Faktor Risiko Kejadian Miopia Pada Murid Sekolah Dasar Negeri 12 Baruga Kota Kendari Tahun 2011

http://asmanurs3.blogspot.com/. PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning). Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak didepan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif/bola mata yang terlalu panjang, miopia aksia atau sumbu. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat,dan lebih jelas lagi apabila melihat terlalu dekat, sedangkan melihat benda yang jauh terlihat kabur. Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih terlihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvegensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi.
Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropic.  Derajat miopia pasien dapat ringan (1-3 dioptri), sedang (3-6 dioptri), atau berat (lebih dari -10 dioptri). Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer, dengan miopik kresen pada papil saraf optik. Dibandingkan dengan seluruh kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui merupakan masalah yang paling besar karena menyangkut jumlah penderita kelainan refraksi yang tertinggi serta menyebabkan gangguan terhadap kehidupan serta pekerjaan sehari-hari. (Ilyas, 2004)
Miopia merupakan kesalahan bias yang lurus sinar dari obyek yang jauh difokuskan di depan retina dan objek tidak dapat dilihat dengan jelas. Dalam beberapa tahun terakhir gangguan refraksi yang tidak diperhatikan adalah masalah visual terkemuka di dunia yang mempengaruhi rata-rata sekitar 30% (3-84%) orang. Baik genetika dan lingkungan telah terlibat dalam penyebab miopia. Daerah perkotaan / pinggiran kota negara industri mengalami kejadian yang signifikan lebih tinggi. Ketegangan intra-okular disebabkan oleh bekerja jarak dekat menyebabkan pemanjangan bola mata karena mantel lembut mata pada anak misalnya keratoconus dan menghasilkan kesulitan dalam akomodasi untuk penglihatan dekat (Shahroona,2007).
Miopia biasanya terjadi pada anak-anak remaja usia 8 sampai 14 tahun, faktor yang menyebabkannya adalah keturunan, membaca sambil tiduran, menonton tv dari jarak dekat, dan tentu saja, berada di depan komputer terus-menerus. Miopia atau biasa juga disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang atau lengkungan kornea yang terlalu cekung. (Shafa, 2010).
Prevalensi miopia telah meningkat secara substansial selama dekade terakhir, mempengaruhi sekitar 30% orang dewasa di Amerika Serikat dan lebih dari 80% siswa di Asia Timur perkotaan. Meskipun etiologi rabun tidak jelas, kemajuan teknologi dianggap sebagai kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Anak-anak, misalnya, berada pada risiko yang lebih besar mengembangkan miopia jika salah satu atau kedua orang tua mereka yang rabun, menunjukkan miopia yang turun-temurun studi kembar Classic telah lebih lanjut menunjukkan komponen genetik untuk pengembangan rabun (Totonelly,2010).
Miopia patologis mempengaruhi 1-2% dari populasi umum, dan dapat menyebabkan kebutaan. Gejala miopia termasuk sakit kepala dan mata lelah dan bahkan menyipitkan mata pada anak-anak muda. Miopia tinggi, yang mengarah ke detasemen retina adalah penyebab paling umum keempat miopia. Penglihatan yang buruk dapat mengganggu kinerja sekolah dan kesempatan menurunkan anak-anak untuk mencapai potensi profesional mereka di kemudian hari. Pencegahan gangguan refraksi adalah dengan membiasakan membaca dengan posisi yang baik (Shahroona,2007).
Jumlah penderita rabun jauh (miopia/myopia) semakin lama semakin meningkat. Penyebabnya adalah pola hidup yang salah dan faktor keturunan. Perbedaan aktivitas melihat menyebabkan anak-anak usia SD di perkotaan berisiko lebih tinggi menderita miopia atau mata minus dibandingkan mereka yang di pedesaan. Aktivitas sehari-hari antara orang-orang kota dan desa yang berbeda juga memberikan faktor risiko yang berbeda, termasuk pada anak-anak (Shafa, 2010).
Gangguan refraksi masih merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan, terdapat 45 juta orang yang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Diperkirakan gangguan refraksi menyebabkan sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaan global) mengalami kebutaan. Angka kebutaan anak di dunia masih belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus kebutaan pada anak, dan 500.000 kasus baru terjadi tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak ini meninggal beberapa bulan setelah mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan pada anak sangat bervariasi pada tiap negara. Diperkirakan setiap satu menit terdapat satu anak menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara (Fatika, 2009).
Dari survey yang dilakukan terhadap 2268 anak berusia 7-13 tahun yang diperiksa dari 23 Sekolah Dasar di Yogyakarta, sebanyak 12 sekolah dasar berasal dari daerah perkotaan dan 11 dari pedesaan yang tersebar di 5 Kabupaten di DIY. Kejadian myopia (rabun jauh) pada anak usia sekolah dasar di DIY adalah 8,29% dengan prevalensi di kota dan di desa masing-masing 9,49% dan 6,87%. Sekitar 62,8% penderita myopia adalah anak-anak dari daerah perkotaan, sedangkan dari keseluruhan subyek myopia ini, 5% diantaranya tergolong penderita myopia tinggi yang dicirikan dengan ukuran kacamata lebih dari minus 5 dioptri. Anak perempuan lebih banyak menderita myopia dari pada anak laki-laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1. Perbandingan serupa pada myopia tinggi adalah 3,5 : 1. Sebanyak 30% penderita myopia berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke atas (Supartoto, 2007).
Hasil penelitian bagian mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) terhadap kondisi mata anak-anak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan hal tersebut. “Aktivitas belajar pada anak di kota 2,19 jam per hari dan anak di desa 1,39 jam per hari. Hal ini terkait kegiatan mereka melihat televisi, komputer, dan video game. Dengan aktivitas seperti itu, rata-rata pertambahan nilai minus pada anak sekolah daerah perkotaan mencapai minus 0,83 dioptri dan pertambahan nilai minus pada anak sekolah dasar daerah pedesaan sebesar 0,61 dioptri (Fatika, 2009).
Menurut “National Eye Institute Study”, miopia merupakan penyebab kelima yang sering menyebabkan gangguan penglihatan dan merupakan penyebab kutujuh yang sering menyebabkan kebutaan di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris merupakan penyebab kebutaan (Shafa, 2010).
Jumlah penderita miopia pada anak sekolah dasar tiap tahunnya meningkat, hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya miopia tersebut. Salah satu dari penyebab yang ada miopia disebabkan oleh perilaku-perilaku yang kurang baik, misalnya saja membaca sambil tiduran, menonton dengan jarak yang dekat.
Berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Pendidikan Nasional Bidang Pendidikan Dasar, bahwa jumlah siswa terbanyak dari seluruh kecamatan yang ada di Kota Kendari adalah tersebar di Kecamatan Baruga. Dari 20 SDN (Sekolah Dasar Negeri) yang ada di Kecamatan Baruga dengan jumlah keseluruhan 9.519 anak, jumlah murid terbanyak adalah di SDN 12 Baruga yaitu sebanyak 983 murid. Selain dari jumlah muridnya yang terbanyak, SDN 12 Baruga Kota Kendari merupakan sekolah favorit, dan di SDN 12 Baruga terdapat kelas akselerasi yaitu kelas percepatan bagi siswa yang memiliki prestasi belajar yang sangat baik. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan, dari jumlah keseluruhan murid di SDN 12 Baruga kota kendari terdapat 30 murid yang mengalami gangguan refraksi yaitu miopia. Murid yang terkena miopia ini tersebar di beberapa kelas yaitu mulai dari kelas III, IV, V, dan kelas VI. Hal inilah yang memicu ketertarikan untuk mengambil lokasi penelitian di SDN 12 Baruga. 
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti telah melakukan penelitian dengan judul “Faktor Risiko Kejadian Miopia Pada Murid Sekolah Dasar Negeri 12 Baruga Kota Kendari Tahun 2011”.
B.    Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Apakah Faktor Riwayat Keluarga/Genetik, Jarak Menonton Televisi (TV), Jarak Membaca, merupakan Faktor Risiko Kejadian Miopia Pada Murid Sekolah Dasar Negeri 12 Baruga Kota Kendari Tahun 2011?
C.    Tujuan
1.  Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko Riwayat Keluarga/Genetik, Jarak Menonton Televisi (TV), Jarak Membaca dengan kejadian Miopia Pada Murid Sekolah Dasar 12 Baruga Tahun 2011.
2.  Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.    Mengetahui faktor risiko riwayat keluarga (genetik) dengan kejadian miopia pada murid sekolah dasar 12 Baruga Kota Kendari tahun 2011.
b.    Mengetahui faktor risiko jarak menonton televisi (TV) dengan kejadian miopia pada murid sekolah dasar 12 Baruga Kota Kendari tahun 2011.
c.    Mengetahui faktor risiko jarak membaca dengan kejadian miopia murid sekolah dasar 12 Baruga Kota Kendari tahun 2011.
d.    Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga Kota Kendari tahun 2011.
D.    Manfaat Penelitian
1.    Manfaat Teoritis
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau sebagai  bahan kajian pustaka  bagi peneliti selanjutnya.
2.    Manfaat Praktis
Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Kendari untuk menetapkan kebijakan dalam upaya menurunkan prevalensi miopia pada anak sekolah dasar di Kota Kendari khusunya dan Sulawesi Tenggara pada umumnya.
3.    Manfaat Peneliti
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi suatu pengalaman berharga bagi peneliti sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat serta menambah wawasan pengetahuan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan umum tentang miopia (rabun jauh)
1.    Pengertian miopia
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh media  penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata  emetropia  dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya  pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti pungtum proksimum yang merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, yang merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan mata (Ilyas, 2004).
Pada hakekatnya hanya dikenal lima macam proses patologis yang dialami, yaitu proses-proses radang, tumor, degenerasi, trauma (ruda paksa), dan congenital. Fungsi utama mata adalah untuk melihat, maka penderita sering mengalami gangguan mata yang tidak dapat di masukkan ke dalam lima macam proses tersebut di atas. Kelainan yang  dialami penderita adalah berhubungan dengan fungsi mata sebagai alat penglihatan. Misalnya penderita merasa tidak jelas untuk melihat, dapat tidak jelas untuk melihat jauh dan ataupun untuk melihat dekat. Kelainan tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu proses tersebut di atas.
Kelainan melihat ini dapat dimasukkan ke dalam kelainan fungsi mata. Penyakit mata yang sering dijumpai di indonesia adalah sebagai berikut : 
a.    Kelainan refraksi yaitu miopia, hipermetropi, dan astigmat, yang bukan termasuk kelainan refraksi. Tetapi pengobatan yang diberikan juga dengan pemberian kaca mata adalah presbiob, yang akan dialami oleh semua orang bila umurnya telah 40 tahun ke atas.
b.    Katarak, merupakan kekeruhan lensa yang paling banyak dijumpai adalah katarak senilis.
c.    Kelainan-kelainan radang yaitu konjungtivitas, keratitis, iritis, dan hordeolum.
d.    Kelainan-kelainan akibat trauma fisis (panas, dingin), kemis (asam basa), mekanis (tajam, tumpul).
e.    Kelainan kongenital pada kornea dan lensa.
f.    Glaukoma dengan inflamasi atau tanpa gejala inflamasi (Soemarsono, 2008).
 Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning). Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif/bola mata yang terlalu panjang, miopia aksia atau sumbu (Ilyas,2003).
Miopia terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang saat bayi. Dikatakan pula, semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan (Curtin,2002)
Miopia aksial, miopia yang terjadi akibat memanjangnya sumbu bola mata, dibandingkan dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal. Terjadinya elongasi sumbu yang berlebihan pada miopia patologi masih belum diketahui. Sama halnya terhadap hubungan antara elongasi dan komplikasi penyakit ini, seperti degenerasi chorioretina, ablasio retina dan glaucoma. Columbre dan rekannya, tentang penilaian perkembangan mata anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan intraokular meluas ke rongga mata dimana sklera berfungsi sebagai penahannya. Jika kekuatan yang berlawanan ini merupakan penentu pertumbuhan ocular post natal pada mata manusia, dan tidak ada bukti yang menentangnya maka dapat pula disimpulkan dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi berlebihan pada miopia. Pada miopia (rabun jauh) bahkan bila muskulus siliaris sama sekali berelaksasi pun, kekuatan lensa masih sedemikian besar. Sehingga berkas cahaya yang berasal dari benda jauh di fokuskan di depan retina. Ini biasanya disebabkan oleh terlalu penjangnya bola mata tetapi ia kadang-kadang dapat disebabkan oleh terlalu besarnya kekuatan sistem lensa mata (Mansjoer,2002).
2.    Klasifikasi miopia
Menurut perjalanan penyakitnya, miopia di bagi menjadi :
a.    Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
b.    Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.
c.    Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, dan dapat mengakibatkan ablasi retina serta kebutaan. Miopia ini dapat juga disebut miopia pernisisosa atau miopia maligna atau miopia degenerative. Di sebut miopia degenerative atau miopia maligna, bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelaianan pada fundus okuli dan panjang bola mata sehingga terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi karioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar, dan degenerasi papil saraf optik (Sidarta, 2005)
3.    Patogenesis Miopia
Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia, namun saat pertumbuhan, mata menjadi kurang hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada anak dengan predisposisi berlanjut, namun mereka menderita miopa derajat rendah pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan pada faktor miopigenik seperti kerja jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak terfokus pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang menyebabkan elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late adolescence (Fredrick, 2002).
Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu :
1.    Menurut tahanan sklera
a.    Mesadermal
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebahagian masenkhim sklera dari perkembangan ayam menyebabkan ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal sklera posterior merupakan jaringan terakhir yang berkembang.
Keterlambatan pertumbuhan strategis ini menyebabkan kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal terdiri dari pita luas padat dari bundle serat kolagen, hal ini terintegrasi baik, terjalin bebas, ukuran bervariasi tergantung pada lokasinya. Bundle serat terkecil terlihat menuju sklera bagian dalam dan pada zona ora equatorial. Bidang sklera anterior merupakan area crosectional yang kurang dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada test bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2. Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada batas terendah dari stres ekstensi pada sklera posterior ditemukan 4 x dari pada bidang anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kirakira 2 x lebih diperluas.
Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan dengan hilangnya luasnya bundle serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior. Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit pasien dengan Ehlers-Danlos yang merupakan penyakit kalogen sistematik yang berhubungan dengan miopia.
b.    Ektodermal – Mesodermal
Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil ketidak harmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina.
Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera subnormal. Hal ini yang mungkin menimbulkan defek ektodermal– mesodermal umum pada segmen posterior terutama zona oraequatorial atau satu yang terlokalisir pada daerah tertentu dari pole posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia patologik (tipe stafiloma posterior).
2.    Meningkatnya suatu kekuatan yang luas
a.    Tekanan intraokular basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada glaucoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata.
b.    Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg.Juga pada penutupan paksa kelopak mata meningkat sampai 70 mmHg -110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan jelek yang sangat sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokular.

4.    Gejala umum miopia
a.    Gejala umum miopia antara lain:
1)    Mata kabur bila melihat jauh
2)    Sering sakit kepala
3)    Menyipitkan mata bila melihat jauh (squinting / narrowing lids)
4)    Lebih menyukai pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dekat disbanding pekerjaan yang memerlukan penglihatan jauh.
b.  Pada mata didapatkan:
1)    Kamera Okuli Anterior lebih dalam
2)    Pupil biasanya lebih besar
3)    Sklera tipis
4)    Vitreus lebih cair
5)    Fundus tigroid
6)    Myopia crescent pada pemeriksaan funduskopi (Shafa, 2010).
5.    Pencegahan miopia (rabun jauh)
Cara untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan mencegah kebiasaan buruk seperti :
a.    Biasakan anak duduk dengan posisi tegak sejak kecil.
b.    Memegang alat tulis dengan benar.
c.    Lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau menonton televisi.
d.    Batasi jam untuk membaca.
e.    Atur jarak membaca buku dengan tepat (kurang lebih 30 centimeter dari buku) dan gunakan penerangan yang cukup.
f.    Membaca dengan  posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik (Curtin, 2002).
Ada cara lain untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan: 
a.    Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai kacamata).
b.    Istirahat yang cukup supaya mata tidak cepat lelah.
c.    Kurangi kebiasaan yang kurang baik untuk mata, misalnya membaca sambil tiduran dengan cahaya yang redup. Jarak aman untuk membaca adalah sekitar 30 cm dari mata dengan posisi duduk dengan penerangan yang cukup baik (tidak boleh terlalu silau atau redup). Lampu harus difokuskan pada buku yang dibaca.
d.    Jaga jarak aman aman saat menonton televisi. Jarak yang ideal adalah 2 meter dari layar televisi dan usahakan posisi layar sejajar dengan mata dan pencahayaan ruangan yang memadai.
e.    Bila bekerja di depan komputer, usahakan setiap 1-1,5 jam sekali selama 5-10 menit untuk memandang ke arah lain yang jauh, dengan maksud untuk mengistirahatkan otot-otot bola mata. Dan jangan lupa untuk sering berkedip supaya permukaan bola mata selalu basah.
f.    Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun buah-buahan yang banyak mengandung vitamin A, C, E dan lutein yang berfungsi sebagai antioksidan karotenoid pemberi warna kuning jingga pada sayuran dan buah-buahan.
g.    Tidak merokok dan hindari asap rokok, karena rokok dapat mempercepat terjadinya katarak dan asap rokok dapat membuat mata menjadi cepat kering.
h.    Gunakanlah sunglasses yang dilapisi dengan anti UV bila        beraktifitas di luar ruangan pada siang hari. Hal ini untuk mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan  oleh karena sinar matahari mengandung sinar ultraviolet (UV) yang tidak baik untuk sel-sel saraf di retina.
i.    Aturlah suhu ruangan bila menggunakan pendingin ruangan (AC).  Kelembaban yang baik untuk permukaan mata berkisar antara 22-25° C. Jadi bila menggunakan AC jangan terlalu dingin karena penguapan mata menjadi lebih cepat sehingga mata menjadi cepat kering (Wardani, 2009).
B.    Tinjauan tentang variabel independen
1.    Riwayat keluarga
Di Taiwan, sebuah survei nasional menunjukkan bahwa subyek berusia antara 16 sampai 18 tahun memiliki tingkat miopia pada 84% .2 Dengan menggunakan definisi yang sama miopia tinggi (6 D), prevalensi miopia tinggi adalah 18% antara laki-laki Taiwan muda dan 24% di antara perempuan muda Taiwan, di bandingkan dengan singapura yang hanya 13,1%. Selanjutnya, hasil survei menunjukkan prevalensi miopia meningkat dari 76% menjadi 81% pada Taiwan penduduk muda (umur 15 tahun) menurut dua survei nasional yang dilakukan pada tahun 1995 dan 2000. Hal ini umumnya diyakini bahwa penyakit yang disebabkan terutama oleh faktor genetik cenderung memiliki onset sebelumnya, anggota keluarga lebih dipengaruhi, dan lebih parah klinis presentasi dibandingkan dengan penyakit yang sama yang disebabkan terutama oleh faktor linkungan (Liang, 2004).
Sejarah keluarga miopia sangat terkait dengan gangguan refraksi yang di turunkan kepada anaknya (p <0,001) dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga dengan miopia, namun peningkatan ini hanya marjinal. untuk setiap 100 anak-anak dengan riwayat keluarga miopia dan yang juga menderita gangguan refraksi. 46 dari mereka, dengan satu anggota keluarga yang memiliki miopia, bisa menderita miopia. Angka ini meningkat menjadi 52 ketika dua anggota keluarga miopia, dan 60 ketika tiga atau lebih anggota keluarga yang miopia. risiko miopia mengembangkan meningkat ketika hanya anggota keluarga tunggal miopia, dibandingkan dengan tidak ada riwayat keluarga miopia sama sekali.
Tekanan intraokular pada populasi umum ada kaitannya dengan keturunan, keadaan ini dibuktikan dengan terdapatnya kecenderungan tekanan intraokular yang lebih tinggi pada sejumlah keluarga penderita glaucoma. Beberapa penelitian telah melaporkan pengaruh ras terhadap prevalensi miopia. Pada populasi kulit putih, prevalensi miopia dilaporkan 17-26,2% sedangkan pada populasi kulit hitam prevalensi miopia sebesar 13-21,5%. Prevalensi miopia yang cenderung lebih tinggi lebih banyak dijumpai pada penduduk ras Asia Timur (Wong T.Y. et al, 2003).
Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif. Penurunan secara sex linked sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada miopia yang berhubungan dengan penyakit mata lain atau penyakit sistemik. Pada ras oriental. Gejala miopia lebih banyak diturunkan secara autosomal resesif (Ilyas, 2005).
Selain faktor genetik, menurut ada 2 mekanisme dasar yang menjadi penyebab miopia yaitu :
a.    Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina berkurang.
b.    Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya berada di depan atau di belakang retina (Curtin, 2002)
2.    Jarak membaca
Sebagian besar peneliti umumnya sepakat bahwa baik genetik dan faktor lingkungan memainkan peran dalam perkembangan miopia. Perhatian yang cukup besar telah terfokus pada kemungkinan bahwa peningkatan jumlah closework berhubungan dengan tugas-tugas seperti membaca dapat menimbulkan miopia pada individu yang secara genetik rentan (Radhakrishnan, 2007).
Miopia disebabkan oleh kegiatan kerja dengan jarak dekat ,seperti membaca, kerja komputer dan menonton televisi. Dikatakan bahwa kerja komputer meningkatkan stres okular enam kali lebih banyak dari membaca. Mata yang paling tegang saat membaca pada jarak dekat tanpa kacamata terutama ketika seseorang rabun.   juga lebih umum ketika membaca pada jarak normal atau lama tanpa kacamata dari saat membaca di singkat jarak dengan kacamata (Greenwald, 2003)
Mahasiswa kedokteran cenderung mengalami miopia. Penelitian yang dilakukan di Universitas Nasional Singapura menunjukan bahwa 89,8% mahasiswa kedokteran tahun kedua mengalami miopia (Woo,2004)
78% mahasiswa kedokteran tahun I mengalami miopia, hal ini mungkin disebabkan mahasiswa kedokteran banyak melakukan kegiatan membaca buku, sehingga mereka cenderung mengalami miopia. Selain itu orang yang mengalami miopia cenderung mempunyai IQ yang lebih tinggi daripada populasi umum. Oleh karena itu, miopia cenderung terjadi pada mahasiswa kedokteran (Midelfart,2008).
Bahwa membaca atau kerja dekat dalam waktu yang lama menyebabkan miopia. Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian pendidikan dan prevalensi serta progresitivitas gangguan refraksi miopia. Individu dengan profesi yang banyak membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan mikroskop, dan editor mengalami miopia derajat lebih tinggi. Miopia dapat berkembang tidak hanya pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun (Seet B. et al, 2001).
Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap sebagai faktor pencetus yang mempengaruhi timbulnya miopia pada faktor lingkungan. Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia (Fredrick, 2002).
3.    Jarak menonton televisi
Biasanya indikasi pertama gangguan refraksi adalah keluhan anak yang sulit melihat papan tulis dari jarak jauh atau kegagalan untuk lulus tes sekolah visi-screening. Pada anak prasekolah dengan signifikan miopia, kecenderungan untuk memegang mainan atau buku-buku dekat dengan mata atau kesulitan mengenali wajah di kejauhan biasanya mengarah ke diagnosis. Duduk dekat layar televisi adalah kebiasaan luas bahkan di antara anak-anak biasanya terlihat rabun (Greenwald, 2003).
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara kelompok kasus (penderita rabun jauh/miopia) dan kelompok kontrol (tidak menderita rabun jauh/miopia). Risiko di berkerut tiga kali lipat ketika anak duduk <1 meter dari layar televisi, dibandingkan dengan 3 meter. untuk menghindari genetik membuat yang bertanggung jawab untuk mencari, analisis terpisah dari miopia dan kontrol yang tidak memiliki riwayat keluarga miopia, dan jarak mereka mempertahankan dari layar television, dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak dari layar televisi antara miopia dan kontrol normal masih sangat nyata dan proporsi signifikan lebih besar dari anak-anak rabun yang menonton televisi dari jarak dekat, dibandingkan dengan anak-anak dengan penglihatan normal.
Analisis lebih lanjut dilakukan pada 767 baru membelot miopia sehingga meniadakan efek yang miopia mungkin menyebabkan anak untuk duduk lebih lanjut atau dekat layar. temuan mengkonfirmasikan bahwa mereka cenderung untuk duduk lebih dekat ke layar televisi dari anak-anak dengan penglihatan yang baik (p <0,001).
C.    Kerangka konsep
Melihat besarnya maslah rabun jauh/miopia, maka upaya yang perlu dilakukan untuk menekan atau mencegah terjadinya hal tersebut adalah dengan mengetahui factor risiko terjadinya miopia, sehingga masalah miopia dapat diatasi dan di cegah, yang pada akhirnya dapat menurunkan angka morbiditas miopia.
Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah riwayat keluarga/genetik, jarak membaca dan kebiasaan jarak menonton yang menjadi variabel independent, sedangkan yang menjadi variabel dependent adalah miopia (rabun jauh).
Riwayat keluarga merupakan salah satu penyebab terjadinya miopia. Hal ini disebabkan karena adanya faktor gen yang dapat menurunkan penyakit miopia ini ke turunannya. Apabila ayah menderita miopia maka anaknya/keturnannya akan memiliki peluang menderita miopia, dan apabila ayah dan ibu menderita miopia maka peluangnya lebih besar di bandingkan hanya salah satu orang tua dari anak tersebut menderita miopia.
Jarak menonton televisi turut ambil andil dalam kejadian miopia pada anak-anak. Hal ini di karenakan anak-anak jarang memperhatikan jarak menonton televisi. Yang sebaiknya menonton televisi dengan jarak yang aman yaitu sekitar 2 meter, tetapi hal ini jarang diperhatikan oleh anak-anak maupun orang tua dari anak tersebut. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus maka anak tersebut memiliki peluang untuk menderita miopia.
Anak-anak sering membaca dengan posisi yang kurang baik, misalnya membaca sambil berbaring, membaca dengan jarak yang dekat yaitu kurang dari 30 cm. Apabila dilakukan secara terus menerus, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya miopia pada anak tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka konsep di bawah ini :
http://asmanurs3.blogspot.com/
 D.    Hipotesis
Hipotesis adalah sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002).
Berdasarkan kerangka konsep maka dirumuskan hipotesis kerja dan hipotesis statistik sebagai berikut :
1.    Hipotesis kerja sebagai berikut :
a.    Riwayat keluarga/genetik merupakan faktor risiko terhadap kejadian miopia pada murid SDN12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.
b.    Jarak membaca merupakan faktor risiko terhadap kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.
c.    Jarak menonton televisi (TV) merupakan faktor risiko terhadap kejadian miopia pada murid SDN 12 baruga kota Kendari ahun 2011.
2.    Hipotesis Statistik sebagai berikut :
a. Ho : p = 0  
1)    Tidak ada hubungan antara riwayat keluarga/genetik dengan kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.
2)    Tidak ada hubungan antara jarak membaca dengan kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga Kota Kendari tahun 2011.
3)    Tidak ada hubungan antara jara menonton televisi (TV) dengan kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.
b. Ha : p ? 0
1)    Ada hubungan antara riwayat keluarga/genetik dengan kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.
2)    Ada hubungan antara menonton televisi (TV) dengan kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.
3)    Ada hubungan antara jarak membaca dengan kejadian miopia pada murid SDN 12 Baruga di Kota Kendari tahun 2011.

III. METODE PENELITIAN
A.    Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan di laksanakan di SDN 12 Baruga, pada bulan Mei sampai Juni 2011.
B.    Jenis dan Rancangan Penelitian
1.    Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan rancangan Case Control Study, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian miopia. Penelitian Case Control dilakukan dengan membandingkan subjek kasus (penderita miopia) dengan subjek control (tidak menderita miopia) (Notoatmodjo, 2002).
2.    Rancangan penelitian
Desain penelitian ini dapat digambarkan pada skema berikut :
http://asmanurs3.blogspot.com/
 Populasi dan Sampel
    Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid SDN 12 Baruga Kota Kendari dari kelas III, IV, V, VI dengan jumlah keseluruhan 983. Yang terindikasi miopia atau menggunakan kaca mata minus sebanyak 30 murid yang diperoleh dengan melakukan survei pendahuluan.
    Sampel
    Kasus
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah murid sekolah dasar 12 Baruga Kota Kendari yang menggunakan kaca mata minus atau memiliki keluhan tidak dapat melihat objek/benda yang jaraknya jauh.
    Kontrol    
Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah murid sekolah dasar negeri 12 Baruga Kota Kendari yang tidak menderita miopia tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan melalui proses matching (umur, jenis kelamin) yaitu orang yang sehat atau tidak menderita miopia (rabun jauh). Jadi perbandingan jumlah kasus dan kontrol yaitu 1 : 1.
Penentuan besar sampel untuk kelompok kasus dan kontrol dengan  berdasarkan pada perhitungan dari nilai Odd Rasio (OR) dan proposi kontrol dari penelitian terdahulu dengan menggunakan tabel Lemenshow, 1997. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan 80% dengan nilai OR = 4,0 dan P2 = 0,25. Dilanjutkan dengan teknik proportional stratified random sampling, setelah ditemukan jumlah sampel tiap kelasnya kemudian dilanjutkan dengan teknik simple random sampling. Untuk keperluan ini maka besarnya sampel dicari dengan rumus:
P1((OR) P^2)/((OR) P^2+ (1-P^2 ) )=(4,0 x 0,25)/((4,0)(0,25)+ 1-0,25)=0,57
Q1    = 1- 0,57 = 0.43
    Q2    = 1- 0,25 = 0,75

    Catatan :
        Q1     = (1- P1¬)
        Q2     = (1- P2)
        P    = ½ (P1+P2)
        Q    = ½ (Q1+Q2)
    Keterangan :
        OR     = Ods Ratio
        Za    = Tingkat kepercayaan (95% = 1,96)
        Zß    = Kekuatan penelitian (80% = 0,842)
        P1    = Pemaparan pada kelompok kasus
        P2    = Pemaparan pada kelompok control
    (Sudigdo, 1995)

        = 3,0748/0,1024    = 30,2       = 30
Dan jumlah sampel untuk masing-masing angkatan (nx) adalah:  
               Jumlah populasi angkatan  
nx  =                        X  Jumlah sampel keseluruhan
          Jumlah populasi keseluruhan

Adapun distribusi sampel di setiap angkatan dapat dilihat pada tabel 1.
http://asmanurs3.blogspot.com/
 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari :
    Variabel dependent adalah miopia (rabun jauh).
    Variabel independent ialah :
    Riwayat keluarga.
    Jarak membaca buku.
    Jarak menonton televisi (TV).
    Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner (daftar pertanyaan) untuk mencari gambaran karakteristik responden meliputi : miopia (rabun jauh), jarak membaca, riwayat keluarga (keturunan), jarak menonton televisi (TV). Penggaris 30 cm untuk menghitung jarak membaca, dan meteran untuk menghitung jarak menonton televisi (TV).
    Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
    Miopia (rabun jauh)
Miopia adalah seseorang yang tidak dapat melihat benda yang berjarak jauh. Biasanya penderita dibantu dengan menggunakan kaca mata minus.
    Kriteria Objektif
    Miopia        : Jika seseorang tidak mampu melihat benda yang jaraknya
jauh dan menggunakan kacamata minus.
    Tidak miopia    : Jika tidak sesuai dengan kriteria diatas.

2.  Riwayat keluarga (keturunan)
Riwayat keluarga adalah riwayat perjalanan penyakit penderita miopia dilihat berdasarkan garis keturunan 1 tingkat ke atas yaitu hanya ibu atau bapak saja (Anies, 2006).
Kriteria objektif      
Risiko tinggi    : Jika ada anggota keluarga yang memiliki    hubungan darah menderita miopia (rabun jauh)
Risiko rendah    :  Jika tidak ada anggota keluarga yang memiliki hubungan darah menderita miopia (rabun jauh).
3.  Jarak membaca.
Jarak membaca adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh antara objek  yang dibaca (buku) dengan subjek (pembaca).
Kriteria objektif
Risiko tinggi    : Jika membaca dengan jarak <30 cm
Risiko rendah     : Jika membaca dengan jarak aman yaitu 30 cm       (Curtin, 2002).
4.  Jarak menonton TV
Jarak menonoton TV adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh antara televisi dengan subjek.
        Kriteria objektif
    Risiko tinggi        : Jika menonton televisi (TV) dengan jarak < 2 m
          Risiko rendah        : Jika menonton televisi (TV) dengan dengan jarak
         2 m (Wardani, 2009).
    Pengumpulan Data
    1. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diambil atau diperoleh dari responden baik dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang diisi langsung oleh responden. Data primer ini yang telah ditanyakan kepada responden adalah variabel penelitian yang meliputi, riwayat keluarga, jarak membaca buku,  dan  jarak menonton TV.
    2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari instansi terkait yang ada hubunganya dengan penelitian ini. Misalnya data yang diperoleh dari poli mata RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara dan data dari SDN 12 Baruga Kota Kendari.
    Pengolahan Data
Pengolahan  data  hasil  penelitian  dikelompokkan  menjadi  kelompok  dengan faktor risiko dan kelompok yang tidak ada faktor risiko, pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan komputerisasi
    Analisis Data
    Analisis univariat
    Dilakukan secara deskriptif masing-masing variabel dengan tujuan mendapatkan gambaran frekuensi dan distribusi responden serta karakteristik yang dimiliki.
    Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan pengujian hipotesis yang diuji (Ho) atau hipotesis null, dilakukan untuk membandingkan antara kasus dengan kontrol Ho. Faktor-faktor  risiko digunakan uji statistik Odds Ratio (Heru, 2008).
Dengan rumus sebagai berikut :
 OR = ?((a x d)/(b x c))
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel kontinggensi 2 x 2 berikut :
http://asmanurs3.blogspot.com/
Faktor risiko dikatakan bermakna apabila nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 (Ho) ditolak.
Upper Limit : OR x e -  dan Lower Limit : OR x e
        Estimasi koefisien interval (Cl) ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%  dengan interpretasi OR : Jika OR = 1, artinya faktor risiko bersifat netral, risiko kelompok terpajan sama dengan kelompok tidak terpajan, jika OR < 1, artinya faktor risiko mencegah sakit dan jika OR > 1, artinya faktor risiko menyebabkan sakit (merupakan faktor risiko) (Chandra, 1996).
c.     Analisis Multivariat
            Analisis statistik Multivariat digunakan untuk mengetahui hubungan faktor risiko serta kontribusi masing-masing variabel bebas (independent) terhadap variabel terikat (dependent) sehingga dapat diketahui variabel yang paling berpengaruh serta yang merupakan faktor risiko utama dengan menggunakan uji regresi logistik berganda metode Enter. Regresi logistik berganda merupakan jenis analisis statistik yang lazim digunakan pada studi case-control study dengan beberapa faktor risiko untuk mengetahui hubungan antar variabel independent, baik yang bersifat numerik maupun nominal dengan satu variabel dependent (Uyanto, 2009).
J.    Penyajian Data
Data diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel distibusi frekuensi dan tekstual berdasarkan variabel yang diteliti. 



0 Response to "Faktor Risiko Kejadian Miopia Pada Murid Sekolah Dasar Negeri 12 Baruga Kota Kendari Tahun 2011"

Post a Comment

* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya