BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan dan kemandirian suatu bangsa terwujud apabila kualitas sumber daya manusia dan ekonominya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu dalam Millenium Development Goals (MDGs), penanggulangan kemiskinan dan kelaparan ditetapkan sebagai tujuan pertama dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kualitas sumber daya Indonesia yang masih rendah (Indrawati, 2005).
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan seng selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Patuban, 2008).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4%, dan gizi kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target MDGs pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra), Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) di Sultra, menunjukkan jumlah kasus gizi buruk pada balita mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Berdasarkan data PSG yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sultra, jumlah kasus gizi buruk pada balita di Sultra pada tahun 2006 yaitu terdapat 803 balita yang mengalami gizi buruk, dan pada tahun 2007 jumlah kasus gizi buruk pada balita meningkat menjadi 1.113 balita yang mengalami gizi buruk
Daerah Kota Kendari dalam empat tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita mengalami perubahan yang pasang surut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Kendari bagian Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Gizi, jumlah kasus gizi buruk pada balita di Kota Kendari pada tahun 2006 yaitu 107 kasus balita yang mengalami gizi buruk dan mengalami peningkatan menjadi 139 balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2007, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2008 yaitu 108 balita yang mengalami gizi buruk, dan kembali meningkat di tahun 2009 yaitu 144 balita yang mengalami gizi buruk.
Wilayah kerja Puskesmas Mata, Kecamatan Kendari, berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Mata untuk empat tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2006, jumlah kasus gizi buruk pada balita yaitu 8 balita, kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 22 balita, kemudian meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi 23 balita dan terus meningkat sampai pada tahun 2009 menjadi 48 balita yang mengalami gizi buruk.
Status gizi anak balita dapat mencerminkan status gizi masyarakat. Begitu juga yang terjadi pada anak usia sekolah dasar. Status gizi anak usia sekolah dapat diketahui dari pengukuran antropometri, survai pola makan, survai kebiasaan sarapan dan faktor-faktor lain yang pada ujungnya akan berdampak pada prestasi belajarnya. Meskipun data status gizi murid sekolah di Kecamatan Kendari tidak ada, namun hal ini sudah tercermin dari status gizi balita yang bertempat tinggal di Kecamatan Kendari (Kardjati, dkk., 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor UPTD Diknas Kec. Kendari diketahui bahwa terdapat 15 SDN di Kecamatan Kendari dan jumlah murid keseluruhan di SDN Kecamatan Kendari sebanyak 2.436 murid. Karena keterbatasan peneliti maka hanya diambil 4 SDN di Kecamatan Kendari mulai dari kelas III sampai kelas VI dengan persentase kelulusan terendah dalam 4 tahun ajaran terakhir, yaitu SDN 8, SDN 9, SDN 10 dan SDN 13. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, terdapat sekitar 50% murid SD di keempat SDN tersebut yang memiliki tubuh kurus dan pendek. Selain itu, berdasarkan wawancara terhadap masing-masing wali kelas, anak-anak yang memiliki tubuh yang kurus tersebut tidak aktif dalam proses belajar mengajar dan memiliki absensi yang tinggi.
Anak yang kurang gizi akan mengalami retardasi (keterbelakangan) mental 20-30% dibandingkan dengan anak yang memperoleh gizi baik, bahkan berukuran tubuh pendek dan kecil karena sebelumnya menderita kurang gizi akan menjadi anak yang kurang responsif, tidak dapat berkonsentrasi, sulit berkomunikasi, tidak energik dan anak tersebut tidak hanya mempunyai IQ yang rendah, tetapi kemampuan akademik juga rendah. Rendahnya prestasi anak di sekolah memang tidak selamanya tergantung pada intelegensinya. Mungkin saja anak tersebut mengalami ketidakmampuan dan kegagalan belajar karena disfungsi dalam perkembangannya. Sebelumnya perilaku tersebut sering dianggap sebagai ketidakmatangan, bahkan keterbatasan intelegensia. Dewasa ini para ahli menyadari bahwa masalah-masalah ini adalah cermin dari kesulitan belajar (Lamid, 1992).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh R. Djarot Darsono, dkk. (2009), mengemukakan studi kohort retrospektif yang mereka lakukan dilakukan untuk mengetahui hubungan status gizi anak di bawah 3 tahun dengan prestasi belajar verbal dan numerik. Studi dilakukan terhadap pencatatan penimbangan anak balita yang tersedia di Puskesmas, catatan hasil ujian harian di Sekolah Dasar Kabupaten Tangerang. Standar baku tentang kategori nilai berbagai mata pelajaran di Sekolah Dasar (SD) belum tersedia, sehingga peneliti menggunakan acuan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk nilai standar kelulusan Ujian Akhir Nasional (UAN). Gizi kurang pada saat usia bayi dua tahun, secara statistik berhubungan bermakna dengan prestasi belajar verbal yang rendah (OR=6,5; 95% CIOR=3,59-12,03) dan prestasi belajar numerik yang rendah.
Begitu minimnya data yang diperoleh menunjukkan masih kurangnya perhatian untuk memantau status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi murid sekolah dasar. Selain itu, uraian di atas menunjukkan bahwa masalah gizi sangat mempengaruhi prestasi belajar murid sekolah dasar dan di Kecamatan Kendari belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana hubungan antara status gizi, pola makan, dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
b. Untuk mengetahui hubungan antara pola makan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
c. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional Kota Kendari dalam rangka penentuan arah kebijakan program pemberantasan masalah gizi dan pemantauan hasil belajar murid SD di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bagi peneliti berikutnya.
3. Manfaat bagi Peneliti
Diharapkan dapat menambah pengalaman, wawasan dan pengetahuan peneliti tentang hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi terhadap prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
BABII
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Anak Usia SD
Membahas karakteristik anak usia SD, di dalamnya berkaitan dengan pertumbuhan maupun perkembangan anak. Hal ini sangat penting mengingat pada anak usia SD, yaitu antara usia 6 sampai 12 tahun anak banyak mengalami perubahan baik fisik maupun mental hasil perpaduan faktor intern maupun pengaruh dari luar yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan yang tidak kurang pentingnya adalah pergaulan dengan teman sebayanya.
Kaitannya dengan pendidikan anak usia SD, guru perlu mengetahui benar sifat-sifat serta karakteristik tersebut agar dapat memberikan pembinaan dengan baik dan tepat sehingga dapat meningkatkan potensi kecerdasan dan kemampuan anak didiknya sesuai dengan kebutuhan anak dan harapan orang tua pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, pimpinan sekolah dan guru harus mengenal betul perkembangan fisik dan mental serta intelektual anak didiknya. Dengan kata lain pengetahuan tentang perkembangan fisik, mental rohani serta intelektual anak SD tersebut merupakan “model” utama dalam rangka pembinaan anak.
Perkembangan fisik dan intelektual anak usia 6-12 tahun nampaknya cenderung lamban. Pertumbuhan fisik anak menurun terus, kecuali pada akhir periode tersebut, sedangkan kecakapan motorik terus membaik. Perubahan terlihat kurang menonjol jika dibandingkan dengan usia permulaan. Akan tetapi perkembangan pada usia ini masih sangat signifikan. Perkembangan intelektual sangat substansial, karena sifat egosentrik, anak menjadi lebih bersifat logis. Perkembangan yang terjadi menghasilkan adanya perbedaan pada anak usia 6 dengan 12 tahun. Anak berusia 6 tahun nampak seperti anak kecil, sedangkan anak berusia 12 tahun nampak seperti orang dewasa.
Sekalipun pada usia tersebut anak lebih sehat daripada keadaan kehidupan pada umumnya, tetapi anak ini tidak sehat atau tidak sesegar sebagaimana seharusnya. Seperti ketika kita melihat atau memperhatikan anak-anak yang sedang berbaris di depan kelas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ukuran jasmani. Ada anak yang tinggi, pendek, kurus dan gemuk dengan beraneka ragam bentuknya.
Anak usia 10 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, badannya bertambah berat dan tingginya bertambah. Namun setelah remaja anak perempuan pada usia 12-13 tahun berkembang lebih cepat daripada anak laki-laki. Anak yang berusia 7-9 tahun tidak akan banyak berubah, hal ini merupakan keadaan yang normal.
Tingkat pertumbuhan anak sangat berbeda antara ras, bangsa dan tingkat sosial ekonominya. Menurut penelitian yang dilakukan di berbagai tempat di dunia terdapat rentangan sebesar 9 inci atau 22,5 cm di antara anak-anak dalam ukuran pendek, misalnya di Asia Tenggara, Oceania dan Amerika Selatan, sedangkan anak-anak dari Eropa Utara dan Tengah, Australia Timur, dan Amerika Serikat pertumbuhannya lebih tinggi. Walaupun terdapat perbedaan keturunan, pertumbuhan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan mereka.
Anak-anak memiliki nafsu makan yang bagus pada usia pertengahan biasanya. Mereka banyak makan karena kegiatannya menuntut energi yang banyak, dan dalam usia ini berat badannya meningat menjadi dua kali lipat. Untuk mendukung pertumbuhan spontan ini, anak-anak memerlukan 2.400 kalori setiap hari, 34 gram protein dan rata-rata karbohidrat yang tinggi paling minimum harus tetap dipertahankan.
Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lamban, karena kalori tersebut hanya untuk mempertahankan hidup dan energi, sedangkan protein lebih untuk meningkatkan pertumbuhan. Apabila makanan tidak dapat mendukung kedua proses tersebut sepenuhnya maka pertumbuhannya menjadi tidak normal.
Nutrisi juga mempunyai implikasi sosial. Anak tidak dapat bermain dan hanya tinggal diam karena tidak mendapat makanan yang cukup. Pengaruh kekurangan nutrisi tersebut juga dapat berlangsung lama sekali. Suatu studi yang memerlukan jangka waktu lama di Guatemala, di mana diteliti nutrisi yang merupakan masalah yang serius ditemukan bahwa sejak kelahiran berusia dua tahun dapat dijadikan pertunjuk yang sangat bagus bagi perilaku sosial pada usia pertengahan anak-anak. Untuk 138 anak usia 6-8 tahun yang diteliti, semuanya mendapatkan ekstra kalori dan vitamin akan tetapi hanya sebagian yang memperoleh protein. Anak-anak yang tidak memperoleh ekstra protein pada waktu mudanya cenderung bersikat pasif, dan tergantung pada orang dewasa; sedangkan bagi anak-anak yang memperoleh nutrisi yang cukup, mereka bersifat gembira dan lebih bersikap sosial dengan teman bermainnya.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kekurangan nutrisi dapat menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan keluarga. Para peneliti menemukan bahwa bayi yang kekurangan nutrisi, mereka tidak memiliki energi untuk merespon perhatian ibunya. Selanjutnya anak kecil menjadi kurang responsif dan kurang mengembangkan kemampuan antar pribadi. Demikian pula apabila seorang ibu kekurangan nutrisi, kejadian tersebut makin buruk.
Hubungan antara nutrisi dan perkembangan kognitif sudah menjadi jelas. Anak-anak Afrika di Kenya, yang menderita kekurangan gizi mendapat skor yang paling rendah dalam tes kemampuan verbal dan juga dalam tes metrik yang meminta anak-anak memilih satu pola yang cocok dengan pola yang lain. Suatu program bagi anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan rendah pada kelas III sampai VI mereka mendapat saran dari sekolah di Masachusetts dan dapat meningkatkan skor mereka dalam tes kemampuan (Sumantri dkk, 2007).
B. Tinjauan tentang Prestasi Belajar
1. Belajar dan Hasil Belajar
Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap (Winkel dalam Hasbullah, 2000). Menurut Slameto dalam Hasbullah (2000), belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang relatif bersifat permanen yang disebabkan oleh pengalamannya.
Pencapaian tujuan belajar oleh siswa disebut hasil belajar atau merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diperoleh seseorang setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil belajar ini diukur setelah siswa mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran serta diketahui lewat tes hasil belajar. Menurut Winkel dalam Hasbullah (2000) tes hasil belajar ini disebut dengan evaluasi produk atau hasil yang diperoleh siswa dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dicapai.
Hasil belajar adalah perubahan yang terjadi pada diri individu yang belajar, bukan saja perubahan mengenai pengetahuan tetapi kemampuan untuk membentuk kecakapan, kebiasaan sikap, pengertian penguasaan dan penghargaan dalam diri individu yang belajar. Hasil belajar merupakan suatu hasil yang dicapai oleh siswa setelah pembelajaran dalam selang waktu tertentu, yang diukur dengan menggunakan alat evaluasi tertentu (Hasbullah, 2000).
2. Belajar di Sekolah Dasar
Saat bertambahnya umur pada seorang anak maka perkembangan dan pertumbuhannya akan terus menerus. Pada masa sekolah 6-12 tahun terjadi perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat. Mengingat perkembangan dan pertumbuhan yang amat pesat dan lingkungan keluarga, sekarang orang tua tidak lagi mampu memberikan fasilitas untuk bisa mengembangkan fungsi anak-anak terutama fungsi intelektual dalam mengejar kemajuan jaman modern. Maka anak memerlukan lingkungan baru yang luas berupa sekolah dimana untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki.
Sekolah akan memberikan pengaruh yang baik dan besar pada anak sebagai individu dan makhluk sosial. Peraturan sekolah, otoritas guru, disiplin kerja, cara belajar, kebiasaan bergaul dan macam-macam tuntutan sekolah yang cukup ketat itu memberikan segi-segi keindahan dan kesenangan belajar pada anak. Pendidikan di sekolah mempunyai peranan yang luas di dalam berlangsungnya beberapa bentuk dasar dari kelangsungan pendidikan pada umumnya yaitu pembentukan sikap dan kebiasaan yang wajar, perangsangan kemampuan bercakap-cakap, belajar kerjasama dengan teman sekolah, belajar menahan diri demi kepentingan orang lain, memperoleh pengajaran menghadapi saingan yang semaunya mempunyai akibat pencerdasan otak anak-anak seperti yang dibuktikan dengan tes intelegensi (Fasli, 1996).
3. Prestasi Belajar
Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990).
Alat ukur evaluasi prestasi belajar disebut Tes Hasil Belajar (THB). Tes hasil belajar digunakan untuk mengukur taraf keberhasilan sebuah program pengajaran dan untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kemampuan kognitifnya (Hasbullah, 2000).
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (1976) dan Sumantri (1978) menyatakan bahwa untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang berimplikasi pada peningkatan prestasi belajar anak didik diperlukan metode evaluasi dengan cara mengukur skor prestasi belajar anak didik dari empat mata pelajaran yaitu, matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS, karena keempat mata pelajaran ini sudah cukup untuk mengukur nilai kognitif pada anak SD (Marlian, 1999).
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Menurut Pudjiadi (2001) prestasi belajar dapat dipengaruhi oleh budaya dan keturunan. Lebih jelas Guilbert (1993) dalam Marlian (1999) mengemukakan secara global bahwa berhasil tidaknya Prestasi belajar akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
a. Faktor dari dalam diri (endogen), meliputi
1) Psikologis, antara lain :
1. Kecerdasan, taraf kecerdasan meliputi beberapa aspek salah satunya diantaranya yang berpengaruh terhadap prestasi belajar adalah daya ingat. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi daya ingat, yaitu:
a. Jasmani ( kelelahan atau sakit)
b. Rohani (perasaan anak-anak terhadap pelajaran maupun gurunya. Pemusatan perhatiannya dan gangguan-gangguan pikiran lainnya).
c. Prinsip Gestalt (keseluruhan yang mengandung arti). Sesuatu uraian ataupun gambaran keseluruhan lebih mudah ditangkap oleh peserta didik apabila dia melihat hubungan keseluruhan dan oleh sebab itu juga lebih mudah untuk diingat-ingat.
d. Pengesahan yang kuat. Sesuatu uraian lebih mudah diingat-ingat kalau hal itu disajikan sedemikian rupa sehingga berkesan mendalam pada anak-anak sekolah tersebut.
e. Teknik belajar kelompok. Cara ini lebih memaksa anak-anak atau murid untuk berusaha mengemukakan pendapatnya dan mempertahankannya, dengan demikian maka murid-murid juga akan lebih mudah mengingat-ingat kembali uraian tersebut daripada menghafalkanya sendiri tanpa adanya respon dari kawan-kawannya.
f. Perbedaan perorangan. Faktor lain lagi yang mempengaruhi daya ingatan seseorang adalah perbedaan perseorangan yang disebabkan oleh bakat dan perbedaan lingkungan dimana dia dibesarkan.
2. Motivasi, hanya apabila murid-murid menyadari kepentingan, keperluan baginya sendiri yang dia peroleh dari pelajaran yang akan dihadapi, maka barulah uraian tersebut akan lebih berkesan dan oleh karenanya lebih mudah untuk dapat diingat-ingat kembali.
2) Faktor fisiologis, antara lain kondisi fisiologis (status gizi yang juga dipengaruhi oleh kebiasaan makan pagi, pola konsumsi makanan keluarga, persediaan pangan keluarga, zat gizi dalam makanan, pendapatan keluarga).
b. Faktor dari luar diri (eksogen), meliputi :
1) Faktor Sosial; antara lain: guru, orang tua (keluarga), teman.
2) Faktor Non Sosial; antara lain: lingkungan fisik, sanitasi lingkungan, les tambahan.
C. Tinjauan tentang Status Gizi, Pola Makan dan Kebiasaan Makan Pagi Anak SD
1. Status Gizi Anak SD
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian status gizi secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu: penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan melalui pengukuran antropometri, uji klinis, biokimia dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan energi protein. Gangguan ini biasa terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi maka metode antropometri gizi sangat erat kaitannya dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah:
1. Berat badan berdasarkan umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil.
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal. Terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.
2. Tinggi badan berdasarkan umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi di masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi.
3. Berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat sekarang. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur.
4. Lingkar lengan atas berdasarkan umur
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Kader posyandu dapat melakukan pengukuran ini.
5. Indeks masa tubuh (IMT)
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu caranya adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal dan normal (Supariasa, dkk., 2002).
Berbagai jenis indeks tersebut di atas, untuk menginterpretasikan status gizi dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para Ahli Gizi. Ambang batas dapat disajikan ke dalam tiga cara yaitu, persen terhadap median, persentil dan standar deviasi unit. WHO menyarankan untuk menggunakan standar deviasi unit (Z-skor) untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Selain itu Waterlow juga merekomendasikan penggunaan SD untuk menyatakan hasil pengukuran pertumbuhan atau Growth Monitoring. WHO memberikan gambaran perhitungan SD (Standar Deviasi) unit terhadap baku NCHS (National Centre for Health Statistics) (Supariasa, dkk., 2002).
Rumus perhitungan Z-skor adalah:
Penilaian status gizi versi Z-skor baku WHO-NCHS untuk setiap indeks antropometri BB/U, TB/U dan BB/TB adalah sama yaitu, gizi kurang jika pengukuran setiap indeks lebih kecil -2SD (standar deviasi) dan gizi buruk jika berada di bawah -3SD (Atmaria, 1991) dalam (Masrif, 2001).
2. Pola Makan Anak SD
Sejak zaman dahulu, makanan selain kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar dan selera, juga memiliki tempat sebagai lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman, dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur semua membentuk ramuan yang disebut pola makan (Santoso dkk, 2004).
Pola makan adalah cara individu atau kelompok individu untuk memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologi, sosial dan budaya diukur dari frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003). Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kebiasaan, kesenangan, budaya, agama, lingkungan alam, taraf ekonomi dan sebagainya. Sehingga sudah sepatutnya pola makan setiap orang di berbagai tempat, usia, dan waktu berbeda.
Anak-anak dalam usia 6-12 tahun umumnya sudah dapat memilih dan menentukan makanan mana yang disukai mana yang tidak disukai. Sering kali mereka memilih makanan yang salah, lebih-lebih jika orang tuanya tidak memberikan petunjuk apa-apa padanya, selain itu anak-anak ini gemar sekali jajan. Terlebih lagi pada tahap ini, anak mulai masuk sekolah. Dengan demikian anak-anak ini mulai masuk ke dalam dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan pula dengan suasana dan lingkungan baru kehidupanya. Sehingga pola makan anak tidak hanya ditentukan kebiasaan makan di rumah tapi juga oleh temannya, kadang-kadang mereka menolak makan di rumah dan sebagai gantinya meminta uang untuk jajan (Hurlock, 1993).
Secara kuantitas dan kualitas rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila kita hanya makan 1 kali atau 2 kali sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan kita tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah banyak. Itulah sebabnya makan dilakukan secara frekuentif yakni 3 kali sehari termasuk makan pagi (Ali Khomsan, 2002).
Anjuran makanan sehari untuk anak sekolah dalam hal ini untuk anak sekolah terdiri dari :
a. 1 piring nasi atau padanannya 1 piring sama dengan 200 gr,
b. 3 potong lauk nabati atau padanannya 1 potong sama dengan 50 gr,
c. 1,5 porsi sayur atau padanannya 1 porsi sama dengan 100 gr tanpa kuah
d. 2 potong buah atau padanannya sama dengan 100 gr buah matang.
Kondisi anak sangat berkaitan dengan pengolahan pasokan makanan. Dari hidangan yang kita makan, tubuh menyimpan sebagian kalorinya untuk cadangan kalori berupa glikogen. Glikogen alias timbunan gula darah ini merupakan sumber energi siap pakai, yang disimpan dalam otot dan hati. Sayangnya, meski bisa langsung digunakan tubuh, sumber energi ini sangat mudah habis. Simpanan glikogen yang berasal dari hidangan makan malam biasanya sudah akan habis 2-4 jam setelah anak bangun pagi. Hal itu tergantung pada nilai kalori hidangan makan malam dan aktivitas anak usia sekolah (6-12) tahun umumnya sangat tinggi, simpanan glikogen dalam otot mudah terkuras habis (Sintha, 2001).
Faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan mental dan jasmani pada usia sekolah. Salah satu adalah masalah gizi. Masalah gizi saat ini selain masalah gizi kurang juga muncul masalah gizi lebih, jalan untuk menempuh perbaikan gizi anak agar prestasi belajar tidak terganggu salah satunya yaitu dengan perbaikan pola makan dikeluarga yang juga mempengaruhi pola makan si anak (Fasli, 1995).
Perilaku makan yang baik untuk anak sekolah yaitu melalui pesan gizi seimbang untuk anak sekolah antara lain;
1. Makanlah aneka ragam makanan
2. Biasakan makan pagi
3. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi
4. Gunakan garam beryodium
5. Makanlah makanan sumber zat besi
6. Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya
7. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan,
8. Jangan jajan sembarangan tempat, pilih jajanan yang dibungkus
9. Pilih minuman atau makanan yang tidak berwarna mencolok
10. Bacalah label pada makanan yang dikemas.
Makanan yang teratur meliputi; frekuensi makan 3 kali dan ditambah 2 kali makanan selingan, selanjutnya waktu makan sebaiknya pagi, siang dan sore hari diantara waktu-waktu makan tersebut sebaiknya makan makanan selingan (Depkes RI Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Darmawan (2007), dengan tujuan ingin melihat hubungan pola makan dengan prestasi belajar remaja di SMP Islam Al Azhar 12 Rawamangun yang terpilih menjadi subyek penelitian. Penelitian yang dilakukan dengan observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional) ini melibatkan keseluruhan remaja di SMP Islam Al Azhar 12 Rawamangun tersebut. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pola makan (cepat saji, penganan dan kelompok lain) dengan prestasi belajar (cepat saji : r = - 0,348, p = 0,000; penganan : r = - 0,304, p = 0,002; lain : r = - 0,266, p = 0,007).
3. Kebiasaan Makan Pagi Anak SD
Menurut para ahli gizi, sedikitnya 30 persen total energi tubuh harus dipenuhi saat makan pagi. Karena itu, seyogyanya anak-anak dibujuk untuk membiasakan diri untuk makan pagi. Penelitian tersebut menunjukkan, bahwa makan pagi bukanlah sekedar untuk mengenyangkan perut selama belajar di sekolah, tetapi lebih dari yaitu agar anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik agar mendukung prestasi belajarnya. Makan pagi berpengaruh terhadap kecerdasan otak, terutama daya ingat anak. Para ahli melakukan pengujian terhadap daya ingat anak-anak usia sekolah menyatakan, perbendaharaan kata mereka sensitif terhadap efek pemberian makan pagi. Artinya, kemampuan anak-anak untuk mengingat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kalori dan zat-zat gizi dari makan pagi. Penelitian ini menyimpulkan; pertama, otak sensitif terhadap penurunan jangka pendek ketersediaan zat-zat makanan. Kedua, keadaan tidak makan pada malam dan pagi hari akan menghasilkan hambatan psikologi disertai perubahan fungsi otak, khususnya daya ingat (Sintha, 2001).
Berangkat ke sekolah tanpa makan pagi rupanya bukan kebiasaan baik untuk anak. Makan pagi bukan hanya penting untuk menunjang kebutuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi pencapaian prestasi belajar anak. Daya pikir dan daya mengingatnya menjadi lebih rendah. Serangkaian penelitian pernah dilakukan terhadap 600 murid di Inggris dari keluarga berpenghasilan rendah dan sedang. Kesimpulannya, anak-anak yang tidak terbiasa makan pagi ternyata sulit berkonsentrasi, lambat menanggapi, dan rentang perhatiannya terhadap pelajaran sangat rendah. Gerak-geriknya lamban dan cenderung mudah tersinggung. Akibat jangka panjang yang terekam, nilai-nilai pelajarannya umumnya lebih rendah daripada anak dari keluarga setaraf yang terbiasa makan pagi. Penelitian lain dilakukan terhadap 1000 murid, juga di Inggris, dari keluarga berpenghasilan rendah yang tidak terbiasa makan pagi. Setelah anak-anak itu mengikuti program wajib makan pagi di sekolah, nilai pelajarannya rata-rata menjadi lebih bagus dari sebelumnya. Frekuensi mereka tidak masuk sekolah menurun, geraknya menjadi lincah (Sintha, 2001).
Anak yang tidak makan pagi, akan menyebabkan menipisnya sediaan glikogen otot tidak tergantikan. Untuk menjaga agar kadar gula darah tetap normal, tubuh lalu memecah simpanan glikogen dalam hati menjadi gula darah. Jika bantuan pasokan gula darah ini pun akhirnya habis juga, tubuh akan kesulitan memasok jatah gula darah ke otak. Akibatnya anak bisa menjadi gelisah, bingung, pusing-pusing, mual, berkeringat dingin, kejang perut, bahkan bisa juga sampai pingsan. Ini merupakan gejala hipoglikemia (merosotnya kadar gula dalam darah) (Sintha, 2001).
Tidak makan pagi berarti kebutuhan harian beberapa vitamin dan mineral menjadi tidak tercukupi. Sekali saja anak-anak tidak makan pagi, akan menyebabkan konsumsi vitamin A, E, B6, riboflavin, dan tiamin, serta mineral kalsium, fosfor, magnesium, dan zat besi rata-rata 2/3 kecukupannya perhari. Padahal zat gizi tersebut sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang anak (Sintha, 2001).
Adapun konsep makan pagi yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan sebagai berikut:
a. Sumber karbohidrat seperti nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong dan ubi
b. Sumber protein yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju, kacang hijau, dan lain-lain.
c. Sumber vitamin dan mineral yaitu dari sayuran seperti wortel, bayam, kangkung, labu siam, buncis, buah-buahan misalnya pepaya, jambu biji, air jeruk, melon, alpukat, dan lain-lain.
(Depkes RI Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001).
Permasalahan gizi pada anak sekolah yang menonjol adalah kekurangan zat besi yang mencakup kira-kira 25-40 persen. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan daya tahan tubuh siswa rendah atau turun, cepat lelah, lamban bergerak, kurang bergairah dan tidak cepat tanggap. Keadaan ini apabila berlangsung lama akan berdampak buruk terhadap hasil prestasi belajar anak (Fasli, 1995).
Alan Berg (1993) menyatakan bahwa pada usia anak sekolah yang menderita kurang gizi terjadi gangguan pada kemampuan untuk berkonsentrasi dengan kesanggupan untuk belajar, dengan keadaan seperti ini gizi kurang dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar, anak akan sering tinggal di kelas dibandingkan anak yang normal (Benni, 1997).
Sukati Saidi dkk (1991) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kebiasaan tidak makan pagi pada anak sekolah berpengaruh nyata terhadap prestasi belajar anak sekolah. Selain daya tangkap seseorang khususnya pagi hari sangat dipengaruhi oleh kadar gula dalam darah. Anak-anak perlu diberi makan pagi sesudah puasa 10 jam selama tidur malam. Keadaan ini ada hubungannya dengan kerja otak terutama proses daya tangkap seseorang bila tidak makan pagi akan terjadi hipoglikemia (Depkes, 1995).
Bagi anak usia sekolah antara 6-12 tahun masih dalam usia pertumbuhan fisik dan mental yang mempunyai kesibukan di pagi hari misalnya, harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang tengah hari atau sore hari, masih ditambah kegiatan ekstra dan sesampainya di rumah harus menyiapkan tugas-tugas, dimana agar dalam pertumbuhan, perkembangan fisik dan mental normal, serta stamina anak itu tetap fit selama mengikuti kegiatan tersebut dan memperoleh prestasi belajar yang baik maka sarana dan prasarana utamanya adalah dengan mencukupi kebutuhan pangan dan gizi yang seimbang dan berkualitas yaitu dengan pengaturan makanan yang baik salah satunya adalah membiasakan anak untuk makan pagi (Sintha, 2001).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nachum Vaisman, dari Univesitas Hebrew, Jerusalem. Dengan melibatkan lebih dari 550 anak sekolah laki-laki dan perempuan berumur antara 11 sampai 13 tahun. Mereka dites dua kali yaitu pada awal percobaan dua pekan, tanpa mengganggu kebiasaan rutin makan pagi mereka dan pada akhir penelitian ketika dua pertiga anak-anak itu makan pagi disekolah salama 15 hari. Menu makan pagi dua pertiga anak yang diberikan di sekolah corn flake dan susu. Sedangkan anak-anak lainnya makan pagi di rumah atau tidak makan pagi sama sekali. Mereka bersekolah di lima sekolah dasar yang berbeda dan mereka berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda juga.
Anak yang makan pagi di sekolah 30 menit sebelum tes, nilai tesnya lebih baik dibandingkan anak yang menu makanan paginya tipikal makan pagi anak-anak Israel atau mereka yang tidak makan pagi. Dua menu makan pagi tipikal anak-anak Israel, menurut penuturan mereka, ialah segenggam corn flake dan segelas susu cokelat dan beberapa potong kue.
Tes diadakan satu setengah jam dan dua jam setelah makan pagi, anak-anak yang makan pagi hasil tesnya tidak lebih baik dengan anak-anak yang tidak makan pagi. Tetapi bukan berarti bisa diterima anak-anak pergi ke sekolah tanpa makan pagi. Anak-anak dengan perut kosong bukanlah keadaan ideal untuk belajar dan kesehatannya secara umum. Menurut laporan yang dipublikasikan dalam jurnal Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine edisi oktober 1996, para peneliti memperkirakan terjadinya perbedaan nilai tes mungkin disebabkan oleh meningkatnya tingkatan gula darah, berhubungan dengan apa yang dimakan anak-anak dan kapan mereka memakannya.
Amerika Serikat, anak sekolah dasar yang dari keluarga berpenghasilan rendah mengikuti Program Makan Pagi Sekolah (School breakfast Program). Makan pagi tersebut diberikan sebentar sebelum pelajaran dimulai. Ternyata, anak-anak tersebut menunjukan peningkatan akademis yang nyata sejak program ini diluncurkan tahun 1996 (Sintha, 2001).
D. Kerangka Konsep
Secara umum prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis. Aspek fisiologis yaitu hal-hal yang berhubungan dengan status kesehatan seperti kondisi umum jasmani dan organ-organ tubuh serta status gizi. Status gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain: kebiasaan makan pagi, pola konsumsi makanan keluarga, persediaan pangan keluarga, zat gizi dalam makanan, pendapatan keluarga. Namun karena dalam penelitian ini hanya mengambil variabel kebiasaan makan pagi dan pola makan keluarga, maka status gizi juga dijadikan variabel tersendiri yang khusus mewakili faktor lain yang tidak tidak termasuk dalam pola makan dan kebiasaan makan pagi yang mempengaruhi prestasi belajar. Aspek psikologis yang dominan mempengaruhi kegiatan belajar adalah tingkat kecerdasan yang diwarisi sejak lahir atau faktor genetika.
Faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah lingkungan sosial dan non sosial. Lingkungan sosial meliputi orang tua atau keluarga, guru yang mengajar dan teman sepermainan. Lingkungan non sosial meliputi ketersediaan fasiltas dan waktu belajar yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan gambar:
= variabel dependen
= variabel independen
= variabel yang tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Konsep
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Hipotesis Kerja
Berdasarkan kerangka konsep, maka hipotesis kerja penelitian ini adalah status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi berhubungan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Hipotesis Statistik
a. H¬0 : X2hitung ≤ X2tabel atau ρ value ≥ (α) = 0,05, 95%.
1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Tidak ada hubungan antara pola makan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
3. Tidak ada hubungan antara makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
b. Ha : X2hitung > X2tabel atau ρ value < (α) = 0,05, 95%.
1. Ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Ada hubungan antara pola makan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
3. Ada hubungan antara makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 23 Maret sampai 23 April 2010, dan bertempat di SDN 8, 9, 10 dan 13 Kendari yang ada di Kecamatan Kendari Kota Kendari. Pemilihan tempat di Kecamatan Kendari berdasarkan peningkatan masalah gizi di kecamatan ini. Pemilihan SDN 8, 9, 10 dan 13 Kendari di dasarkan pada rendahnya persentase kelulusan muridnya pada ujian nasional dalam 4 tahun ajaran terakhir.
B. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei analitik. Desain cross sectional study dimana hubungan antara status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar diteliti dalam waktu yang bersamaan.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Arikunto, 2002).
Populasi dalam penelitian ini adalah 4 SDN di Kecamatan Kendari mulai dari kelas III sampai kelas VI dengan persentase kelulusan terendah dalam 4 tahun ajaran terakhir yaitu; SDN 13 Kendari 84,59%, dengan jumlah murid sebanyak 77 murid, SDN 10 Kendari 90,81%, dengan jumlah murid sebanyak 99 murid, SDN 8 Kendari 92,57%, dengan jumlah murid sebanyak 133 murid dan SDN 9 Kendari 93%, dengan jumlah murid sebanyak 89 murid. Pemilihan populasi dari kelas III sampai kelas VI didasarkan karena murid tersebut sudah memiliki mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang telah cukup untuk menggambarkan kemampuan kognitif peserta didik SD dan sudah sangat kooperatif dalam penelitian. Sehingga jumlah total populasi adalah 398 murid.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan proportional random sampling karena di dalam pengambilan sampelnya peneliti membagi sampel ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan asal sekolah dan jenjang kelas kemudian ditarik secara acak sederhana dengan keterwakilan atau proporsi yang sama.
Untuk menghitung besarnya sampel yang dibutuhkan digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
n : besar sampel minimum
N : besar populasi (398)
Z1-α/2 : nilai sebaran normal baku yang sebenarnya tergantung α (1,96)
P : proporsi pada populasi (0,5)
d : besar penyimpangan (absolut) yang bisa diterima (0,05)
(Isgiyanto, 2009)
Dengan rumus tersebut, maka sampel dalam penelitian ini (n) adalah:
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh total sampel sebesar 196 murid dari populasi sebesar 398 murid.
Agar setiap sekolah dan kelas memiliki keterwakilan yang sama maka sampel harus ambil secara proporsional berdasarkan rumus berikut:
Kemudian dilanjutkan dengan:
Berdasarkan rumus tersebut, persebaran sampel dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi Sampel
SDN Jml Populasi sekolah Jml Sampel Sekolah Kelas Jml Populasi Kelas Jml Sampel Kelas
8 133 65 III 35 17
IV 36 18
V 33 16
VI 29 14
9 89 44 III 28 14
IV 22 11
V 19 9
VI 20 10
10 99 49 III 20 10
IV 32 16
V 20 10
VI 27 13
13 77 38 III 10 5
IV 24 12
V 21 10
VI 22 11
398 196 398 196
Sumber: Data Primer, Diolah 9 Februari 2010
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas yaitu status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi.
2. Variabel terikat yaitu prestasi belajar murid SD
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Status Gizi
Status gizi adalah gambaran keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi dan penggunaan zat-zat gizi, dilakukan dengan penggunaan TB/U dan dibandingkan dengan standar WHO–NCHS dengan simpang baku Z-skor.
Dengan perhitungan Z-skor (Supariasa, 2002):
Adapun kriteria objektifnya yaitu:
Baik : -2 SD sampai +2 SD
Kurang : < -2 SD
2. Pola Makan
Pola makan adalah cara murid untuk memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya diukur dari frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003).
Krtiteria penilaian di dasarkan pada skala Guttman atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu sebanyak 20 pertanyaan. Untuk setiap pertanyaan diberikan nilai skor 0 (nol) jika menjawab tidak sesuai dengan pola makan yang seharusnya dan nilai skor 1 (satu) jika menjawab sesuai dengan pola makan yang seharusnya. Pengukuran pola makan dilakukan dengan menggunakan rumus interval kelas:
Keterangan:
I = interval
R = range/ kisaran (100- 0 = 100%)
K = jumlah kategori (2)
(Sugiono, 2003)
Maka,
Skor tertinggi = 1 x 20 = 20 (100%)
Skor terendah = 0 x 20 = 0 (0%)
Batas atas = Skor tertinggi = 100%
Batas bawah = (Batas atas – I )
= (100 – 50)
= 50%
Kriteria obyektif:
Baik : apabila responden memiliki skor > 50 % dari 20 pertanyaan yang diberi skor.
Buruk : apabila responden memiliki skor ≤ 50 % dari 20 pertanyaan yang diberi skor.
3. Kebiasaan makan pagi
Kebiasaan makan pagi adalah kebiasaan makan murid SD yang dilakukan di pagi hari, baik itu di rumah maupun di sekolah. Adapun kriterianya sebagai berikut:
Ya : jika murid tersebut terbiasa makan di pagi hari.
Tidak : jika murid tersebut tidak terbiasa makan di pagi hari.
4. Prestasi belajar
Prestasi belajar murid SD dapat dilihat dari mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS yang dicapai dalam semester pertama tahun ajaran 2009-2010. Adapun kriterianya sebagai berikut:
Prestasi belajar baik : nilai rata-rata keempat mata pelajaran ≥ 6,5
Prestasi belajar kurang : nilai rata-rata keempat mata pelajaran < 6,5
(Depdiknas, 2003).
F. Insrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berupa daftar pertanyaan yang di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut variabel-variabel dalam penelitian ini yang meliputi pola makan dan kebiasaan makan pagi. Sedangkan untuk mengukur status gizi dipergunakan mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm. Selain itu juga digunakan komputer untuk analisis data melalui program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) dan kalkulator untuk menghitung Z-skor.
G. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data primer
Data primer berupa data status gizi TB/U, pola makan dan kebiasaan makan pagi. Data pola makan dan kebiasaan makan pagi diperoleh dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang tersedia. Data status gizi diperoleh dari hasil pengukuran tinggi badan secara langsung menggunakan alat mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm yang selanjutnya dibandingkan dengan umur anak tersebut lalu kemudian dihitung Z-skor agar dapat dikategorikan ke dalam kelompok status gizi tertentu.
Cara mengukur tinggi badan menggunakan mikrotoise:
a. Tempelkan dengan paku mikrotoise tersebut pada dinding yang lurus dan datar setinggi tepat 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar dan rata.
b. Lepaskan alas kaki (sepatu atau sandal) dan penutup kepala (topi, dll).
c. Anak berdiri membelakangi dinding dengan pita meteran berada di tenga bagian kepala.
d. Anak harus berdiri tegak bebas, sikap tegap sempurna seperti tentara.
e. Tangan dibiarkan tergantung bebas menempel ke badan
f. Tumit rapat, tetapi ibu jari kaki tidak rapat.
g. Kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit harus menempel pada dinding.
h. Muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.
i. Turunkan mikrotoise sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada dinding.
j. Baca angka pada skala yang nampak pada lubang gulungan mikrotoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur.
(Depkes R.I, 1999).
2. Data sekunder
Data sekunder dikumpulkan berupa data jumlah sekolah di Kec. Kendari dari Dinas Pendidikan Nasional di Kota Kendari, data umur sampel melalui identitas dari sekolah atau buku rapor murid (data yang diperoleh dari sekolah) dan studi kepustakaan dengan mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini.
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan secara manual dengan menggunakan kalkulator dan komputer program SPSS versi 16.00 Windows dan disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan penjelasan.
2. Analisis data
a. Analisis univariat
Dilakukan secara deskriptif pada masing-masing variabel dengan analisis pada distribusi frekuensi.
b. Analisis bivariat
Untuk mengetahui hubungan antara status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar pada murid sekolah dasar dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat signifikan (α=0,05).
Dengan menggunakan rumus :
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2. Kontingensi 2 x 2 Chi Square
Variabel Independen Prestasi Belajar Jumlah
Kurang Baik
Kurang/Buruk O11 O12 O11+ O12
Baik O21 O22 O21+ O22
Jumlah O11+ O21 O12+ O22 O11+ O21+ O12+ O22
Keterangan :
X2 = nilai chi-kuadrat
Oij = nilai hasil observasi
Eij = nilai harapan
(Isgiyanto, 2009).
Dasar pengambilan keputusan penelitian hipotesis (Budiarto, 2002) adalah:
a. H0 diterima jika X2hitung ≤ X2tabel atau ρ value ≥ (α) = 0,05
b. H0 ditolak jika X2hitung > X2tabel atau ρ value < (α) = 0,05
Jika H0 ditolak kemudian dilanjutkan uji keeratan hubungan dengan menggunakan koefisien phi (Ø). Hasil uji statistik yang bermakna atau diketahui adanya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat akan diketahui keeratan hubungannya dengan uji koefisien Phi, yang dimaksudkan untuk melihat keeratan atau kekuatan hubungan dengan menggunakan SPSS. Berikut rumus perhitungan manual koefisien phi (Ø).
Rumus :
(Arikunto, 2002).
Stang (2003), mengemukakan bahwa koefisien Phi memiliki standar, yaitu sebagai berikut:
0,76 - 1,00 : hubungan sangat kuat
0,51 - 0,75 : hubungan kuat
0,26 - 0,50 : hubungan sedang
0,01 - 0,25 : hubungan lemah
I. Penyajian Data
Data yang diperoleh dan diolah kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan tekstual, serta selanjutnya diinterpretasi dalam bentuk penjelasan.
Untuk BAB Berikut silakan DOWNLOAD DISINI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan dan kemandirian suatu bangsa terwujud apabila kualitas sumber daya manusia dan ekonominya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu dalam Millenium Development Goals (MDGs), penanggulangan kemiskinan dan kelaparan ditetapkan sebagai tujuan pertama dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kualitas sumber daya Indonesia yang masih rendah (Indrawati, 2005).
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan seng selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Patuban, 2008).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4%, dan gizi kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target MDGs pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra), Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) di Sultra, menunjukkan jumlah kasus gizi buruk pada balita mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Berdasarkan data PSG yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sultra, jumlah kasus gizi buruk pada balita di Sultra pada tahun 2006 yaitu terdapat 803 balita yang mengalami gizi buruk, dan pada tahun 2007 jumlah kasus gizi buruk pada balita meningkat menjadi 1.113 balita yang mengalami gizi buruk
Daerah Kota Kendari dalam empat tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita mengalami perubahan yang pasang surut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Kendari bagian Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Gizi, jumlah kasus gizi buruk pada balita di Kota Kendari pada tahun 2006 yaitu 107 kasus balita yang mengalami gizi buruk dan mengalami peningkatan menjadi 139 balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2007, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2008 yaitu 108 balita yang mengalami gizi buruk, dan kembali meningkat di tahun 2009 yaitu 144 balita yang mengalami gizi buruk.
Wilayah kerja Puskesmas Mata, Kecamatan Kendari, berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Mata untuk empat tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2006, jumlah kasus gizi buruk pada balita yaitu 8 balita, kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 22 balita, kemudian meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi 23 balita dan terus meningkat sampai pada tahun 2009 menjadi 48 balita yang mengalami gizi buruk.
Status gizi anak balita dapat mencerminkan status gizi masyarakat. Begitu juga yang terjadi pada anak usia sekolah dasar. Status gizi anak usia sekolah dapat diketahui dari pengukuran antropometri, survai pola makan, survai kebiasaan sarapan dan faktor-faktor lain yang pada ujungnya akan berdampak pada prestasi belajarnya. Meskipun data status gizi murid sekolah di Kecamatan Kendari tidak ada, namun hal ini sudah tercermin dari status gizi balita yang bertempat tinggal di Kecamatan Kendari (Kardjati, dkk., 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor UPTD Diknas Kec. Kendari diketahui bahwa terdapat 15 SDN di Kecamatan Kendari dan jumlah murid keseluruhan di SDN Kecamatan Kendari sebanyak 2.436 murid. Karena keterbatasan peneliti maka hanya diambil 4 SDN di Kecamatan Kendari mulai dari kelas III sampai kelas VI dengan persentase kelulusan terendah dalam 4 tahun ajaran terakhir, yaitu SDN 8, SDN 9, SDN 10 dan SDN 13. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, terdapat sekitar 50% murid SD di keempat SDN tersebut yang memiliki tubuh kurus dan pendek. Selain itu, berdasarkan wawancara terhadap masing-masing wali kelas, anak-anak yang memiliki tubuh yang kurus tersebut tidak aktif dalam proses belajar mengajar dan memiliki absensi yang tinggi.
Anak yang kurang gizi akan mengalami retardasi (keterbelakangan) mental 20-30% dibandingkan dengan anak yang memperoleh gizi baik, bahkan berukuran tubuh pendek dan kecil karena sebelumnya menderita kurang gizi akan menjadi anak yang kurang responsif, tidak dapat berkonsentrasi, sulit berkomunikasi, tidak energik dan anak tersebut tidak hanya mempunyai IQ yang rendah, tetapi kemampuan akademik juga rendah. Rendahnya prestasi anak di sekolah memang tidak selamanya tergantung pada intelegensinya. Mungkin saja anak tersebut mengalami ketidakmampuan dan kegagalan belajar karena disfungsi dalam perkembangannya. Sebelumnya perilaku tersebut sering dianggap sebagai ketidakmatangan, bahkan keterbatasan intelegensia. Dewasa ini para ahli menyadari bahwa masalah-masalah ini adalah cermin dari kesulitan belajar (Lamid, 1992).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh R. Djarot Darsono, dkk. (2009), mengemukakan studi kohort retrospektif yang mereka lakukan dilakukan untuk mengetahui hubungan status gizi anak di bawah 3 tahun dengan prestasi belajar verbal dan numerik. Studi dilakukan terhadap pencatatan penimbangan anak balita yang tersedia di Puskesmas, catatan hasil ujian harian di Sekolah Dasar Kabupaten Tangerang. Standar baku tentang kategori nilai berbagai mata pelajaran di Sekolah Dasar (SD) belum tersedia, sehingga peneliti menggunakan acuan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk nilai standar kelulusan Ujian Akhir Nasional (UAN). Gizi kurang pada saat usia bayi dua tahun, secara statistik berhubungan bermakna dengan prestasi belajar verbal yang rendah (OR=6,5; 95% CIOR=3,59-12,03) dan prestasi belajar numerik yang rendah.
Begitu minimnya data yang diperoleh menunjukkan masih kurangnya perhatian untuk memantau status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi murid sekolah dasar. Selain itu, uraian di atas menunjukkan bahwa masalah gizi sangat mempengaruhi prestasi belajar murid sekolah dasar dan di Kecamatan Kendari belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana hubungan antara status gizi, pola makan, dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
b. Untuk mengetahui hubungan antara pola makan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
c. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional Kota Kendari dalam rangka penentuan arah kebijakan program pemberantasan masalah gizi dan pemantauan hasil belajar murid SD di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bagi peneliti berikutnya.
3. Manfaat bagi Peneliti
Diharapkan dapat menambah pengalaman, wawasan dan pengetahuan peneliti tentang hubungan status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi terhadap prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
BABII
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Anak Usia SD
Membahas karakteristik anak usia SD, di dalamnya berkaitan dengan pertumbuhan maupun perkembangan anak. Hal ini sangat penting mengingat pada anak usia SD, yaitu antara usia 6 sampai 12 tahun anak banyak mengalami perubahan baik fisik maupun mental hasil perpaduan faktor intern maupun pengaruh dari luar yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan yang tidak kurang pentingnya adalah pergaulan dengan teman sebayanya.
Kaitannya dengan pendidikan anak usia SD, guru perlu mengetahui benar sifat-sifat serta karakteristik tersebut agar dapat memberikan pembinaan dengan baik dan tepat sehingga dapat meningkatkan potensi kecerdasan dan kemampuan anak didiknya sesuai dengan kebutuhan anak dan harapan orang tua pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, pimpinan sekolah dan guru harus mengenal betul perkembangan fisik dan mental serta intelektual anak didiknya. Dengan kata lain pengetahuan tentang perkembangan fisik, mental rohani serta intelektual anak SD tersebut merupakan “model” utama dalam rangka pembinaan anak.
Perkembangan fisik dan intelektual anak usia 6-12 tahun nampaknya cenderung lamban. Pertumbuhan fisik anak menurun terus, kecuali pada akhir periode tersebut, sedangkan kecakapan motorik terus membaik. Perubahan terlihat kurang menonjol jika dibandingkan dengan usia permulaan. Akan tetapi perkembangan pada usia ini masih sangat signifikan. Perkembangan intelektual sangat substansial, karena sifat egosentrik, anak menjadi lebih bersifat logis. Perkembangan yang terjadi menghasilkan adanya perbedaan pada anak usia 6 dengan 12 tahun. Anak berusia 6 tahun nampak seperti anak kecil, sedangkan anak berusia 12 tahun nampak seperti orang dewasa.
Sekalipun pada usia tersebut anak lebih sehat daripada keadaan kehidupan pada umumnya, tetapi anak ini tidak sehat atau tidak sesegar sebagaimana seharusnya. Seperti ketika kita melihat atau memperhatikan anak-anak yang sedang berbaris di depan kelas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ukuran jasmani. Ada anak yang tinggi, pendek, kurus dan gemuk dengan beraneka ragam bentuknya.
Anak usia 10 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, badannya bertambah berat dan tingginya bertambah. Namun setelah remaja anak perempuan pada usia 12-13 tahun berkembang lebih cepat daripada anak laki-laki. Anak yang berusia 7-9 tahun tidak akan banyak berubah, hal ini merupakan keadaan yang normal.
Tingkat pertumbuhan anak sangat berbeda antara ras, bangsa dan tingkat sosial ekonominya. Menurut penelitian yang dilakukan di berbagai tempat di dunia terdapat rentangan sebesar 9 inci atau 22,5 cm di antara anak-anak dalam ukuran pendek, misalnya di Asia Tenggara, Oceania dan Amerika Selatan, sedangkan anak-anak dari Eropa Utara dan Tengah, Australia Timur, dan Amerika Serikat pertumbuhannya lebih tinggi. Walaupun terdapat perbedaan keturunan, pertumbuhan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan mereka.
Anak-anak memiliki nafsu makan yang bagus pada usia pertengahan biasanya. Mereka banyak makan karena kegiatannya menuntut energi yang banyak, dan dalam usia ini berat badannya meningat menjadi dua kali lipat. Untuk mendukung pertumbuhan spontan ini, anak-anak memerlukan 2.400 kalori setiap hari, 34 gram protein dan rata-rata karbohidrat yang tinggi paling minimum harus tetap dipertahankan.
Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lamban, karena kalori tersebut hanya untuk mempertahankan hidup dan energi, sedangkan protein lebih untuk meningkatkan pertumbuhan. Apabila makanan tidak dapat mendukung kedua proses tersebut sepenuhnya maka pertumbuhannya menjadi tidak normal.
Nutrisi juga mempunyai implikasi sosial. Anak tidak dapat bermain dan hanya tinggal diam karena tidak mendapat makanan yang cukup. Pengaruh kekurangan nutrisi tersebut juga dapat berlangsung lama sekali. Suatu studi yang memerlukan jangka waktu lama di Guatemala, di mana diteliti nutrisi yang merupakan masalah yang serius ditemukan bahwa sejak kelahiran berusia dua tahun dapat dijadikan pertunjuk yang sangat bagus bagi perilaku sosial pada usia pertengahan anak-anak. Untuk 138 anak usia 6-8 tahun yang diteliti, semuanya mendapatkan ekstra kalori dan vitamin akan tetapi hanya sebagian yang memperoleh protein. Anak-anak yang tidak memperoleh ekstra protein pada waktu mudanya cenderung bersikat pasif, dan tergantung pada orang dewasa; sedangkan bagi anak-anak yang memperoleh nutrisi yang cukup, mereka bersifat gembira dan lebih bersikap sosial dengan teman bermainnya.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kekurangan nutrisi dapat menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan keluarga. Para peneliti menemukan bahwa bayi yang kekurangan nutrisi, mereka tidak memiliki energi untuk merespon perhatian ibunya. Selanjutnya anak kecil menjadi kurang responsif dan kurang mengembangkan kemampuan antar pribadi. Demikian pula apabila seorang ibu kekurangan nutrisi, kejadian tersebut makin buruk.
Hubungan antara nutrisi dan perkembangan kognitif sudah menjadi jelas. Anak-anak Afrika di Kenya, yang menderita kekurangan gizi mendapat skor yang paling rendah dalam tes kemampuan verbal dan juga dalam tes metrik yang meminta anak-anak memilih satu pola yang cocok dengan pola yang lain. Suatu program bagi anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan rendah pada kelas III sampai VI mereka mendapat saran dari sekolah di Masachusetts dan dapat meningkatkan skor mereka dalam tes kemampuan (Sumantri dkk, 2007).
B. Tinjauan tentang Prestasi Belajar
1. Belajar dan Hasil Belajar
Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap (Winkel dalam Hasbullah, 2000). Menurut Slameto dalam Hasbullah (2000), belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang relatif bersifat permanen yang disebabkan oleh pengalamannya.
Pencapaian tujuan belajar oleh siswa disebut hasil belajar atau merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diperoleh seseorang setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil belajar ini diukur setelah siswa mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran serta diketahui lewat tes hasil belajar. Menurut Winkel dalam Hasbullah (2000) tes hasil belajar ini disebut dengan evaluasi produk atau hasil yang diperoleh siswa dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dicapai.
Hasil belajar adalah perubahan yang terjadi pada diri individu yang belajar, bukan saja perubahan mengenai pengetahuan tetapi kemampuan untuk membentuk kecakapan, kebiasaan sikap, pengertian penguasaan dan penghargaan dalam diri individu yang belajar. Hasil belajar merupakan suatu hasil yang dicapai oleh siswa setelah pembelajaran dalam selang waktu tertentu, yang diukur dengan menggunakan alat evaluasi tertentu (Hasbullah, 2000).
2. Belajar di Sekolah Dasar
Saat bertambahnya umur pada seorang anak maka perkembangan dan pertumbuhannya akan terus menerus. Pada masa sekolah 6-12 tahun terjadi perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat. Mengingat perkembangan dan pertumbuhan yang amat pesat dan lingkungan keluarga, sekarang orang tua tidak lagi mampu memberikan fasilitas untuk bisa mengembangkan fungsi anak-anak terutama fungsi intelektual dalam mengejar kemajuan jaman modern. Maka anak memerlukan lingkungan baru yang luas berupa sekolah dimana untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki.
Sekolah akan memberikan pengaruh yang baik dan besar pada anak sebagai individu dan makhluk sosial. Peraturan sekolah, otoritas guru, disiplin kerja, cara belajar, kebiasaan bergaul dan macam-macam tuntutan sekolah yang cukup ketat itu memberikan segi-segi keindahan dan kesenangan belajar pada anak. Pendidikan di sekolah mempunyai peranan yang luas di dalam berlangsungnya beberapa bentuk dasar dari kelangsungan pendidikan pada umumnya yaitu pembentukan sikap dan kebiasaan yang wajar, perangsangan kemampuan bercakap-cakap, belajar kerjasama dengan teman sekolah, belajar menahan diri demi kepentingan orang lain, memperoleh pengajaran menghadapi saingan yang semaunya mempunyai akibat pencerdasan otak anak-anak seperti yang dibuktikan dengan tes intelegensi (Fasli, 1996).
3. Prestasi Belajar
Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990).
Alat ukur evaluasi prestasi belajar disebut Tes Hasil Belajar (THB). Tes hasil belajar digunakan untuk mengukur taraf keberhasilan sebuah program pengajaran dan untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kemampuan kognitifnya (Hasbullah, 2000).
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (1976) dan Sumantri (1978) menyatakan bahwa untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang berimplikasi pada peningkatan prestasi belajar anak didik diperlukan metode evaluasi dengan cara mengukur skor prestasi belajar anak didik dari empat mata pelajaran yaitu, matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS, karena keempat mata pelajaran ini sudah cukup untuk mengukur nilai kognitif pada anak SD (Marlian, 1999).
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Menurut Pudjiadi (2001) prestasi belajar dapat dipengaruhi oleh budaya dan keturunan. Lebih jelas Guilbert (1993) dalam Marlian (1999) mengemukakan secara global bahwa berhasil tidaknya Prestasi belajar akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
a. Faktor dari dalam diri (endogen), meliputi
1) Psikologis, antara lain :
1. Kecerdasan, taraf kecerdasan meliputi beberapa aspek salah satunya diantaranya yang berpengaruh terhadap prestasi belajar adalah daya ingat. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi daya ingat, yaitu:
a. Jasmani ( kelelahan atau sakit)
b. Rohani (perasaan anak-anak terhadap pelajaran maupun gurunya. Pemusatan perhatiannya dan gangguan-gangguan pikiran lainnya).
c. Prinsip Gestalt (keseluruhan yang mengandung arti). Sesuatu uraian ataupun gambaran keseluruhan lebih mudah ditangkap oleh peserta didik apabila dia melihat hubungan keseluruhan dan oleh sebab itu juga lebih mudah untuk diingat-ingat.
d. Pengesahan yang kuat. Sesuatu uraian lebih mudah diingat-ingat kalau hal itu disajikan sedemikian rupa sehingga berkesan mendalam pada anak-anak sekolah tersebut.
e. Teknik belajar kelompok. Cara ini lebih memaksa anak-anak atau murid untuk berusaha mengemukakan pendapatnya dan mempertahankannya, dengan demikian maka murid-murid juga akan lebih mudah mengingat-ingat kembali uraian tersebut daripada menghafalkanya sendiri tanpa adanya respon dari kawan-kawannya.
f. Perbedaan perorangan. Faktor lain lagi yang mempengaruhi daya ingatan seseorang adalah perbedaan perseorangan yang disebabkan oleh bakat dan perbedaan lingkungan dimana dia dibesarkan.
2. Motivasi, hanya apabila murid-murid menyadari kepentingan, keperluan baginya sendiri yang dia peroleh dari pelajaran yang akan dihadapi, maka barulah uraian tersebut akan lebih berkesan dan oleh karenanya lebih mudah untuk dapat diingat-ingat kembali.
2) Faktor fisiologis, antara lain kondisi fisiologis (status gizi yang juga dipengaruhi oleh kebiasaan makan pagi, pola konsumsi makanan keluarga, persediaan pangan keluarga, zat gizi dalam makanan, pendapatan keluarga).
b. Faktor dari luar diri (eksogen), meliputi :
1) Faktor Sosial; antara lain: guru, orang tua (keluarga), teman.
2) Faktor Non Sosial; antara lain: lingkungan fisik, sanitasi lingkungan, les tambahan.
C. Tinjauan tentang Status Gizi, Pola Makan dan Kebiasaan Makan Pagi Anak SD
1. Status Gizi Anak SD
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian status gizi secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu: penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan melalui pengukuran antropometri, uji klinis, biokimia dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan energi protein. Gangguan ini biasa terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi maka metode antropometri gizi sangat erat kaitannya dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah:
1. Berat badan berdasarkan umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil.
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal. Terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.
2. Tinggi badan berdasarkan umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi di masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi.
3. Berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat sekarang. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur.
4. Lingkar lengan atas berdasarkan umur
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Kader posyandu dapat melakukan pengukuran ini.
5. Indeks masa tubuh (IMT)
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu caranya adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal dan normal (Supariasa, dkk., 2002).
Berbagai jenis indeks tersebut di atas, untuk menginterpretasikan status gizi dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para Ahli Gizi. Ambang batas dapat disajikan ke dalam tiga cara yaitu, persen terhadap median, persentil dan standar deviasi unit. WHO menyarankan untuk menggunakan standar deviasi unit (Z-skor) untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Selain itu Waterlow juga merekomendasikan penggunaan SD untuk menyatakan hasil pengukuran pertumbuhan atau Growth Monitoring. WHO memberikan gambaran perhitungan SD (Standar Deviasi) unit terhadap baku NCHS (National Centre for Health Statistics) (Supariasa, dkk., 2002).
Rumus perhitungan Z-skor adalah:
Penilaian status gizi versi Z-skor baku WHO-NCHS untuk setiap indeks antropometri BB/U, TB/U dan BB/TB adalah sama yaitu, gizi kurang jika pengukuran setiap indeks lebih kecil -2SD (standar deviasi) dan gizi buruk jika berada di bawah -3SD (Atmaria, 1991) dalam (Masrif, 2001).
2. Pola Makan Anak SD
Sejak zaman dahulu, makanan selain kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar dan selera, juga memiliki tempat sebagai lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman, dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur semua membentuk ramuan yang disebut pola makan (Santoso dkk, 2004).
Pola makan adalah cara individu atau kelompok individu untuk memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologi, sosial dan budaya diukur dari frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003). Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kebiasaan, kesenangan, budaya, agama, lingkungan alam, taraf ekonomi dan sebagainya. Sehingga sudah sepatutnya pola makan setiap orang di berbagai tempat, usia, dan waktu berbeda.
Anak-anak dalam usia 6-12 tahun umumnya sudah dapat memilih dan menentukan makanan mana yang disukai mana yang tidak disukai. Sering kali mereka memilih makanan yang salah, lebih-lebih jika orang tuanya tidak memberikan petunjuk apa-apa padanya, selain itu anak-anak ini gemar sekali jajan. Terlebih lagi pada tahap ini, anak mulai masuk sekolah. Dengan demikian anak-anak ini mulai masuk ke dalam dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan pula dengan suasana dan lingkungan baru kehidupanya. Sehingga pola makan anak tidak hanya ditentukan kebiasaan makan di rumah tapi juga oleh temannya, kadang-kadang mereka menolak makan di rumah dan sebagai gantinya meminta uang untuk jajan (Hurlock, 1993).
Secara kuantitas dan kualitas rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila kita hanya makan 1 kali atau 2 kali sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan kita tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah banyak. Itulah sebabnya makan dilakukan secara frekuentif yakni 3 kali sehari termasuk makan pagi (Ali Khomsan, 2002).
Anjuran makanan sehari untuk anak sekolah dalam hal ini untuk anak sekolah terdiri dari :
a. 1 piring nasi atau padanannya 1 piring sama dengan 200 gr,
b. 3 potong lauk nabati atau padanannya 1 potong sama dengan 50 gr,
c. 1,5 porsi sayur atau padanannya 1 porsi sama dengan 100 gr tanpa kuah
d. 2 potong buah atau padanannya sama dengan 100 gr buah matang.
Kondisi anak sangat berkaitan dengan pengolahan pasokan makanan. Dari hidangan yang kita makan, tubuh menyimpan sebagian kalorinya untuk cadangan kalori berupa glikogen. Glikogen alias timbunan gula darah ini merupakan sumber energi siap pakai, yang disimpan dalam otot dan hati. Sayangnya, meski bisa langsung digunakan tubuh, sumber energi ini sangat mudah habis. Simpanan glikogen yang berasal dari hidangan makan malam biasanya sudah akan habis 2-4 jam setelah anak bangun pagi. Hal itu tergantung pada nilai kalori hidangan makan malam dan aktivitas anak usia sekolah (6-12) tahun umumnya sangat tinggi, simpanan glikogen dalam otot mudah terkuras habis (Sintha, 2001).
Faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan mental dan jasmani pada usia sekolah. Salah satu adalah masalah gizi. Masalah gizi saat ini selain masalah gizi kurang juga muncul masalah gizi lebih, jalan untuk menempuh perbaikan gizi anak agar prestasi belajar tidak terganggu salah satunya yaitu dengan perbaikan pola makan dikeluarga yang juga mempengaruhi pola makan si anak (Fasli, 1995).
Perilaku makan yang baik untuk anak sekolah yaitu melalui pesan gizi seimbang untuk anak sekolah antara lain;
1. Makanlah aneka ragam makanan
2. Biasakan makan pagi
3. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi
4. Gunakan garam beryodium
5. Makanlah makanan sumber zat besi
6. Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya
7. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan,
8. Jangan jajan sembarangan tempat, pilih jajanan yang dibungkus
9. Pilih minuman atau makanan yang tidak berwarna mencolok
10. Bacalah label pada makanan yang dikemas.
Makanan yang teratur meliputi; frekuensi makan 3 kali dan ditambah 2 kali makanan selingan, selanjutnya waktu makan sebaiknya pagi, siang dan sore hari diantara waktu-waktu makan tersebut sebaiknya makan makanan selingan (Depkes RI Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Darmawan (2007), dengan tujuan ingin melihat hubungan pola makan dengan prestasi belajar remaja di SMP Islam Al Azhar 12 Rawamangun yang terpilih menjadi subyek penelitian. Penelitian yang dilakukan dengan observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional) ini melibatkan keseluruhan remaja di SMP Islam Al Azhar 12 Rawamangun tersebut. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pola makan (cepat saji, penganan dan kelompok lain) dengan prestasi belajar (cepat saji : r = - 0,348, p = 0,000; penganan : r = - 0,304, p = 0,002; lain : r = - 0,266, p = 0,007).
3. Kebiasaan Makan Pagi Anak SD
Menurut para ahli gizi, sedikitnya 30 persen total energi tubuh harus dipenuhi saat makan pagi. Karena itu, seyogyanya anak-anak dibujuk untuk membiasakan diri untuk makan pagi. Penelitian tersebut menunjukkan, bahwa makan pagi bukanlah sekedar untuk mengenyangkan perut selama belajar di sekolah, tetapi lebih dari yaitu agar anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik agar mendukung prestasi belajarnya. Makan pagi berpengaruh terhadap kecerdasan otak, terutama daya ingat anak. Para ahli melakukan pengujian terhadap daya ingat anak-anak usia sekolah menyatakan, perbendaharaan kata mereka sensitif terhadap efek pemberian makan pagi. Artinya, kemampuan anak-anak untuk mengingat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kalori dan zat-zat gizi dari makan pagi. Penelitian ini menyimpulkan; pertama, otak sensitif terhadap penurunan jangka pendek ketersediaan zat-zat makanan. Kedua, keadaan tidak makan pada malam dan pagi hari akan menghasilkan hambatan psikologi disertai perubahan fungsi otak, khususnya daya ingat (Sintha, 2001).
Berangkat ke sekolah tanpa makan pagi rupanya bukan kebiasaan baik untuk anak. Makan pagi bukan hanya penting untuk menunjang kebutuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi pencapaian prestasi belajar anak. Daya pikir dan daya mengingatnya menjadi lebih rendah. Serangkaian penelitian pernah dilakukan terhadap 600 murid di Inggris dari keluarga berpenghasilan rendah dan sedang. Kesimpulannya, anak-anak yang tidak terbiasa makan pagi ternyata sulit berkonsentrasi, lambat menanggapi, dan rentang perhatiannya terhadap pelajaran sangat rendah. Gerak-geriknya lamban dan cenderung mudah tersinggung. Akibat jangka panjang yang terekam, nilai-nilai pelajarannya umumnya lebih rendah daripada anak dari keluarga setaraf yang terbiasa makan pagi. Penelitian lain dilakukan terhadap 1000 murid, juga di Inggris, dari keluarga berpenghasilan rendah yang tidak terbiasa makan pagi. Setelah anak-anak itu mengikuti program wajib makan pagi di sekolah, nilai pelajarannya rata-rata menjadi lebih bagus dari sebelumnya. Frekuensi mereka tidak masuk sekolah menurun, geraknya menjadi lincah (Sintha, 2001).
Anak yang tidak makan pagi, akan menyebabkan menipisnya sediaan glikogen otot tidak tergantikan. Untuk menjaga agar kadar gula darah tetap normal, tubuh lalu memecah simpanan glikogen dalam hati menjadi gula darah. Jika bantuan pasokan gula darah ini pun akhirnya habis juga, tubuh akan kesulitan memasok jatah gula darah ke otak. Akibatnya anak bisa menjadi gelisah, bingung, pusing-pusing, mual, berkeringat dingin, kejang perut, bahkan bisa juga sampai pingsan. Ini merupakan gejala hipoglikemia (merosotnya kadar gula dalam darah) (Sintha, 2001).
Tidak makan pagi berarti kebutuhan harian beberapa vitamin dan mineral menjadi tidak tercukupi. Sekali saja anak-anak tidak makan pagi, akan menyebabkan konsumsi vitamin A, E, B6, riboflavin, dan tiamin, serta mineral kalsium, fosfor, magnesium, dan zat besi rata-rata 2/3 kecukupannya perhari. Padahal zat gizi tersebut sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang anak (Sintha, 2001).
Adapun konsep makan pagi yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan sebagai berikut:
a. Sumber karbohidrat seperti nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong dan ubi
b. Sumber protein yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju, kacang hijau, dan lain-lain.
c. Sumber vitamin dan mineral yaitu dari sayuran seperti wortel, bayam, kangkung, labu siam, buncis, buah-buahan misalnya pepaya, jambu biji, air jeruk, melon, alpukat, dan lain-lain.
(Depkes RI Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, 2001).
Permasalahan gizi pada anak sekolah yang menonjol adalah kekurangan zat besi yang mencakup kira-kira 25-40 persen. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan daya tahan tubuh siswa rendah atau turun, cepat lelah, lamban bergerak, kurang bergairah dan tidak cepat tanggap. Keadaan ini apabila berlangsung lama akan berdampak buruk terhadap hasil prestasi belajar anak (Fasli, 1995).
Alan Berg (1993) menyatakan bahwa pada usia anak sekolah yang menderita kurang gizi terjadi gangguan pada kemampuan untuk berkonsentrasi dengan kesanggupan untuk belajar, dengan keadaan seperti ini gizi kurang dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar, anak akan sering tinggal di kelas dibandingkan anak yang normal (Benni, 1997).
Sukati Saidi dkk (1991) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kebiasaan tidak makan pagi pada anak sekolah berpengaruh nyata terhadap prestasi belajar anak sekolah. Selain daya tangkap seseorang khususnya pagi hari sangat dipengaruhi oleh kadar gula dalam darah. Anak-anak perlu diberi makan pagi sesudah puasa 10 jam selama tidur malam. Keadaan ini ada hubungannya dengan kerja otak terutama proses daya tangkap seseorang bila tidak makan pagi akan terjadi hipoglikemia (Depkes, 1995).
Bagi anak usia sekolah antara 6-12 tahun masih dalam usia pertumbuhan fisik dan mental yang mempunyai kesibukan di pagi hari misalnya, harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang tengah hari atau sore hari, masih ditambah kegiatan ekstra dan sesampainya di rumah harus menyiapkan tugas-tugas, dimana agar dalam pertumbuhan, perkembangan fisik dan mental normal, serta stamina anak itu tetap fit selama mengikuti kegiatan tersebut dan memperoleh prestasi belajar yang baik maka sarana dan prasarana utamanya adalah dengan mencukupi kebutuhan pangan dan gizi yang seimbang dan berkualitas yaitu dengan pengaturan makanan yang baik salah satunya adalah membiasakan anak untuk makan pagi (Sintha, 2001).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nachum Vaisman, dari Univesitas Hebrew, Jerusalem. Dengan melibatkan lebih dari 550 anak sekolah laki-laki dan perempuan berumur antara 11 sampai 13 tahun. Mereka dites dua kali yaitu pada awal percobaan dua pekan, tanpa mengganggu kebiasaan rutin makan pagi mereka dan pada akhir penelitian ketika dua pertiga anak-anak itu makan pagi disekolah salama 15 hari. Menu makan pagi dua pertiga anak yang diberikan di sekolah corn flake dan susu. Sedangkan anak-anak lainnya makan pagi di rumah atau tidak makan pagi sama sekali. Mereka bersekolah di lima sekolah dasar yang berbeda dan mereka berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda juga.
Anak yang makan pagi di sekolah 30 menit sebelum tes, nilai tesnya lebih baik dibandingkan anak yang menu makanan paginya tipikal makan pagi anak-anak Israel atau mereka yang tidak makan pagi. Dua menu makan pagi tipikal anak-anak Israel, menurut penuturan mereka, ialah segenggam corn flake dan segelas susu cokelat dan beberapa potong kue.
Tes diadakan satu setengah jam dan dua jam setelah makan pagi, anak-anak yang makan pagi hasil tesnya tidak lebih baik dengan anak-anak yang tidak makan pagi. Tetapi bukan berarti bisa diterima anak-anak pergi ke sekolah tanpa makan pagi. Anak-anak dengan perut kosong bukanlah keadaan ideal untuk belajar dan kesehatannya secara umum. Menurut laporan yang dipublikasikan dalam jurnal Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine edisi oktober 1996, para peneliti memperkirakan terjadinya perbedaan nilai tes mungkin disebabkan oleh meningkatnya tingkatan gula darah, berhubungan dengan apa yang dimakan anak-anak dan kapan mereka memakannya.
Amerika Serikat, anak sekolah dasar yang dari keluarga berpenghasilan rendah mengikuti Program Makan Pagi Sekolah (School breakfast Program). Makan pagi tersebut diberikan sebentar sebelum pelajaran dimulai. Ternyata, anak-anak tersebut menunjukan peningkatan akademis yang nyata sejak program ini diluncurkan tahun 1996 (Sintha, 2001).
D. Kerangka Konsep
Secara umum prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis. Aspek fisiologis yaitu hal-hal yang berhubungan dengan status kesehatan seperti kondisi umum jasmani dan organ-organ tubuh serta status gizi. Status gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain: kebiasaan makan pagi, pola konsumsi makanan keluarga, persediaan pangan keluarga, zat gizi dalam makanan, pendapatan keluarga. Namun karena dalam penelitian ini hanya mengambil variabel kebiasaan makan pagi dan pola makan keluarga, maka status gizi juga dijadikan variabel tersendiri yang khusus mewakili faktor lain yang tidak tidak termasuk dalam pola makan dan kebiasaan makan pagi yang mempengaruhi prestasi belajar. Aspek psikologis yang dominan mempengaruhi kegiatan belajar adalah tingkat kecerdasan yang diwarisi sejak lahir atau faktor genetika.
Faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah lingkungan sosial dan non sosial. Lingkungan sosial meliputi orang tua atau keluarga, guru yang mengajar dan teman sepermainan. Lingkungan non sosial meliputi ketersediaan fasiltas dan waktu belajar yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan gambar:
= variabel dependen
= variabel independen
= variabel yang tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Konsep
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Hipotesis Kerja
Berdasarkan kerangka konsep, maka hipotesis kerja penelitian ini adalah status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi berhubungan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Hipotesis Statistik
a. H¬0 : X2hitung ≤ X2tabel atau ρ value ≥ (α) = 0,05, 95%.
1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Tidak ada hubungan antara pola makan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
3. Tidak ada hubungan antara makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
b. Ha : X2hitung > X2tabel atau ρ value < (α) = 0,05, 95%.
1. Ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
2. Ada hubungan antara pola makan dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
3. Ada hubungan antara makan pagi dengan prestasi belajar murid SDN di Kecamatan Kendari Kota Kendari.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 23 Maret sampai 23 April 2010, dan bertempat di SDN 8, 9, 10 dan 13 Kendari yang ada di Kecamatan Kendari Kota Kendari. Pemilihan tempat di Kecamatan Kendari berdasarkan peningkatan masalah gizi di kecamatan ini. Pemilihan SDN 8, 9, 10 dan 13 Kendari di dasarkan pada rendahnya persentase kelulusan muridnya pada ujian nasional dalam 4 tahun ajaran terakhir.
B. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei analitik. Desain cross sectional study dimana hubungan antara status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar diteliti dalam waktu yang bersamaan.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Arikunto, 2002).
Populasi dalam penelitian ini adalah 4 SDN di Kecamatan Kendari mulai dari kelas III sampai kelas VI dengan persentase kelulusan terendah dalam 4 tahun ajaran terakhir yaitu; SDN 13 Kendari 84,59%, dengan jumlah murid sebanyak 77 murid, SDN 10 Kendari 90,81%, dengan jumlah murid sebanyak 99 murid, SDN 8 Kendari 92,57%, dengan jumlah murid sebanyak 133 murid dan SDN 9 Kendari 93%, dengan jumlah murid sebanyak 89 murid. Pemilihan populasi dari kelas III sampai kelas VI didasarkan karena murid tersebut sudah memiliki mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang telah cukup untuk menggambarkan kemampuan kognitif peserta didik SD dan sudah sangat kooperatif dalam penelitian. Sehingga jumlah total populasi adalah 398 murid.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan proportional random sampling karena di dalam pengambilan sampelnya peneliti membagi sampel ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan asal sekolah dan jenjang kelas kemudian ditarik secara acak sederhana dengan keterwakilan atau proporsi yang sama.
Untuk menghitung besarnya sampel yang dibutuhkan digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
n : besar sampel minimum
N : besar populasi (398)
Z1-α/2 : nilai sebaran normal baku yang sebenarnya tergantung α (1,96)
P : proporsi pada populasi (0,5)
d : besar penyimpangan (absolut) yang bisa diterima (0,05)
(Isgiyanto, 2009)
Dengan rumus tersebut, maka sampel dalam penelitian ini (n) adalah:
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh total sampel sebesar 196 murid dari populasi sebesar 398 murid.
Agar setiap sekolah dan kelas memiliki keterwakilan yang sama maka sampel harus ambil secara proporsional berdasarkan rumus berikut:
Kemudian dilanjutkan dengan:
Berdasarkan rumus tersebut, persebaran sampel dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi Sampel
SDN Jml Populasi sekolah Jml Sampel Sekolah Kelas Jml Populasi Kelas Jml Sampel Kelas
8 133 65 III 35 17
IV 36 18
V 33 16
VI 29 14
9 89 44 III 28 14
IV 22 11
V 19 9
VI 20 10
10 99 49 III 20 10
IV 32 16
V 20 10
VI 27 13
13 77 38 III 10 5
IV 24 12
V 21 10
VI 22 11
398 196 398 196
Sumber: Data Primer, Diolah 9 Februari 2010
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas yaitu status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi.
2. Variabel terikat yaitu prestasi belajar murid SD
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Status Gizi
Status gizi adalah gambaran keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi dan penggunaan zat-zat gizi, dilakukan dengan penggunaan TB/U dan dibandingkan dengan standar WHO–NCHS dengan simpang baku Z-skor.
Dengan perhitungan Z-skor (Supariasa, 2002):
Adapun kriteria objektifnya yaitu:
Baik : -2 SD sampai +2 SD
Kurang : < -2 SD
2. Pola Makan
Pola makan adalah cara murid untuk memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya diukur dari frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003).
Krtiteria penilaian di dasarkan pada skala Guttman atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu sebanyak 20 pertanyaan. Untuk setiap pertanyaan diberikan nilai skor 0 (nol) jika menjawab tidak sesuai dengan pola makan yang seharusnya dan nilai skor 1 (satu) jika menjawab sesuai dengan pola makan yang seharusnya. Pengukuran pola makan dilakukan dengan menggunakan rumus interval kelas:
Keterangan:
I = interval
R = range/ kisaran (100- 0 = 100%)
K = jumlah kategori (2)
(Sugiono, 2003)
Maka,
Skor tertinggi = 1 x 20 = 20 (100%)
Skor terendah = 0 x 20 = 0 (0%)
Batas atas = Skor tertinggi = 100%
Batas bawah = (Batas atas – I )
= (100 – 50)
= 50%
Kriteria obyektif:
Baik : apabila responden memiliki skor > 50 % dari 20 pertanyaan yang diberi skor.
Buruk : apabila responden memiliki skor ≤ 50 % dari 20 pertanyaan yang diberi skor.
3. Kebiasaan makan pagi
Kebiasaan makan pagi adalah kebiasaan makan murid SD yang dilakukan di pagi hari, baik itu di rumah maupun di sekolah. Adapun kriterianya sebagai berikut:
Ya : jika murid tersebut terbiasa makan di pagi hari.
Tidak : jika murid tersebut tidak terbiasa makan di pagi hari.
4. Prestasi belajar
Prestasi belajar murid SD dapat dilihat dari mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS yang dicapai dalam semester pertama tahun ajaran 2009-2010. Adapun kriterianya sebagai berikut:
Prestasi belajar baik : nilai rata-rata keempat mata pelajaran ≥ 6,5
Prestasi belajar kurang : nilai rata-rata keempat mata pelajaran < 6,5
(Depdiknas, 2003).
F. Insrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berupa daftar pertanyaan yang di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut variabel-variabel dalam penelitian ini yang meliputi pola makan dan kebiasaan makan pagi. Sedangkan untuk mengukur status gizi dipergunakan mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm. Selain itu juga digunakan komputer untuk analisis data melalui program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) dan kalkulator untuk menghitung Z-skor.
G. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data primer
Data primer berupa data status gizi TB/U, pola makan dan kebiasaan makan pagi. Data pola makan dan kebiasaan makan pagi diperoleh dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang tersedia. Data status gizi diperoleh dari hasil pengukuran tinggi badan secara langsung menggunakan alat mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm yang selanjutnya dibandingkan dengan umur anak tersebut lalu kemudian dihitung Z-skor agar dapat dikategorikan ke dalam kelompok status gizi tertentu.
Cara mengukur tinggi badan menggunakan mikrotoise:
a. Tempelkan dengan paku mikrotoise tersebut pada dinding yang lurus dan datar setinggi tepat 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar dan rata.
b. Lepaskan alas kaki (sepatu atau sandal) dan penutup kepala (topi, dll).
c. Anak berdiri membelakangi dinding dengan pita meteran berada di tenga bagian kepala.
d. Anak harus berdiri tegak bebas, sikap tegap sempurna seperti tentara.
e. Tangan dibiarkan tergantung bebas menempel ke badan
f. Tumit rapat, tetapi ibu jari kaki tidak rapat.
g. Kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit harus menempel pada dinding.
h. Muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.
i. Turunkan mikrotoise sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada dinding.
j. Baca angka pada skala yang nampak pada lubang gulungan mikrotoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur.
(Depkes R.I, 1999).
2. Data sekunder
Data sekunder dikumpulkan berupa data jumlah sekolah di Kec. Kendari dari Dinas Pendidikan Nasional di Kota Kendari, data umur sampel melalui identitas dari sekolah atau buku rapor murid (data yang diperoleh dari sekolah) dan studi kepustakaan dengan mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini.
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan secara manual dengan menggunakan kalkulator dan komputer program SPSS versi 16.00 Windows dan disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan penjelasan.
2. Analisis data
a. Analisis univariat
Dilakukan secara deskriptif pada masing-masing variabel dengan analisis pada distribusi frekuensi.
b. Analisis bivariat
Untuk mengetahui hubungan antara status gizi, pola makan dan kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar pada murid sekolah dasar dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat signifikan (α=0,05).
Dengan menggunakan rumus :
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2. Kontingensi 2 x 2 Chi Square
Variabel Independen Prestasi Belajar Jumlah
Kurang Baik
Kurang/Buruk O11 O12 O11+ O12
Baik O21 O22 O21+ O22
Jumlah O11+ O21 O12+ O22 O11+ O21+ O12+ O22
Keterangan :
X2 = nilai chi-kuadrat
Oij = nilai hasil observasi
Eij = nilai harapan
(Isgiyanto, 2009).
Dasar pengambilan keputusan penelitian hipotesis (Budiarto, 2002) adalah:
a. H0 diterima jika X2hitung ≤ X2tabel atau ρ value ≥ (α) = 0,05
b. H0 ditolak jika X2hitung > X2tabel atau ρ value < (α) = 0,05
Jika H0 ditolak kemudian dilanjutkan uji keeratan hubungan dengan menggunakan koefisien phi (Ø). Hasil uji statistik yang bermakna atau diketahui adanya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat akan diketahui keeratan hubungannya dengan uji koefisien Phi, yang dimaksudkan untuk melihat keeratan atau kekuatan hubungan dengan menggunakan SPSS. Berikut rumus perhitungan manual koefisien phi (Ø).
Rumus :
(Arikunto, 2002).
Stang (2003), mengemukakan bahwa koefisien Phi memiliki standar, yaitu sebagai berikut:
0,76 - 1,00 : hubungan sangat kuat
0,51 - 0,75 : hubungan kuat
0,26 - 0,50 : hubungan sedang
0,01 - 0,25 : hubungan lemah
I. Penyajian Data
Data yang diperoleh dan diolah kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan tekstual, serta selanjutnya diinterpretasi dalam bentuk penjelasan.
Untuk BAB Berikut silakan DOWNLOAD DISINI
ini kuesioner pola makan nya pake apa ya ?
ReplyDelete