Whaley and Wong ( 1995 ), Nursing Care of infants and children, St.Louis : Mosby year Book Doenges M.E, ( 1999), Rencana Asuhan keperawtan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta Lynda Juall Carpenito, ( 2000) Buku Saku : Diagnosa Keperawatan, Ed.8, EGC, Jakarta Soetomenggolo,T.S . Imael .S , ( 1999 ), Neorologi anak, Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta Halminto,MP, ( 1995 ), Dasar- dasar keperawatan maternitas, Ed. VI, EGC, Jakarta   ASKEP SINDROM DOWN BAB II LANDASAN TEORI A. ANATOMI FISIOLOGI Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu. Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog. Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t (14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. (Suryo.Genetika Manusia. 2001) (Patofisiologi, Edisi 4. 1994) B. KONSEP DASAR MEDIS 1. Definisi Sindom Dwon adalah kelainan hereditas biasanya turun temurun, ada faktor sakit yang kronis diturunkan kepada anak. Sindrom Down merupakan kelainan dari anak sejak dilahirkan yang dapat disebabkan oleh faktor luar atau faktor hereditas, atau biasa dikatakan kelainan pada kongenital. Faktor hereditas diturunkan melalui kromosom. Pada spermatocyit dan ovum jumlah kromosom setengah dari somatik dan seks, sedang tiap kromosom ini terdiri dari DNA yang menyusun gen Kelainan struktur kromosom dapat dikemukakan sebagai berikut : a.) Molleculer disease b.) Kromosom biasanya sepasang-sepasang, yang setiap pasang fungsinya sama yaitu mengatur fase-fase sel tetapi sifat kemempuan kualitas atau komplikasi tidaklah sama. c.) Kromosom abnormalitas, jumlah dan bentuk kromosom yang berlebihan misalnya Trysomi. d.) Homozigot adalh sifat-sifat kromosom sama, heterozygot adalah sifat kromosom yang berlainan, dalam heterozygot yang mempunyai pengaruh banyak disebut dominan dan yang mempunyai pengaruh kecil disebut resesif. Biasanya suatu corak patologi dominan dapat timbul bila heterozygot karena ada faktor dominasi. Resesif Traits Path berlaku untuk abnormal diluar seks kromosom. Adakalanya dominan turun temurun kadang-kadang resesif, hal ini menimbulkan autosom yang inkompleks, misalnya : alkaptunori kadang-kadang resesif dsn kadang dominan. Sindrom Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid. Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan 21, yang biasanya kedua kromosom ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak seharusnya, terjadilah pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu penyebab, dapat juga keadaan ini disebut translokasi yang sifatnya sama karena jumlahnya, tetapi pada pembentukan gamet berlainan. Anak Sidrom Down ini dilahirkan dengan beberapa kelaionan, antara lain : a.) Bentuk kepalanya kecil disebut mikkrosephali. b.) Penutupan fontanel yang lambat. c.) Muka bundar dengan kepala dari samping yang gepeng. d.) Matanya hipertelorisma atau jarak antara kedua mata lebar. e.) Adanya ephikantus ata adanya lipatan di medial dari mata. f.) Kelinan hidung, tulang hidung tidak terbentuk sehingga pangkal hidungnya rata yang memberi jarak mata jauh. g.) Mulut kecil dengan lidah yang tampak besar dan betendensi selalu mengeluarkan lidah. h.) Adanya strabimus, katarakta dan nystagmus. i.) Tonus dari leher kecil seakan-akan kepala mau jatuh. j.) Tonus dari otot perut juga kecil sehingga perut nampak buncit dan mudah menyebabkan herisumbulicalis dan ingunalis. k.) Pada thoraks, kelainan jantung (75% disertai kelainan jantung kongenital) biasanya septal defect/transposisi pembuluh darah besar. l.) Ekstermitas pendek, telapak tangan tidak ada tiga garis melainkan terdapat dua garis transversal disebut siman line m.) Genital, perkembanagnya lambat dan tidak sempurna, tanda-tanda kelamin sekunder juga lambat. n.) Terdapat kelambatan perkembangan : derajat mentalnya menurun, imbisil, debil, dan idiosi. (Suryo. Genetika Manusia. 2001) 2. Etiologi Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinaya pemecahan kromosom dan pecahnya hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi. Pengaturan kembali yang dilakukan sel dapat enghasilkan keseimbangan normal tetapi dapt juga menjadi tidak seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan kromosom normal. Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis. Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan “carrier” yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya, laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya , sampai sekarang belum diketahui. (Suryo. Genetika Manusia. 2001). 3. Patofisiologi Sindrom Down dapat terjadi karena umur ibu yang berumur lebih dari 30 tahun. Mungkin karena suatu ketidakseimbangan hormonal. Umur ayah tidak berpengaruh. Kelainan kehamilan dan kelainan endokrin (pada usia tua dapat terjadi infertilitas relatif. Kelainan tiroid/ovarium), juga memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom atau Sindrom Down. Seorang perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah dibentuknya, yaitu berjumlah hampir 7 juta, semua oosit tadi berada dalam keadaan istirahat pada profase I dari meiosis, sejak sebelum ia lahir sampai mengadakan ovulasi. Dengan demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaan istirahat untuk 12-45 tahun. Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami Nondisjungction, yaitu adanya virus, adanya pengandungan antibodi tiroid tinggi, sel telur akan mengalami kemunduran apabila setelah satu jam berada di dalam saluran fallopi tidak dibuahi. Sebaliknya, testis menghasilkan ±200 juta spermatozoa sehari dan meosis di dalam spermatosit keseluruhannya membutuhkan 48 jam/kurang. Berhubungan dengan itu Nondisjunction boleh dikatakan tidak pernah berlangsung selama spermatogenesis. 4. Manifestasi klinis Anak dengan Sindrom Down sangat mirip satu dengan yang lainnya, seakan-akan kakak beradik. Retardasi mental sangat menonjol disamping juga terdapat retardasi jasmani. Kemampuan berpikir dapat digolongkan pada idiot dan imbisil serta tidak akan mampu melebihi seorang anak yang berumur 7 tahun. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat sederhana, biasanya sangat tertarik oada musik dan kelihatan sangat gembira. Wajah anak sangat khas, kepala kecil dan brakhisephalis dengan daerah oksipital mendatar. Muka lebar, tulang pipi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan, serta sipit miring ke atas dan samping (seperti Mongol). Iris mata menunjukkan bercak-bercak (Bronsfield Spots). Lipatan epikantus jelas sekali, telinga agak aneh, bibir tebal dan lidah besar, kasar dan bercelah-celah (Scrotal tongue). Pertumbuhan gigi geligi sangat terganggu. Kulit halus dan longgar, tetapi warnanya normal. Di leher terdapat lipatan-lipatan yang berlebihan. Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkak ke dalam. Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan falang tengah dan distal rudimenter. Jarak antara jari I dan II, baik pada tangan maupun kaki agak besar melintang (Simian crease). Alat kelamin biasanya kecil. Otot hipotonik dan pergerakkan sendi-sendi berlebihan. Kelainan jantung bawaan seperti defek septum ventrikel sering ditemukan. Penyakit infeksi terutama saluran pernapasan sering mengenai anak dengan kelainan Sindrom Down. Angka leukimia timggi. Pertumbuhan bayi kadang-kadang baik tetapi kemudian menjadi lambat. 5. Pemeriksaan Diagnostik Amniosentesis Yaitu pemeriksaan kemungkinan adanya kelainan kromosom pada bayi yang masih terdapat di dalam kandungan ibunya. Cairan amnion berikut sel-sel bebas dari fetus (bayi dalam kandungan) diambil sebanyak 10-20 cc dengan menggunakan jarum injeksi. Waktu yang paling baik untuk melakukan amniosentesi ialah pada kehamilan 14-16 minggu. Jika terlalu awal dilakukan, cairan amnion belum cukup banyak, sedang jika terlambat melakukannya, maka akan lebih sulit untuk membuat kultur dari sel-sel fetus yang ikut terbawa amnion. Sel-sel fetus setelah melalui suatu prosedur tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu kemudian diperiksa kromosomnya untuk dibuat kariotipenya. Apabila pada kariotipe terlihat adanya 3 buah autosom nomor 21, maka secara prenatal Sindroma Down sudah dapat dipastikan pada bayi itu. Resiko adanya bayi Sindrm Down bagi ibu-ibu yang berumur kurang dari 25 th ialah kira-kira satu dalam 1500 kelahiran, pada usia 40 tahun dalam 100 kelahiran, sedangkan pada usia 45 tahun satu dalam 45 kelahiran. Ini berarti bahwa apabila ibu-ibu yang hamil pada usia 45 tahun diperiksa, maka satu dari 40 ibu-ibu dapat diduga mengandung bayi Trisomi-21. dengan diadakannya program Keluarga Berencana Lestari, maka resiko mendapatkan anak cacat Sindrom Down dan lain-lain yang disebabkan oleh kelainan kromosom dapat ditekan amat rendah. Amniosentesis dilakukan pula untuk mengetahui apakah bayi dalam kandungan mengalami gangguan biokimia. 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk penyakit Sindrom Down terdiri dari a. Pengobatan/therapi Yang tersedia adalah berbagai macam antibiotika. Dengan adanya antibiotika, maka usia mereka kini dapat diperpanjang. b. Pengasuhan Anak-anak penderita Sindrom Down diasuh dalam suatu lembaga/yayasan khusus penderita Sindrom Down dengan asuhan yang sudah ada. c. Tes amniosentesis Amnion berikut sel-sel bebas dari fetus (bayi dalam kandungan) diambil 10-20 cc dengan menggunakan jarum injeksi. Dilakukan pada kehamilan 14-16 minggu. Sel-sel fetus setelah melalui prosedur tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu kemudian diperiksa kromosomnya untuk dibuat kariotipenya. Bila pada kariotipe dilihat adanya tiga buah autosom nomor 21 maka secara prenatal Sindrom Down sudah dapat dipastikan pada bayi itu. 7. Komplikasi 1). Hipotiroidime Kadang sulit dibedakan. Secara kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak dengan hipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan Sindrom Down biasanya sangat efektif. 2). Akondroplasia 3). Rakitis 4). Sindrom Turner 5). Retardasi Mental 6). Kelainan Jantung seperti defek septum ventrikel 7). Penyakit infeksi terutama pernapasan 8). Leukimia tinggi C. KONSEP DASAR KEPERAWATAN 1. Pengkajian (Doengoes, et all, 1999) a. Aktivitas/istirahat Data subyektif 1) Ibu klien mengatakan “anak saya tidak ada aktivitas selain baring dan menggerakkan tubuhnya” Data obyektif 1) Klien tampak takipnea pada keadaan baring rata 2) Perubahan posisi klien tampak seutuhnya dilakukan oleh keluarga 3) Tampak terpasang O2 1 liter/jam b. Sirkulasi Data subyektif 1) Ibu klien mengatakan “anak lahir dengan kepala kecil” 2) Ibu klien mengatakan “saya duga anak saya duga penyakit paru- paru” 3) Ibu klien mengatakan “pertumbuhan anak saya berbeda dengan anak yang lainnya” Data obyektif 1) Lingkar kepala 2) Napas terdebgar Rales dengan frekuensi napas 48x/menit 3) Klien tampak tidak ada pertahanan tubuh yang kuat c. Integritas Ego Data subyektif 1) Ibu klien mengatakan “anak saya tergantung pada kami” d. Eliminasi Data subyektif 1) Bapak klien mengatakan “anak ngompol 5x” 2) Bapak klien mengatakan “anak saya sudah BAB hancur 4x” 3) Orangtua klien mengatakan “banyak dahak putih di mulut anak” Data obyektif 1) Urine tampak encer, pucat dan ngompol, feses warna kuning 2) Abdomen rata 3) Bising usus 30x/menit 4) Tampak ada asepto menghisap lendir e. Makanan/Cairan Data subyektif 1) Keluarga klien mengatakan “anak saya tidak mampu makan/minum” Data obyektif 1) BB=5,5 kg. BB turun 2 kg 2) Ada SH dan IV 3) Kulit DBN f. Hygiene Data subyektif 1) Bapak klien mengatakan “saya selalu membersihkan anak saya” Data obyektif 1) Klien tampak bersih g. Neurosensori Data subyektif 1) Ibu klien mengatakan “klien kadang kejang-kejang sebentar Data obyektif 1) Otot seluruh tubuh tampak spasme 2) Tangan tampak mengepal 3) Tampak tegang h. Pernapasan Data subyektif 1) Keluarga mengatakan “anak saya susah bernapas dan sering batuk” Data obyektif 1) Napas terdengar Rales kuat dengan frekuensi napas 48x/menit 2) Terpasang O2 dan SH 3) Mulut selalu terbuka 4) Tampak sputum putih di dalam mulut klien i. Nyeri/tidak nyaman Tidak dikjai j. Seksualitas Tidak dikaji k. Interaksi sosial Data subyektif 1) Ibu klien mengatakan “anak saya bisa melihat kepada orang yang berbicara pada anaknya” Data obyektif 1) Tampak melihat kearah suara yang memanggil nama klien 2) Klien tampak sangat disayangi oleh keluarga 2. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan jalan napas takefektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan status mental/tingkat kesadaran c. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan oral d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik e. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang informasi 3. Rencana/Intervensi Keperawatan Rencana keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Berikut ini akan disajikan rencana keperawatan berdasarkan masing-masing diagnosa (Doengoes, et all, 1999): a. Untuk diagnosa no.a Tujuan: Ventilasi dan oksigen adekuat untuk kebutuhan individu Kriteria: Menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas Intervensi: 1) Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan dan gerakan dada R/: Takipnea, pernapasan dangkal, dan gerakan dada simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru. (Doengoes 1999, hal.166). 2) Penghisapan sesuai indikasi R/: Merangsang batukpembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk takefektif atau penurunan tingkat kesadaran(Doengoes 1999, hal.166). 3) Bantu mengawasi efek pengobatan nebuliser dan fisioterapi lain, mis., spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, drainase postural. Lakukan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin. R/: Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret. Koordinasi pengobatan/jadwal dan majukan oral mengurangi muntah karena batuk, pengeluaran sputum. (Doengoes 1999, hal.166). 4) Berikan obat sesuai indikasi; mukolitik, ekspektoran, brongkodilator, R/: alat untuk mengurangi spasme bronkus dengan mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan mengurangi ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat mengurangi upaya batuk/menekan pernapasan. (Doengoes 1999, hal.166). 5) Berikan cairan tambahan, mis., IV, Oksigen humidifikasi, dan ruang humidifikasi. R/: Cairan diperlukanuntuk menggantikan kehilangan (termasuk yang tak tampak) dan memobilisasikan sekret(Doengoes 1999, hal.166). b. Untuk diagnosa no. b Tujuan: Masukan nutrisi adekuat untuk kebutuhan individu Kriteria: BB progresif kearah tujuan dengan nilainya bebas dari nutrisi. Intervensi: 1) Kaji status nutrisi secara kontinue, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energi; kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia. R/: memberikan kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari normal/dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi (Doengoes 1999, hal. 1024). 2) Timbang BB setiap hari dan bandingkan dengan BB saat penerimaan. R/: Membuat data dasar, membantu dalam memantau keefektifan aturan terapeutik, dan menyadarkan perawat terhadap ketidaktepatan kecendrungan dalam penurunan/penambahan BB (Doengoes 1999, hal. 1024). 3) Dokumentasikan masukan oral slama 24 ja, riwayat makanan, jumlah kalori dengan tepat. R/: Mengidentifikasikan ketidakseimbangan antara perkiraan kebutuhan nutrisi dan masukan aktual (Doengoes 1999, hal. 1024). 4) Berikan larutan nutrisi pada kecepatan yang dianjurkan melalui alat kontrol infus sesuai kebutuhan. Atur kecepatan pemberian setiap jam sesuai anjuran. Jangan meningkatkan kecepatan untuk “mencapai”. R/: Ketentuan dukungan nutrisi didasarkan pada perkiraan kebutuhan kalori dan protein. Kecepatan konisten dari pemberian nutrisi akan menjamin penggunaan tepat dengan efek samping lebih sedikit, seperti hiperglikemia/sindrom dumping. Infus secara umum lebih baik ditoleransi dari pada pemberian makan bolus dan mengakibatkan perbaikan absorvasi (Doengoes 1999, hal. 1024). 5) Pertahankan retensi selang pemberian makan enteral dengan membilas air hangat, sesuai indikasi. R/: Formula enteral mengandung protein yang menghambat selang pemberian makan (silikon) mungkin daripada selang poliuretan yang memerlukan pembuangan/pergantian selang (Doengoes 1999, hal. 1024). c. Untuk diagnosa no. c Tujuan: Memperbaiki keseimbangan cairan Ktiteria: Menunjukkan keseimbangan cairan dibuktikkan dengan parameter individual yang tepat, mis., membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, TTV stabil. Intervensi: d. Untuk diagnosa no. d Tujuan: Adanya peningkatan toleransi aktivitas Kriteria: Melaporkan/menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentang normal. Intervensi: 1) Evalusi respon terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan TTV selama dan aktivitas. R/: Menetapkan kemampuan/kebutuhan klien dan memudahkan pilihan intervensi (Doengoes 1999, hal. 170). 2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. R/: Menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat (Doengoes 1999, hal. 1024). 3) Bantu klien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan tidur. R/: Klien mungkun nyaman dengan kepala tinggi (Doengoes 1999, hal. 1024). 4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. R/: Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai oksigen (Doengoes 1999, hal. 1024). e. Untuk diagnosa no. e Tujuan: memahami penyakit/prognosis Kriteria: Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan intervensi. Intervensi: 1) Jelaskan proses penyakit individu. Dorong orang terdekat menanyakan pertanyaan. R/: Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan (Doengoes 1999, hal. ). 2) Tekankan pentingnya perawatan oral. R/: Menurunkan pertumbuhan bakteri pada mulut, dimana dapat menimbulkan infeksi pernapasan atas (Doengoes 1999, hal. ). 3) Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernapasan aktif. Tekankan perlunya vaksinasi, influenza/pnemokokal rutin. R/: Menurunkan pemajanan dan insiden mendapatkan infeksi saluran napas atas dan bawah (Doengoes 1999, hal. ). 4. Pelaksanaan Menurut (Nursalam, 2001, hal. 62) dikutip dari Iyer et all., 1996, ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan, yaitu: a. Tahap periapan, yang menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan. b. Tahap intervensi, adalah kegiatan pelaksanaan dari perencanaan yang meliputi kegiatan independen (mandiri), dependen (pelaksanaan dari tindakan medis) dan interdependen (kerjasama dengan tim kesehatan lain). c. Tahap dokumentasi, adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap kejadian dalam proses keperawatan. Dalam melakukan asuhan keperawatan klien Sindrom Down yang perlu diperhatikan adalah ventilasi dan oksigen adekuat, masukan nutrisi adekuat, memperbaiki keseimbangan cairan, meningkatkan toleransi aktivitas, memahami prognosis penyakit (Doengoes, 1999, hal. 166-172,1024, ). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, perawat harus mampu bekerja sama dengan klien, keluarga serta anggota tim kesehatan yang lain sehingga asuhan yang diberikan dapat optimal dan komprehensif. 5. Evaluasi Evaluasi dan penilaian asuahn keperawatan adalah untuk mengetahui keberhasilan atas tindakan yang akan dilaksanakan. Ada empat kemungkinan yang akan terjadi yaitu masalah dapat diatasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi, atau mungakin timbul masalah baru(Nuarasalam, 2001,hal 73)   RETARDASI MENTAL Posted on 22 Agustus 2009 1. PENGERTIAN Retardasi mental adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki kemampuan mental yang tidak mencukupi(WHO) Retardasi Mental adalah kelainan fungsi intelektual yang subnormal terjadi pada masa perkembangan dan berhubungan dengan satu atau lebih gangguan dari ; b. Maturasi c. Proses belajar d. Penyesuaian diri secara social 2. ETIOLOGI Kelainan ini dapat digolongkan menjadi : a. Penyebab Organik 1). Faktor prenatal :  Penyakit kromosom ( Trisomi 21 ( Sindrom Down)  Sindrom Fragile X  Gangguan Sindrom ( distrofi otot Duchene, neurofibromatosis ( tipe 1)  Gangguan metabolisme sejak lahir ( Fenilketonuria ) 2). Faktor Perinatal :  Abrupsio plasenta  Diabetes maternal  Kelahiran premature  Kondisi neonatal termasuk meningitis dan perdarahan intracranial 3). Faktor Pasca natal :  Cedera kepala  Infeksi  Gangguan degeneratif b. Penyebab non organik Kemiskinan dan keluarga tidak harmonis Sosial cultural Interaksi anak kurang Penelantaran anak c. Penyebab lain : Keturunan,pengaruh lingkungan dan kelainan mental lain Retardasi mental dapat juga disebabkan oleh gangguan psikiatris berat dengan deviasi psikososial atau lingkungan ( Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta ) 3. MANIFESTASI KLINIS  Gangguan kognitif ( pola, proses pikir )  Lambatnya ketrampilan ekspresi dan resepsi bahasa  Gagal melewati tahap perkembangan yang utama  Lingkar kepala diatas atau dibawah normal ( kadang-kadang lebih besar atau lebih kecil dari ukuran normal )  Kemungkinan lambatnya pertumbuhan  Kemungkinan tonus otot abnormal ( lebih sering tonus otot lemah )  Kemungkinan ciri-ciri dismorfik  Terlambatnya perkembangan motoris halus dan kasar 4. PATOFISIOLOGI Retardasi mental merujuk pada keterbatasan nyata fungsi hidup sehari-hari. Retardasi mental ini termasuk kelemahan atau ketidakmampuan kognitif yang muncul pada masa kanak-kanak ( sebelum usia 18 tahun ) yang ditandai dengan fungsi kecerdasan di bawah normal ( IQ 70 sampai 75 atau kurang ) dan disertai keterbatasan-keterbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaftif : berbicara dan berbahasa , kemampuan/ketrampilan merawat diri, kerumahtanggaan, ketrampilan sosial, penggunaan sarana-sarana komunitas, pengarahan diri , kesehatan dan keamanan , akademik fungsional, bersantai dan bekerja. Penyebab retardasi mental bisa digolongkan kedalam prenatal, perinatal dan pasca natal. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini pada masa kanak-kanak. 5. KRITERIA DIAGNOSTIK - Fungsi intelektual yang secara signifikan berada dibawah rata-rata . IQ kira-kira 70 atau kurang ( untuk bayi penilaian klinis dari fungsi fungsi intelektual dibawah rata2 ). - Kekurangan atau kerusakan fungsi adaptif yang terjadi bersamaan ( mis. efektifitas seseorang dalam memenuhi harapan kelompok budayanya terhadap orang seusianya) dalam sedikitnya dua area berikut : komunikasi, perawatan diri , kerumahtanggaan, ketrampilan sosial dan interpersonal, penggunaan sarana-sarana masyarakat pengarahan diri, ketrampilan akademik fungsional , bekerja, bersantai , kesehatan dan keamanan. – Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun. Kode dibuat berdasarkan tingkat keparahan yang tercermin dari kerusakan inteletual : 317 Retardasi mental ringan ( Tingkat IQ 50-55 sampai kira-kira 70 ) 318.0. Retardasi mental Sedang ( Tingkat IQ 35-40 sampai 50-55 ) 318 .1. Retardasi mental berat ( Tingkat IQ 20-35 sampai 35-45 ) 318.2. Retardasi mental yang amat sangat berat (Tingkat IQ dibawah 20-25) 319 Retardasi mental dengan keperahan yang tidak disebutkan: jika terdapat dugaan kuat adanya retardasi mental tetapi emintelligence orang tsb tidak dapat diuji dengan test Standar. 6. KOMPLIKASI  Serebral palcy  Gangguan kejang  Gangguan kejiwaan  Gangguan konsentrasi /hiperaktif  Defisit komunikasi  Konstipasi 7. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK  Uji intelegensi standar ( stanford binet, weschler, Bayley Scales of infant development )  Uji perkembangan seperti DDST II  Pengukuran fungsi adaftif ( Vineland adaftive behaviour scales, Woodcock-Johnson Scales of independent Behaviour, School edition of the adaptive behaviour scales ). 8. PENATALAKSANAAN MEDIS Berikut ini adalah obat-obat yang dapat digunakan :  Obat-obat psikotropika ( tioridazin,Mellaril untuk remaja dengan perilaku yang membahayakan diri sendiri  Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda gangguan konsentrasi/gangguan hyperaktif.  Antidepresan ( imipramin (Tofranil)  Karbamazepin ( tegrevetol) dan propanolol ( Inderal ) Pencegahan :  Meningkatkan perkembangan otak yang sehat dan penyediaan pengasuhan dan lingkungan yang merangsang pertumbuhan  Harus memfokuskan pada kesehatan biologis dan pengalaman kehidupan awal anak yang hidup dalam kemiskinan dalam hal ini ; - perawatan prenatal – pengawasan kesehatan reguler – pelayanan dukungan keluarga ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN Pengkajian terdiri atas evaluasi komprehensif mengenai kekurangan dan kekuatan yang berhubungan dengan ketrampilan adaptif ; komunikasi, perawatan diri, interaksi sosial, penggunaan sarana-sarana di masyarakat pengarahan diri, pemeliharaan kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, pembentukan ketrampilan rekreasi dan ketenangan dan bekerja. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN • Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d. kelainan fungsi kognitif • Gangguan komunikasi verbal b.d. kelainan fungsi kognitif • Risiko cedera b.d. perilaku agresif ketidakseimbangan mobilitas fisik • Gangguan interaksi social b.d. kesulitan bicara/ kesulitan adaptasi sosial • Gangguan proses keluarga b.d. memiliki anak retardasi mental • Deficit perawatan diri b.d. perubahan mobilitas fisik /kurangnya kematangan perkembangan. C. INTERVENSI • Kaji factor penyebab gangguan perkembangan anak • Indentifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan anak yang optimal • Berikan perawatan yang konsisten • Tingkatkan komunikasi verbal dan stimualsi taktil • Berikan instruksi berulang dan sederhana • Berikan reinforcement positif atas hasil yang dicapai anak • Dorong anak melakukan perawatan sendiri • Manajemen perilaku anak yang sulit • Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok • Ciptakan lingkungan yang aman D. PENDIDIKAN PADA ORANG TUA • Perkembangan anak untuk tiap tahap usia • Dukung keterlibatan orang tua dalam perawatan anak • Bimbingan antisipasi dan manajemen menghadapi perilaku anak yang sulit • Informasikan sarana pendidikan yang ada dan kelompok E. HASIL YANG DIHARAPKAN • Anak berfungsi optimal sesuai tingkatannya • Keluarga dan anak mampu menggunakan koping terhadap tantangan karena adanya ketidakmampuan • Keluarga mampu mendapatkan sumber-sumber sarana komunitas Suka Be the first to like this post.   askep serebral palsy BAB I A. PENDAHULUAN Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmud Freud menyebutnya dengan istilah infantile Cerebra)Paralysis. Winthrop Phelps menekankan pentingnya pensekatan multidisiplin dalam penanganan penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja social, guru sekolah luar biasa. Disamping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat. Dengan meningkatnya pelayanan obstetric dan perinatologi dan rendahnya angka kelahiran di Negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat angka kejadian cerebral palsy akan menurun. Namun dinegara-negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteranselain menurunkan angka kematian bayi risiko tingi, juga meningkatkan jumlah anak-anak dengan gangguan perkembangan. Ada beberapa factor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, Gilory memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan deficit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy, 50 % kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25 % mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30 % kasus menunjukkn IQ di bawah 70, 35 % disertai kejang, sedangkan 50 % menunjukan gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak dari pada wanita ( 1,4 : 1,0). BABA II TINJAUAN TEORI A. DEFINISI Serebral palsi ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) serta merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan serebelum juga kelainan mental. B. ETIOLOGI 1. Pranatal Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella dan penyakit infeksi sitomegalik. Kelainan yang menyolok biasanya gangguan pergerakan dan reterdasi mental. Anoksia dalam kandumgan, terkena radiasi sinar X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan serebral palsi. 2. Perinatal a) Anoksia/hipoksia Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi bayi abnoemal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar. b) Perdarahan otak Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruangsubdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis. c) Prematuritas Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita pendarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, factor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna. d) Ikterus Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah. e) Meningitis purulenta Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral. 3. Pascanatal Setiap kerusakan pada jaringan otak yang menggangu perkembangan dapat menyebabkan serebra palsi misalnya trauma kapitis, meningitis dan luka paruh pada otak pasca operasi. C. PATOFISIOLOGI Adanya malformasi hambatan pada vaskuler , atrofi, hilangnya neuron dan degenarasi laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran sulci dan berat otak rendah. Serebral palsi digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacat nonprogressive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi serebral palsi dapat diakibatkan oleh suatu dasar kelainan (structural otak : awal sebelum dilahirkan , perinatal, atau luka-luka /kerugian setelah kelahiran dalam kaitan dengan ketidak cukupanvaskuler ,toksin atau infeksi). D. FAKTOR RESIKO a. Prematuritas b. Ikterus pada masa neonatus c. Meningitis purulenta pada masa bayi E. MENIFESTASI KLINIK a. Spastisitas Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai. b. Tonus otot yang berubah Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus. c. Koreo-atetosis Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus. d. Ataksia Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum. e. Gangguan pendengaran Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis. f. Gangguan bicara Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur. g. Gangguan mata Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. E. KLASIFIKASI Berdasarkan gejala klinis maka pembagian serebral palsi adalah sebai berikut: 1. Tipe spastis atau piramidal Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah: •Hiprtoni (fenomena pisau lipat) •Hiperfleksi yang disertai klonus •Kecenderungan timbul kontraktur •Refleks patologis 2. Tipe ekstrapiramidal Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retradasi mental. Disamping itu juga dijumpai gejala hipertoni, hiperfleksi ringan, jarang sampai timbul klonus. Pada tipe ini kontraktun jarang ditemukan apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah yang asimetnis dan disantni 3. Tipe campuran Gejala-gejala merupakan campuran kedua gejala di atas, misalnya hiperrefleksi dan hipertoni disertai gerakan khorea. F. PENATALAKSANAAN a. Medik Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupatiional therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orangtua pasien. b. Fisioterapi Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatika posisis pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup. c. Tindakan bedah Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan. d. Obat-obatan Pasien sebral palsi (CP) yang dengan gejala motorik ringan adalah baik, makin banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Bila di negara maju ada tersedia institute cerebral palsy untuk merawat atau untuk menempung pasien ini. e. Tindakan keperawatan Mengobservasi dengan cermat bayi-nayi baru lahir yang beresiko ( baca status bayi secara cermat mengenai riwayat kehamilan/kelahirannya . jika dijumpai adanya kejang atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan semestinya. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak walaupun selama di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar dipesankan kepad orangtua/ibunya jika melihat sikap bayi tidak normal supaya segera dibawa konsultasi ke dokter. G. DIAGNOSA PENUNJANG 1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis sebral palsi di tegakkan. 2. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada serebral palsi. CSS normal. 3. Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang disertai kejang maupun yang tidak. 4. Foto rontgen kepala. 5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang dibutuhkan. 6. Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebablain dari reterdasi mental. H. KOMPLIKASI 1. Ataksi 2. Katarak 3. Hidrosepalus I. PROGNOSIS Prognosis tergantung pada gejala dan tipe sebral palsi. Prognosis paling baik pada derajat fungsional yang ringan. Prognosis bertambah berat apabila disertai dengan retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan pengkiahatan dan pendengaran Infeksi plasenta, plasenta previa, presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik

0 Response to "askep anak"

Post a Comment

* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya