BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang – Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dinyatakan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Tujuan tersebut akan tercapai dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan yang merata serta mengembangkan kesadaran dan perilaku sehat dikalangan masyarakat sendiri (Depkes RI, 2000)
Untuk mewujudkan paradigma sehat, pemerintah menetapkan visi dan misi yang dikenal dengan Indonesia sehat 2010. Visi dan misi ini adalah gambaran tentang Indonesia dimasa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan sehat dan perilaku sehat, terjangkau oleh pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perilaku sehat dalam pembangunan adalah perilaku proaktif untuk mencegah terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit.
Salah satu penyakit yang menjadi ancaman serius dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia adalah penyakit tuberkulosis (TBC). Penyakit ini telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.
Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit tuberkulosis tidak terkendali. Hal ini disebabkan karena banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang (WHO, 1997).
Di Indonesia penyakit tuberkulosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan nomor 1 (satu) dari golongan penyakit infeksi. Kini Indonesia menjadi penyumbang kasus tuberkulosis terbesar ketiga setelah China dan India. Menurut WHO pada peringatan hari tuberkulosis se-Dunia tahun 2003 bahwa penderita tuberkulosis di Indonesia mencapai 581.847 orang, tak sebanyak perkiraan Yayasan Pembangunan Indonesia Sehat yang mencapai 6,7 juta orang (Kompas, 10 Maret 2004).
Di Sulawesi Tenggara dengan jumlah penduduk 1.930.796 jiwa ditemukan 1559 penderita tuberkulosis paru BTA positif dan diperkirakan setiap 100.000 penduduk terdapat 210 penderita baru tuberkulosis paru BTA positif (Depkes Sultra, 2006). Sedangkan di Kabupaten Buton dengan jumlah penduduk 281.681 jiwa ditemukan 289 penderita tuberkulosis paru BTA positif periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008 (data P2 tuberkulosis Dinas Kesehatan Kabupaten Buton). Periode tersebut tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Buton. Khususnya di wilayah kerja Puskesmas Batauga ditemukan 30 penderita tuberkulosis paru BTA positif periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008 dan semua penderita tersebut telah mendapatkan pengobatan paket Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Faktor-faktor yang berpengaruh untuk terjadinya infeksi tuberkulosis adalah kemiskinan, gizi buruk, kurang pengetahuan dan cara hidup yang kurang sehat. Keadaan-keadaan tersebut memungkinkan seseorang akan terjangkiti basil tuberkulosis (Indan Entjang, 1993).
Dari uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Studi Pengetahuan Penderita Tuberkulosis tentang Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008”.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengetahuan penderita tuberkulosis tentang penyakit tuberkulosis paru ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran secara umum pengetahuan penderita tuberkulosis tentang penyakit tuberkulosis paru.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi pengetahuan penderita tuberkulosis yang sedang menjalani program pengobatan tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru.
b. Untuk mengidentifikasi pengetahuan penderita tuberkulosis yang sedang menjalani program pengobatan tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru.
c. Untuk mengidentifikasi pengetahuan penderita tuberkulosis yang sedang menjalani program pengobatan tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru.
d. Untuk mengidentifikasi pengetahuan penderita tuberkulosis yang sedang menjalani program pengobatan tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru.
e. Untuk mengidentifikasi pengetahuan penderita tuberkulosis yang sedang menjalani program pengobatan tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti merupakan pengalaman berharga dalam memperluas wawasan keilmuan khususnya dibidang penelitian.
2. Dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi Puskesmas Batauga dan Dinas Kesehatan Kabupaten Buton dalam meningkatkan penanganan pemberantasan penyakit tuberkulosis paru.
3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan
Pengetahuan merupakan kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Adapun pengalaman itu diperoleh dari diri sendiri maupun orang lain. Pengetahuan itu sendiri diperoleh dari beberapa faktor antara lain adalah pendidikan formal, akan tetapi tidak mutlak pengetahuan juga dapat diperoleh melalui pendidikan non formal (Ancok, 1989).
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan melalui panca indra : penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa raba dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 1997).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Rogers, (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) didalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan, yakni :
Awarenees (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (obyek) terlebih dahulu.
Interest (merasa tertarik), yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus, disini sikap subyek sudah mulai timbul.
Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki stimulus.
Adaption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting) sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahun dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkat yaitu :
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk kedalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, menyatakan, mengidentifikasi dan sebagainya.
Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi riil. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang misalnya dengan menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil. Penelitian dalam menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
Analisis (analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dengan penggunaan kata kerja membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.
Sintesis (syntesis)
Suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru misalnya dapat memecahkan, merencanakan, meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penalaran terhadap materi atau obyek. Penalaran ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Menurut Best, (1989) dan Anderson, (1990) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan terdiri atas 2 (dua) macam ditinjau dari sifat dan cara penerapannya
Pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan mengenai informasi faktual yang pada umumnya bersifat statis normatif dan dapat dijelaskan secara lisan dan verbal. Isi dari pengetahuan ini berupa konsep-konsep dan fakta yang dapat ditularkan kepada orang lain melalui ekspresi lisan atau tulisan. Menurut Evans, (1991) pengetahuan deklaratif berisi konsep dan fakta yang bersifat verbal dan dapat diuraikan dengan kalimat-kalimat statement (pernyataan) maka ia juga disebut stateable concept and fact, yaitu konsep dan fakta yang dapat dinyatakan melalui ekspresi lisan.
Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan yang mendasari kecakapan atau keterampilan perbuatan jasmani yang cenderung bersifat dinamis.
Menurut Best, (1989) mengatakan ditinjau dari sudut informasi dan pengetahuan yang disimpan memori manusia terdiri atas dua macam :
Semantic Memory (memori semantik) yaitu memori khusus yang menyimpan arti-arti atau pengertian-pengertian.
Episode memory (memori episodik) yaitu memori khusus yang menyimpan informasi tentang peristiwa-peristiwa.
Best, (1989) berpendapat bahwa antara item pengetahuan episodik dan item pengetahuan semantik terdapat hubungan yang memungkinkan bergabungnya item memori episodik dan memori semantik.
Pendidikan adalah sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Muhibbin Syah, 2002).
Tardif, (1987) seorang ahli psikologi penidikan mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin banyak memiliki ilmu pengetahuan dan wawasannya semakin luas sehingga proses pengubahan sikap dan tinkah laku akan semakin baik. Reber, (1988) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pola dalam pengambilan sikap dan tindakan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang kecenderungan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya akan semakin besar.
Koos, (1954) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pengetahuannya dan pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui proses alamiah manusia setelah ia mengalami, mengamati, menyaksikan dan mengerjakan sesuatu sejak ia lahir sampai dewasa khususnya melalui pendidikan. Sedangkan menurut teori yang dikemukakan oleh Ancok (1981) bahwa pengetahuan diperoleh bukan saja melalui pendidikan.
Koentjaraningrat, (1977) mengemukakan bahwa meningkatnya tingkat pendidikan seseorang menyebabkan meningkanya kemampuan dalam menyerap pengetahuan. Ngadiarti, (1985) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya.
Beker dan Reinke, (1994) mengatakan bahwa tingkat pendidikan sangat relevan dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sedangkan menurut teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green mengatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor penentu (predisposing factors) bagi perilaku seseorang.
B. Tinjauan Tentang Penyakit Tuberculosis Paru
1. Pengertian
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menular disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru tetapi dapat pula menyerang organ tubuh lainnya.
2. Etiologi
Penyebab tuberkulosis paru adalah kuman micobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman micobacterium tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
3. Patogenesis
a. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelaan di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah terjadinya infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis.
b. Infeksi Sekunder
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya cavitas atau efusi pleura.
4. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tuberkulosis dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sputum BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Sputum BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
5. Manifestasi Klinik
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang umumnya menimbulkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi pada masing-masing penderita mulai dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat akut. Sering tidak ada hubungannya antara lamanya sakit dengan luasnya penyakit. Secara klinis manifestasi tuberkulosis paru dapat timbul beberapa fase :
a. Dimulai dengan fase asimtomatis dengan lesi yang hanya dapat dideteksi secara radiologik.
b. Berkembang menjadi plitisis yang jelas kemudian mengalami stagnasi atau regresi.
c. Eksaserbasi memburuk.
d. Dapat berulang kemudian menjadi menahun.
Tanda dan Gejala :
a. Sistemik : Malaise, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat malam.
Akut : Demam tinggi, seperti flu, menggigil
Milier : Demam akut, sesak napas, sianosis
b. Respiratorik
Batuk-batuk lama dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih, dahak mukoid/mukopurulen, nyeri dada, batuk darah dan gejala-gejala lain yaitu bila ada tanda-tanda penyebaran ke organ-organ lain seperti pleura : nyeri, pleuritik, sesak napas ataupun gejala meningeal yaitu nyeri kepala, kaku kuduk dan lain-lain.
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Kelainan fisik yang mungkin didapatkan antara lain :
a. Tanda-tanda adanya infiltrat luas atau konsolidasi, terdapat fremitus mengeras, perkusi redup, suara napas bronchial dengan atau tanpa ronchi.
b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma mediastinim atau pleura dada asimetris, pergerakan napas yang tertinggal, pergeseran dari batas-batas ketok diafragma dan jantung, suara napas melemah dengan atau tanpa ronki.
c. Tanda-tanda kavitas yang berhubungan dengan bronchus.
d. Sekret disaluran napas : ronki basah/kering.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi umumnya akan memperlihatkan adanya :
a. Anemi terutama bila penyakit telah berjalan menahun.
b. Leukositosis ringan dengan predominasi limposit
c. Laju Endap Darah (LED) meningkat terutama pada fase akut dan umumnya nilai-nilai tersebut kembali normal pada tahap penyembuhan.
c. Pemeriksaan Radiologik.
Karakteristik radiologi yang menunjang diagnosis antara lain :
a. Bayangan lesi radiologik yang terletak di lapangan atas paru.
b. Bayangan yang berawan.
c. adanya kavitas, tunggal atau ganda.
d. adanya kalsifikasi.
e. Kelainan yang bilateral terutama bila terdapat lapangan paru.
f. Bayangan milier.
d. Pemeriksaan Bakteriologik
Ditemukan kuman mycobacterium tuberculosis dalam dahak penderita memastikan diagnosis tuberkulosis paru. Pemeriksaan biakan lebih sensitif daripada sediaan hapus. Pada pemeriksaan pertama sebaiknya dilakukan 3 (tiga) kali pemeriksaan dahak yaitu sewaktu pagi, sewaktu (SPS), uji resistensi harus dilakukan apabila ada dengan resistensi terhadap pengobatan.
7. Diagnosa Banding
Tuberkulosis paru dapat menyerupai hampir semua penyakit paru lainnya seperti bronkhitis, bronkhietasis, pneumoni, abses paru atau tumor paru.
8. Penatalaksanaan
a. Tujuan
1. Menyembuhkan penderita
2. Mencegah kematian
3. Mencegah kekambuhan
4. Menurunkan tingkat penularan.
b. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1) Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakteristik, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB
2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
3) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
4) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
5) Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
c. Prinsip Pengobatan
Obat tuberkulosis diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunih. Apabila paduan obat yang digunakan adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman tuberkulosis akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten).
Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
9. Paduan OAT di Indonesia
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
Kategori I :
a. 2HRZE/4H3R3
b. 2HRZE/4HR
c. 2HRZE/6HE
Kategori II
a. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
b. 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori III
a. 2HRZ/4H3R3
b. 2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia menggunakan paduan OAT :
Kategori I : 2HRZE/4H3R3
Kategori II : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori III : 2HRZ/4H3R3
Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.
1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan rifampisin (R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru tuberkulosis paru BTA positif
b. Penderita tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positif yang “sakit berat”.
c. Penderita tuberkulosis ekstra paru berat.
Tabel 1 : Paduan OAT kategori I
Tahap Pengobatan
Lamanya pengobatan
Dosis per hari/kali
Jumlah hari/kali menelan obat
Tablet Isoniasid @ 300 mg
Kaplet Rifampisin @ 450 mg
Tablet Pirasinamid @ 500 mg
Tablet Etambutol @ 250 mg
Tahap Intensif (dosis harian)
2 bulan
1
1
3
3
60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu)
4 bulan
2
1
…
…
54
2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
Tabel 2 : Paduan OAT kategori II
Tahap
Lamanya pengo-batan
Tablet Isoniasid @
300 mg
Kaplet Rifampisin @ 450 mg
Tablet Pirasinamid @ 500 mg
Etambutol
Strepto-
misin injeksi
Jumlah hari/kali menelan obat
Tablet @
250 mg
Tablet @
500 mg
Tahap intensif (dosis harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
0.75
-
60
30
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu
5 bulan
2
1
---
1
2
---
66
3. Kategori III (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
1. Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
2. Penderita ektsra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang.
Tabel 3 : Paduan OAT kategori III
Tahap pengobatan
Lamanya pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet Pirasinamid
@ 500 mg
Jumlah hari menelan obat
Tahap intensif (dosis harian)
2 bulan
1
1
3
60
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu)
4 bulan
2
1
---
54
10. Pencegahan
a. Yang harus dilakukan agar penderita tuberkulosis paru tidak menularkan penyakitnya ke orang lain :
1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.
2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada 2 minggu pertama pengobatan
3. Tidak meludah di sembarang tempat tetapi di wadah yang berisi air sabun atau lisol kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dengan tanah
4. Menjemur alat tidur secara teratur
5. Membuka jendela pada pagi hari agar rumah mendapat udara bersih, cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis yang tertinggal di dalam rumah mati
b. Tindakan yang harus dilakukan agar tidak tertular tuberkulosis paru :
a. Menjalankan pola hidup sehat yaitu :
a. Meningkatkan daya tahan tubuh antara lain dengan makan makanan bergizi
b. Tidur dan istrahat yang cukup
c. Tidak merokok dan tidak minum yang mengandung alkohol
d. Bayi agar diberi imunisasi BCG
e. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan-ruangan lain
b. Segera periksakan diri ke dokter bila batuk-batuk lebih dari 3 minggu.
BAB III
KERANGKA KONSEP
BAB IV
METODOLOGI PENELITIN
A. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif dengan metode survei.
B. Alur Pikir
Pengetahuan penderita tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru
Tahu/
Tidak Tahu
Pengetahuan penderita tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru
C. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah :
1. Pengetahuan penderita tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru
Secara operasional yang dimaksud dengan variabel ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh penderita tentang penyakit tuberkulosis paru. Kriteria Obyektif adalah penderita dapat menyebutkan atau menjelaskan tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru. Pengertian penyakit tuberkulosis paru dapat diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala ordinal. Dimana skor yang dihasilkan terdiri dari 2 kategori berjenjang yaitu pengetahuan penderita tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru baik atau kurang.
2. Pengetahuan penderita tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru
Secara operasional yang dimaksud dengan variabel ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh penderita tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru. Kriteria Obyektif adalah penderita dapat menyebutkan atau menjelaskan tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru. Penyebab penyakit tuberkulosis paru dapat diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala ordinal. Dimana skor yang dihasilkan terdiri dari 2 kategori berjenjang yaitu pengetahuan penderita tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru baik atau kurang.
3. Pengetahuan penderita tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru
Secara operasional yang dimaksud dengan variabel ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh penderita tentang manifestasi klinik tuberkulosis paru. Kriteria Obyektif adalah penderita dapat menyebutkan atau menjelaskan tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru. Manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru dapat diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala ordinal. Dimana skor yang dihasilkan terdiri dari 2 kategori berjenjang yaitu pengetahuan penderita tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru baik atau kurang.
4. Pengetahuan penderita tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru
Secara operasional yang dimaksud dengan variabel ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh penderita tentang pengobatan tuberkulosis paru. Kriteria Obyektif adalah penderita dapat menyebutkan atau menjelaskan tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru. pengobatan penyakit tuberkulosis paru dapat diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala ordinal. Dimana skor yang dihasilkan terdiri dari 2 kategori berjenjang yaitu pengetahuan penderita tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru baik atau kurang.
5. Pengetahuan penderita tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru
Secara operasional yang dimaksud dengan variabel ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh penderita tentang pencegahan tuberkulosis paru. Kriteria Obyektif adalah penderita dapat menyebutkan atau menjelaskan tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru. pencegahan penyakit tuberkulosis paru dapat diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala ordinal. Dimana skor yang dihasilkan terdiri dari 2 kategori berjenjang yaitu pengetahuan penderita tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru baik atau kurang.
D. Populasi, Sampel dan Sampling
Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah yang diteliti (Nursalam dan Siti Pariani, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita tuberculosis yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton sebanyak 30 orang.
Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam dan Siti Pariani, 2001). Sampel dalam penelitian ini adalah semua penderita tuberkulosis paru yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton sebanyak 30 orang.
Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari suatu populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Untuk mendapatkan sampel peneliti menggunakan metode total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel.
E. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat
Lokasi dalam penelitian ini adalah di Wilayah kerja Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton.
Waktu
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 1 minggu dimulai tanggal 25 sampai dengan 30 Agustus 2008.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner yang dibuat oleh peneliti. Macam kuesioner yang digunakan menggunakan tipe multiple choise yang tersedia 3 (tiga) pilihan jawaban yaitu a, b dan c. Bila responden memilih jawaban yang benar akan mendapat nilai 5 dan bila memilih jawaban yang salah akan mendapat nilai 0.
G. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer. Sebelum mengisi kuesioner responden diminta kesediaannya untuk menjadi responden dengan mengisi formulir pernyataan menjadi responden. Bila subyek setuju menjadi responden maka kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti diberikan kepada responden. Bila responden mengalami hambatan dalam pengisiannya maka peneliti memberikan arahan atau gambaran cara menjawab pertanyaan tanpa memberikan jawaban kepada responden.
H. Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Data yang telah ditentukan selanjutnya diolah secara manual dengan menggunakan kalkulator dan disajikan dalam bentuk tabel.
2. Analisa Data
Pada penelitian ini peneliti memberikan beberapa pertanyaan dengan kuesioner tentang penyakit tuberkulosis paru. Pertanyaan berjumlah 10 pertanyaan yang terdiri dari :
a) Pertanyaan yang berhubungan dengan pengertian penyakit tuberkulosis paru berjumlah 2 (dua) pertanyaan. Bila memilih jawaban yang benar nilainya 5 dan jika memilih jawaban salah nilainya 0, maka jumlah nilai yang benar adalah 10. Pengetahuan baik bila mendapat nilai 5 atau 10 dan pengetahuan kurang bila mendapat nilai 0.
b) Pertanyaan yang berhubungan dengan penyebab penyakit tuberkulosis paru berjumlah 2 (dua) pertanyaan. Bila memilih jawaban yang benar nilainya 5 dan jika memilih jawaban salah nilainya 0, maka jumlah nilai yang benar adalah 10. Pengetahuan baik bila mendapat nilai 5 atau 10 dan pengetahuan kurang bila mendapat nilai 0.
c) Pertanyaan yang berhubungan dengan manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru berjumlah 2 (dua) pertanyaan. Bila memilih jawaban yang benar nilainya 5 dan jika memilih jawaban salah nilainya 0, maka jumlah nilai yang benar adalah 10. Pengetahuan baik bila mendapat nilai 5 atau 10 dan pengetahuan kurang bila mendapat nilai 0.
d) Pertanyaan yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tuberkulosis paru berjumlah 2 (dua) pertanyaan. Bila memilih jawaban yang benar nilainya 5 dan jika memilih jawaban salah nilainya 0, maka jumlah nilai yang benar adalah 10. Pengetahuan baik bila mendapat nilai 5 atau 10 dan pengetahuan kurang bila mendapat nilai 0.
e) Pertanyaan yang berhubungan dengan pencegahan penyakit tuberkulosis paru berjumlah 2 (dua) pertanyaan. Bila memilih jawaban yang benar nilainya 5 dan jika memilih jawaban salah nilainya 0, maka jumlah nilai yang benar adalah 10. Pengetahuan baik bila mendapat nilai 5 atau 10 dan pengetahuan kurang bila mendapat nilai 0.
Dari 10 (sepuluh) pertanyaan tersebut nilai tertinggi adalah 50 dan nilai terendah 0. Pertanyaan pengetahuan ini dikategorikan menjadi 2 (dua) kategori yaitu pengetahuan bila mendapat nilai 26-50 dan pengetahuan kurang bila mendapat nilai 0-25.
I. Masalah Etika (ethical clearance)
Dalam melakukan penelitian ini peneliti mendapat persetujuan dari pembimbing riset dan mendapat rekomendasi dari Akper Kabupaten Buton untuk melakukan penelitian. Kemudian peneliti memohon kepada Kepala Puskesmas Batauga untuk mendapatkan izin. Setelah mendapat persetujuan maka peneliti melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi :
1. Informed Consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan diberikan kepada subyek sebelum riset dilaksanakan. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan riset dilakukan. Bila subyek bersedia diteliti maka lembar persetujuan ditanda tangani dan bila subyek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan subyek peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar kuesioner yang diisi oleh subyek tetapi hanya memberi kode.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh dari subyek.
J. Keterbatasan
Merupakan kelemahan dan hambatan dalam penelitian serta keterbatasan dalam penelitian yang dihadapi peneliti, yakni :
1. Pengumpulan data dengan kuesioner memungkinkan responden menjawab pertanyaan/pernyataan dengan tidak jujur dan tidak mengerti pertanyaan yang dimaksud sehingga hasilnya kurang mewakili secara kualitatif.
2. Kurangnya keahlian yang dimiliki oleh peneliti dalam penelitian, terbatasnya dana dan waktu sehingga penelitian ini hasilnya kurang memuaskan dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil dan pembahasan mengenai pengetahuan penderita tuberkulosis tentang penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008.
Hasil penelitian ini dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu data umum dan data khusus. Data umum menjelaskan tentang gambaran umum tentang lokasi penelitian dan karakteristik responden yang meliputi : umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan tempat mendapat informasi kesehatan. Sedangkan data khusus menjelaskan pengetahuan penderita tentang penyakit tuberkulosis paru yang meliputi pengertian, penyebab, manifestasi klinik, pengobatan dan pencegahan. Data khusus juga ini menjelaskan tentang pengetahuan penderita tentang penyakit tuberkulosis paru. Dari hasil penelitian tersebut selanjutnya dilakukan pembahasan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
A. Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Gambaran umum tempat penelitian
Adapun gambaran umum tentang Puskesmas Batauga :
Puskesmas Batauga terletak di Kelurahan Laompo Kecamatan Batauga Kabupaten Buton dengan wilayah kerja meliputi Desa Lawela, Desa Lawela Selatan, Kelurahan Busoa, Kelurahan Lakambau, Kelurahan Laompo, Kelurahan Masiri, Kelurahan Majapahit, Desa Lampanairi, Desa Bola dan Desa Poogalampa. Sarana Kesehatan yang ada di Puskesmas Batauga adalah 1 buah Puskesmas induk, 3 buah Puskesmas Pembantu, 2 buah Polindes dan 20 posyandu. Puskesmas Batauga merupakan Puskesmas perawatan dan rawat inap, saat ini dalam tahap rehabilitasi. Jumlah tenaga kesehatan pada Puskesmas Batauga sebanyak 37 orang terdiri dari 1 orang dokter umum, S2 Kesmas 1 orang, S1 Kesmas/sederajat 3 orang, D3 Keperawatan 8 orang, D3 Kebidanan 1 orang, D1 Kebidanan 10 orang dan SPK/sederajat 13 orang.
b. Karakteristik responden
Pada bagian ini akan disajikan karakteristik responden dalam bentuk tabel yang terdiri dari :
1). Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007
sampai dengan Juni 2008
No
U m u r (tahun)
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
< 15
15-30
31-45
46-60
> 60
0
8
11
7
4
0
27
37
23
13
Total
30
100
Sumber : Data Primer
2) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007
sampai dengan Juni 2008
No
Jenis Kelamin
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
Laki-Laki
Perempuan
16
14
53
47
Total
30
100
Sumber : Data Primer
3) Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 3
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007
sampai dengan Juni 2008
No
Pendidikan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
1
0
9
3
16
1
3
0
30
10
59
3
Total
30
100
Sumber : Data Primer
4) Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 4
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007
sampai dengan Juni 2008
No
Pekerjaan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
P N S
Wiraswasta
Nelayan
Petani
Buruh
Tidak/Belum Bekerja
Pensiunan
1
2
1
10
5
10
1
3,3
7
3,3
33
17
33
3,3
Total
30
100
Sumber : Data Primer
5) Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan Per Bulan
Tabel 5
Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan Per Bulan di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton
Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Penghasilan (Rp)
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
≤ 250.000
250.000 – 500.000
> 500.000 – 750.000
> 750.000 – 1.000.000
> 1.000.000
25
2
2
0
1
83
7
7
0
3
Total
30
100
Sumber : Data Primer
6) Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Mendapat Informasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Tabel 6
Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Mendapat Informasi Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga
Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Tempat Mendapat Informasi
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
3.
4.
Media Massa
Puskesmas
Tetangga/Teman/Keluarga
Tidak Pernah Mendapat Informasi
3
15
7
5
10
50
23
17
Total
30
100
Sumber : Data Primer
Data Khusus
Pada bagian ini akan disajikan tentang pengetahuan penderita terhadap penyakit tuberkulosis paru yang meliputi pengertian, penyebab, manifestasi klinik, pengobatan dan pencegahan.
Tabel 7
Pengetahuan Responden terhadap Pengertian Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Pengetahuan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
Baik
Kurang
27
3
90
10
Total
30
100
Sumber : Data Primer
Tabel 8
Pengetahuan Responden terhadap Penyebab Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Pengetahuan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
Baik
Kurang
24
6
80
20
Total
30
100
Sumber : Data Primer
Tabel 9
Pengetahuan Responden terhadap Manifestasi Klinik Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Pengetahuan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
Baik
Kurang
25
5
80
20
Total
30
100
Sumber : Data Primer
Tabel 10
Pengetahuan Responden terhadap Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Pengetahuan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
Baik
Kurang
23
7
77
23
Total
30
100
Sumber : Data Primer
Tabel 11
Pengetahuan Responden terhadap Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008
No
Pengetahuan
J u m l a h (n)
Prosentase (%)
1.
2.
Baik
Kurang
20
10
67
33
Total
30
100
Sumber : Data Primer
B. Pembahasan
1. Pengetahuan Penderita tentang Pengertian Penyakit Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh sebagaimana dipaparkan pada tabel 7 menunjukkan bahwa pengetahuan penderita tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru baik. Hal ini dibuktikan dari 30 responden terdapat 27 orang (90%) yang memiliki pengetahuan baik tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru dan hanya 3 orang (10%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru.
2. Pengetahuan Penderita tentang Penyebab Penyakit Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan tabel 8 menggambarkan bahwa pengetahuan penderita tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru baik. Hal ini dibuktikan dari 30 responden terdapat 24 orang (80%) yang memiliki pengetahuan baik tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru dan 6 orang (20%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru.
3. Pengetahuan Penderita tentang Manifestasi Klinik Penyakit Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan tabel 9 menggambarkan bahwa pengetahuan penderita tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru baik. Hal ini dibuktikan dari 30 responden terdapat 25 orang (83%) yang memiliki pengetahuan baik tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru dan 5 orang (17%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru.
4. Pengetahuan Penderita tentang Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan tabel 10 menggambarkan bahwa pengetahuan penderita tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru baik. Hal ini dibuktikan dari 30 responden terdapat 23 orang (77%) yang memiliki pengetahuan baik tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru dan 7 orang (23%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru.
5. Pengetahuan Penderita tentang Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru.
Berdasarkan tabel 11 menggambarkan bahwa pengetahuan penderita tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru baik. Hal ini dibuktikan dari 30 responden terdapat 20 orang (67%) yang memiliki pengetahuan baik tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru dan 10 orang (33%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh sebagaimana dipaparkan pada tabel 7 sampai 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik tentang pengertian, penyebab, manifestasi klinik, pencegahan dan pengobatan penyakit tuberkulosis paru dan hanya sebagian kecil responden memiliki pengetahuan kurang terhadap penyakit tuberkulosis paru.
Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah banyaknya informasi yang diperoleh responden dan salah satunya adalah informasi yang diperoleh melalui tenaga kesehatan tentang penyakit tuberkulosis dan tampak pada tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar yakni 15 orang (50%) responden mendapat informasi tentang penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas.
Di Puskesmas Batauga penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis paru merupakan program rutin yang dilakukan setiap penderita yang datang berobat. Pemberian informasi melalui penyuluhan kesehatan ini merupakan cara yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan penderita tentang penyakit tuberkulosis paru. Selain itu karena faktor banyaknya media cetak dan elektronik yang semakin mudah diperoleh masyarakat akan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat.
Hal tersebut di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ancok (1989) yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh bukan saja dari pendidikan formal tetapi juga melalui proses antara lain melalui media massa, pesan-pesan lisan dan komunikasi interpersonal lain yang justru diadopsi sebagai ilmu pengetahuan. Selain itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soekidjo (1999) bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah melakukan penginderaan melalui panca indra, penglihatan, pendengaran, rasa raba dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang tentang pengertian, penyebab, manifestasi klinik, pencegahan dan pengobatan penyakit tuberkulosis paru hal ini kemungkinan disebabkan oleh kerena faktor pendidikan yang kurang yang dimiliki oleh responden.
Tabel 3 tampak bahwa dari 30 responden terdapat 1 orang (3%) tingkat pendidikannya tidak sekolah, 9 orang (30%) tamat SD dan 3 orang (10%) tamat SMP. Hal ini sesuai dengan teori Bekker dan Reinke (1994) yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan sangat relevan dengan tingkat pengetahuan seseorang.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yang dilakukan mulai tanggal 20 sampai dengan 27 Agustus 2008 di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Tahun 2008 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengetahuan penderita tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat 27 orang (90%) yang memiliki pengetahuan baik tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru dan hanya 3 orang (10%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang pengertian penyakit tuberkulosis paru
2. Pengetahuan penderita tentang penyebab penyakit menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat 24 orang (80%) yang memiliki pengetahuan baik tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru dan 6 orang (20%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang penyebab penyakit tuberkulosis paru
3. Pengetahuan penderita tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat 25 orang (83%) yang memiliki pengetahuan baik tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru dan 5 orang (17%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang manifestasi klinik penyakit tuberkulosis paru
4. Pengetahuan penderita tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat 23 orang (77%) yang memiliki pengetahuan baik tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru dan 7 orang (23%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang pengobatan penyakit tuberkulosis paru
5. Pengetahuan penderita tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat 20 orang (67%) yang memiliki pengetahuan baik tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru dan 10 orang (33%) yang masih memiliki pengetahuan kurang tentang pencegahan penyakit tuberkulosis paru
B. Saran
1. Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan masyarakat senantiasa meningkatkan informasi kesehatan khususnya tentang penyakit tuberkulosis paru baik melalui pamflet, selebaran-selebaran dan penyuluhan kesehatan.
2. Bagi mereka yang menderita penyakit tuberkulosis paru untuk rutin melakukan pengobatan agar penyakit yang dideritanya dapat disembuhkan.
3. Komunikasi dan hubungan interpersonal antara petugas kesehatan khususnya dokter dan perawat perlu ditingkatkan sebagai media transformasi sehingga pengetahuan penderita terhadap penyakit tuberkulosis paru semakin meningkat.
4. Pada penelitian ini jauh dari kesempurnaan sehingga perlu diteliti lebih lanjut.
PENJELASAN KERANGKA KONSEP
Pengetahuan penderita terhadap penyakit TB Paru dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal adalah pendidikan, pengalaman dan sikap
Sedangkan faktor eksternal itu adalah informasi dan lingkungan.
Pengetahuan penderita ini ada 2 kemungkinan yakni TAHU dan TIDAK TAHU terhadap penyakit TB Paru.
TAHU artinya dapat mengetahui dan menyebutkan tentang pengertian, penyebab, manifestasi klinik, pengobatan dan pencegahan penyakit TB Paru.
Bila penderita mengetahui hal tersebut maka penderita kemungkinan akan melakukan pengobatan sehingga penderita dapat sehat.
TIDAK TAHU artinya tidak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penyakit TB Paru sehingga penyakitnya dibiarkan dan tidak melakukan pengobatan. Dengan demikian penyakitnya akan menjadi kronik sehingga dapat menyebabkan kematian.
Penelitian ini hanya 1 variabel yakni mengidentifikasi pengetahuan penderita terhadap penyakit Tuberkulosis paru.
Home » proposal kesehatan
» Proposal kesehatan " Studi Pengetahuan Penderita Tuberkulosis tentang Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008"
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Proposal kesehatan " Studi Pengetahuan Penderita Tuberkulosis tentang Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batauga Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Periode Juli 2007 sampai dengan Juni 2008""
Post a Comment
* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya