proposal kesehatan "hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya"

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan kesehatan semakin hari semakin meningkat.  Ini didorong berbagai perubahan mendasar di masyarakat, baik ekonomi, pendidikan, teknologi dan informasi serta berbagai perubahan lainnya.  Tidak terkecuali perubahan tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas layanan kesehatan, termasuk layanan keperawatan.  Salah satu layanan keperawatan yang memerlukan peningkatan kualitas layanan adalah peningkatan kualitas asuhan keperawatan terhadap bayi dengan resiko tinggi, contohnya bayi dengan hipotermi. Kualitas dari asuhan keperawatan itu sendiri salah satunya bisa dilihat dari Intervensi yang merupakan petunjuk untuk penanganan, aktivitas dan tindakan yang membantu pasien mencapai hasil yang diharapkan, serta merupakan unsur pengetahuan keperawatan yang utama (Doenges at al, 1995). Dalam penerapannya perawat diharapkan dapat membuat intervensi tersebut secara benar. Akan tetapi berdasarkan pengamatan di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada umumnya pembuatan intervensi keperawatan masih belum maksimal. Pendapat Denise Campbell (1998) seperti dikutip M.H. Klauss bahwa masih kurang tenaga yang ahli dan berpengalaman dalam perawatan bayi dengan resiko tinggi,  sedangkan  menurut Nelson (1990) bahwa arti bayi resiko tinggi artinya bayi yang mesti mendapat pengawasan dan perawatan yang ketat dari tenaga kesehatan yang berpengalaman dan berkualitas tinggi.
Komalasari,K. (2002) mengemukakan bahwa di Indonesia  pada periode 1997–2002 penurunan angka kematian neonatal yakni kematian bayi umur kurang dari satu bulan masih rendah yaitu dari 28,8 per 1000 kelahiran hidup menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup. Di Jakarta setiap jamnya sedikitnya 8 bayi berumur kurang dari seminggu meninggal dunia. Sedangkan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebagai rumah sakit rujukan di Jawa Timur, angka kematian perinatal lebih tinggi disebabkan menerima bayi-bayi dengan kondisi atau cara merujuk yang berbeda-beda dari setiap daerah.  Dari survey ini dinyatakan bahwa kematian utama bayi adalah karena diare, ISPA, tetanus dan sebab-sebab perinatal termasuk bayi resiko tinggi.  Sedangkan hipotermi menduduki urutan kedua penyebab kematian pada Bayi Baru Lahir di RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 1999-2000. (Indarso, F, 2001).
Kehidupan Bayi Baru Lahir yang paling kritis adalah saat mengalami masa transisi dari kehidupan intrauterin ke kehidupan extrauterin yang berubah secara mendadak. Oleh karena itu pertolongan cara-cara mengatasi masalah transisi ini sangat penting bagi tenaga kesehatan. Untuk dapat mengambil sikap sesuai dengan peran perawat dalam memberikan pertolongan bagi bayi resiko tinggi perlu adanya pengetahuan sebelumnya tentang intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi. Begitu juga menolong bayi resiko tinggi dengan hipotermi, perlu pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berkualitas agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan cepat pada bayi. Apabila 3 hal tersebut tidak terpenuhi, maka bisa timbul “Malpractice-Negligence”, yang bisa mengakibatkan kecacatan dan bahkan kematian pada bayi yang mana bisa menimbulkan efek hukum bagi perawat. Oleh sebab itu pengetahuan, sikap dan keterampilan perawat yang berkualitas diperlukan baik dalam pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi asuhan keperawatan. (Effendy, N, 1995). Dengan intervensi yang baik maka angka kejadian kematian bayi baru lahir dengan resiko tinggi dapat dikurangi.
 Dari pemikiran dan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan studi deskriptif analitik hubungan  pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan bayi resiko tinggi hipotermi  di ruang  Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.2    Perumusan Masalah
1.2.1       Pernyataan Masalah
Dalam praktek keperawatan profesional yang dilakukan di rumah sakit ternyata  masih banyak berbagai keluhan akan kurangnya kualitas layanan keperawatan  termasuk  kualitas tenaga perawatan dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi yang masih belum optimal. Intervensi keperawatan yang baik akan menghasilkan asuhan keperawatan yang berkualitas hal ini dapat diwujudkan jika perawat mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik dalam intervensi keperawatan. Sehingga dalam hal ini dapat mempengaruhi citra perawat dan juga citra suatu rumah sakit, bahkan dapat mempengaruhi citra layanan kesehatan secara umum.


1.2.2     Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut :
1)     Bagaimanakah pengetahuan perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya ?
2)    Bagaimanakah sikap perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya ?
3)    Adakah hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di Ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya ?

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mempelajari hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di ruang  Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.3.2    Tujuan khusus
1)    Untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2)     Untuk mengidentifikasi sikap perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3)    Menganalisa hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1    Bagi rumah sakit
1)    Mendorong peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan khususnya pengetahuan dan sikap  perawat dalam intervensi keperawatan bayi resiko tinggi hipotermi.
2)    Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi perawat di ruang Neonatologi terhadap bayi hipotermi.
3)    Untuk meningkatkan pendapatan rumah sakit pada akhirnya karena dengan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan dapat meningkatkan kepuasan pasien yang pada akhirnya pasien tetap loyal terhadap rumah sakit yang bersangkutan dan tidak berpindah ke tempat pelayanan jasa yang lain.

1.4.2    Bagi profesi keperawatan
1)    Menambah pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas personal perawat sebagai perawat pelaksana bayi resiko tinggi hipotermi.
2)    Dapat memberi gambaran atau informasi bagi peneliti berikutnya.

1.4.3    Bagi pasien
1)    Agar dapat menerima pelayanan keperawatan yang lebih berkualitas khususnya dalam asuhan keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi.
2)    Agar  lebih aman, nyaman, puas dan betah pada suatu rumah sakit yang akan membantu terhadap penyembuhan pasien terhadap sakitnya.

1.5    Relevansi
Perawat harus menyadari bahwa pengetahuan, sikap dan ketrampilan adalah elemen penting dari asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat. Sehingga pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berkualitas dalam praktik keperawatan profesional sangat berpengaruh atau membantu dalam proses pemberian asuhan keperawatan termasuk asuhan keperawatan bagi bayi resiko tinggi, sehingga bayi resiko tinggi dalam hal ini bayi hipotermi dapat terhindar dari akibat-akibat buruk asuhan keperawatan yang jelek. Askep yang jelek terhadap bayi akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi, padahal bayi-bayi sekarang adalah calon-calon generasi penerus bangsa dimasa akan datang.  Hal ini berarti pula bahwa asuhan keperawatan berpengaruh besar terhadap peningkatan sumber daya manusia.  Itu menjadi sebab mengapa masalah bayi resiko tinggi masuk dalam pengawasan Sistem Kesehatan Nasional (SKN).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan pustaka ini akan diuraikan konsep-konsep teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, terutama yang berhubungan dengan variabel penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai dasar berpijak dalam melakukan penelitian. Pada bab ini akan diuraikan tentang 1) konsep pengetahuan yang terdiri dari (1) definisi pengetahuan, (2) tingkatan pengetahuan, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, 2) konsep sikap, yang terdiri dari          (1)  komponen sikap, (2) tingkatan sikap, (3) stuktur dan pembentukan sikap,      3) konsep bayi hipotermi, terdiri dari (1) pengertian, (2) etiologi, (3) mekanisme hilangnya panas pada bayi baru lahir, (4) akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hipotermi, (5) pencegahan dan penanganan bayi hipotermi, 4) Hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan.

2.1     Pengetahuan
2.1.1    Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu bangunan statik yang berisi fakta-fakta, dibangun secara bertahap, langkah demi langkah dan mencakup tentang ide bahwa pengetahuan merupakan sebuah cara pandang terhadap sesuatu, sebuah perspektif, yang belum tentu benar tetapi cukup baik, sampai ditemukan sesuatu yang cukup baik.(Kate dan Barbara, 1992).
Pengetahuan tentang ilmu keperawatan sangat diperlukan agar pelayanan keperawatan yang akan diberikan pada klien mempunyai tujuan jelas dan efektif. Pengetahuan tersebut memberikan dasar konseptual dan rasional terhadap metode pendekatan yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan keperawatan yang spesifik dan tepat.(Dorothy E. Johnson,1997:223).
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.  (Notoatmodjo, S, 1997).

2.1.2    Tingkatan Pengetahuan
Selanjutnya menurut Notoatmodjo (1995), pengetahuan mempunyai 6 tingkatan :
1).    Tahu
Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2).     Comprehension
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, terhadap obyek yang dipelajari.

3).     Aplikasi
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum–hukum, rumus, metode, prinsip dalam konteks atau situasi lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan–perhitungan penelitian, dapat menggunakan prinsip–prinsip sekitar pemecahan masalah di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4)    Analisis
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek dalam komponen–komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5).    Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian–bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi–formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan–rumusan yang telah ada.

6).    Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian– penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan   kriteria- kriteria yang telah ada.
Pengetahuan tentang ilmu keperawatan sangat diperlukan agar pelayanan keperawatan yang akan diberikan pada klien mempunyai tujuan jelas dan efektif. Pengetahuan tersebut memberikan dasar konseptual dan rasional terhadap metode pendekatan yang dipilih untuk mencapai tujuan–tujuan keperawatan yang spesifik dan tepat. (Dorothy E. Johnson,1997:223).

2.1.3    Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan :
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yakni :
1).     Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup .(Notoatmodjo, 1993:2). Pendidikan mempengaruhi proses belajar, menurut I.B. Mantra (1994 : 2) makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan adanya seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan bukan berarti seorang pendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula. Karena peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi di pendidikan nonformal juga dapat diperoleh. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui, maka menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut. (Ancok, 1985).

2).    Pengalaman
Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan. (Jones dan Beck, 1996).

3).    Umur
Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup :
(1)    Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
(2)    Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya usia. (Malcolm, H dan Steve, H. 1995 : 186).

2.2    Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek (Allport, 1935) seperti dikutip Notoatmodjo  Beberapa definisi lain tentang sikap ini dapat dikutipkan sebagai  berikut :
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek  adalah  perasaan  mendukung  atau  memihak maupun perasaan  tidak  mendukung atau tidak memihak  pada obyek tersebut. (Berkowitz, 1932) dikutip Notoatmodjo.
Sikap adalah afeksi untuk atau melawan suatu obyek psikologis     .(Thustone, 1931) dikutip Notoatmodjo.
New Comb (1978:69) dikutip Widayatun T.R. menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka.

2.2.1    Komponen Sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) dikutip Notoatmodjo menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu :
-    Kepercayaan ( keyakinan ), ide dan konsep terhadap suatu obyek.
-    Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek.
-    Kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen itu secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

2.2.2    Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
1)    Menerima
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau menerima dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap intervensi keperawatan dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah–ceramah tentang intervensi keperawatan.

2)    Merespon
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3)    Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah  adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang klien mengajak klien lain untuk mendiskusikan masalah intervensi keperawatan.

4)    Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.


2.2.3    Struktur Dan Pembentukan Sikap
1)    Struktur Sikap
Struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. (Azwar, 1995).
Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu sudah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu. Tentu saja kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurang atau tidak adanya informasi yang benar mengenai obyek yang dihadapi.
Komponen afeksi merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional subyektif terhadap suatu obyek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada umumnya reaksi emosional yang merupakan komponen afeksi ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi obyek termaksud.
Komponen kognitif merupakan aspek kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi prilaku. Maksudnya, bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Karena itu, adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendensi prilaku terhadap obyek. Pengertian kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen afektif meliputi pula bentuk–bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh seseorang. Memang kemudian masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa kecenderungan berperilaku itu akan benar–benar di tampakkan dalam bentuk perilaku yang sesuai apabila individu berada dalam situasi yang termaksud.

2)    Pembentukan Sikap
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. (Azwar, 1995). Berikut ini akan diuraikan peranan masing – masing faktor tersebut dalam ikut membentuk sikap manusia.
(1)        Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif atau negatif, akan tergantung pada berbagai faktor.
(2)  Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen yang ikut mempengaruhi sikap. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konfromis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
(3)      Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Seseorang memiliki pola sikap dan prilaku tertentu dikarenakan mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut.
(4)      Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain–lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan–pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan berfikir baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Apabila cukup kuat, akan memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

(5)      Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman tentang baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran–ajarannya.
Hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku yang dikemukakan oleh  Djamaludin Ancok (1985: 1) adalah sebagai berikut : adanya pengetahuan tentang sesuatu hal dan adanya pengetahuan terhadap manfaat sesuatu hal menyebabkan orang mempunyai sikap positif atau negatif terhadap hal tersebut. Sikap positif akan menimbulkan keinginan untuk berbuat. Perbuatan yang sudah dilaksanakan disebut perilaku. Kalau seseorang tidak mengetahui sesuatu hal dengan jelas maka sulit bagi seseorang tersebut untuk menentukan sikap  dalam mewujudkannya dalam suatu perbuatan.
Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan suatu model yang ditulis oleh Djamaludin Ancok (1985: 3) menggambarkan hubungan antara pengetahuan, sikap, niat, dan perilaku seperti yang digambarkan dalam skema sebagai berikut ;
Model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)    Keyakinan akan akibat perilaku X adalah komponen pengetahuan yang berisikan aspek pengetahuan  tentang X. Sikap terhadap perilaku X adalah sikap yang dibentuk tergantung pada segi positif atau negatif dari pengetahuan. Makin banyak segi positif dari komponen pengetahuan dan makin penting komponen itu akan menimbulkan sikap yang makin positif atau sebaliknya.
2)    Keyakinan normative akan akibat perilaku X adalah komponen pengetahuan berbeda dengan komponen-komponen pengetahuan pada keyakinan akan akibat perilaku X. Komponen pengetahuan ini adalah komponen pengetahuan tentang sesuatu yang merupakan pandangan orang-orang berpengaruh terhadap kehidupan orang lain. Norma subyektif tentang perilaku X adalah keputusan yang di buat oleh seseorang setelah mempertimbangkan pandangan orang-orang yang berpengaruh tersebut. Seseorang akan terpengaruh atau tidak sangat tergantung pada kekuatan kepribadian dari orang-orang yang bersangkutan dalam menghadapi pengaruh orang lain.
3)    Niat untuk melakukan perilaku X adalah niat yang timbul sebagai hasil interaksi antar kedua komponen tersebut di atas, yaitu sikap terhadap perilaku X dan norma subyektif tentang perilaku X.
4)    Perilaku X adalah perbuatan nyata dalam kegiatan.
Lawrance W. Green (1980) mengemukakan model analisis prilaku yang ditulis oleh Notoatmodjo (1993 : 102 )  sebagai berikut :
B = f (PF, EF, RF ), di mana  :
B = Behavior
PF = Predisposing factor
EF = Enabling factor
RF = Reinforcing factor
Artinya perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh 3 faktor tersebut yaitu :
1.    Faktor-faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan, sikap   kepercayaan,  keyakinan, nilai-nilai dari seseorang.
2.    Faktor-faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik yaitu tersedianya atau tidak tersedianya fasiIitas yang dibutuhkan.
3.    Faktor-faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku dari petugas- petugas lain.

3)    Sikap Profesional yang Harus Dimiliki Perawat
Menurut P.J.M Stevens, dkk (1999) sikap profesional perawat yang harus dimiliki yaitu sikap yang sesuai dengan ciri-ciri profesi perawat.  Dalam hal ini terdiri dari :
a)    Keterlibatan
Bahwa perawat harus ikut berperan serta dalam memberikan pelayanan kesehatan pada klien.   Perawat harus terlibat baik langsung maupun tidak langsung sesuai dengan batas-batas kewenangannya,  untuk terlibat maka perawat perlu pengetahuan dan keterampilan yang memadai.

b)    Respek
Artinya perawat harus menghormati klien sebagai manusia yang mempunyai hak-hak asasi yang diberikan Tuhan.  Tidak perduli status klien, klien harus mendapat perawatan yang layak dan sama.  Karena yang terpenting disini klien adalah seorang manusia, yang memerlukan perawatan dan mempunyai hak untuk memperoleh perawatan sebaik mungkin.
c)     Empati
Ikut merasakan atau mengalami apa yang orang lain alami.  Atau diartikan sementara menjadi orang lain dimana kita melihat masalah dari sudut pandang orang lain.  Hal ini penting untuk menunjukkan kepada klien bahwa kita memahami apa yang klien rasakan  dan alami serta apa yang dibutuhkan oleh klien sehingga timbul rasa percaya klien akan asuhan keperawatan yang perawat berikan.
    d) Kesungguhan
Keterlibatan, respek yang kita berikan serta empati kita harus dilandasi kesungguhan, bukan sesuatu yang terpaksa atau menjadi suatu beban.  Kesungguhan melambangkan keseimbangan psikologis perawat yang berarti tidak ada konflik yang mengganggu peran perawat dalam melaksanakan tugasnya.
    Sedangkan menurut Gunarsa, S.D (1986) bahwa sikap perawat yang penting dan utama pada bayi adalah sikap penuh kasih sayang terhadap bayi yang dirawat.                                                                                                                              2.3    Konsep Bayi Hipotermi
2.3.1    Pengertian
Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.  Adapun suhu normal bayi adalah 36,5-37,5 °C. Suhu normal pada neonatus 36,5-37,5°C (suhu ketiak).  Gejala awal hipotermi apabila suhu <36°C atau kedua kaki & tangan teraba dingin.  Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36°C).  Disebut hipotermi berat bila suhu <32°C, diperlukan termometer ukuran rendah (low reading thermometer) yang dapat mengukur sampai 25°C. (Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo, 2001). Disamping sebagai suatu gejala,  hipotermi merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian. (Indarso, F, 2001).  Sedangkan menurut Sandra M.T. (1997) bahwa hipotermi yaitu kondisi dimana suhu inti tubuh turun sampai dibawah 35°C.

2.3.2    Etiologi
Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :
1)    Jaringan lemak subkutan tipis.
2)    Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.
3)    Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.
4)    BBL (Bayi Baru Lahir) tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan. (Indarso, F, 2001).
5)    Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi mengalami hipotermi. ( Klaus, M.H et al, 1998).
2.3.3    Mekanisme hilangnya panas pada BBL
Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu dengan :
1)    Radiasi yaitu panas yang hilang dari obyek yang hangat (bayi) ke obyek yang dingin.
2)    Konduksi yaitu hilangnya panas langsung dari obyek yang panas ke obyek yang dingin.
3)    Konveksi yaitu hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya.
4)    Evaporasi yaitu hilangnya panas akibat evaporasi air dari kulit tubuh bayi (misal cairan amnion pada BBL). (Indarso, F, 2001).

2.3.4    Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hipotermi
Akibat yang bisa ditimbulkan oleh hipotermi yaitu :
1)    Hipoglikemi
2)    Asidosis metabolik, karena vasokonstrtiksi perifer dengan metabolisme anaerob.
3)    Kebutuhan oksigen yang meningkat.
4)    Metabolisme meningkat sehingga pertumbuhan terganggu.
5)    Gangguan pembekuan sehingga mengakibatkan perdarahan pulmonal yang menyertai hipotermi berat.
6)    Shock.
7)    Apnea.
8)    Perdarahan Intra Ventricular. (Indarso, F, 2001).

2.3.5    Pencegahan  dan Penanganan Hipotermi
Pemberian panas yang mendadak, berbahaya karena dapat terjadi apnea sehingga direkomendasikan penghangatan 0,5-1°C tiap jam (pada bayi < 1000 gram penghangatan maksimal 0,6 °C). (Indarso, F, 2001).
1)     Alat-alat
(1)    Inkubator
Untuk bayi < 1000 gram, sebaiknya diletakkan dalam inkubator.  Bayi-bayi tersebut dapat dikeluarkan dari inkubator apabila tubuhnya dapat tahan terhadap suhu lingkungan 30°C.
(2)  Radiant Warner
    Adalah alat yang digunakan untuk bayi yang belum stabil atau untuk tindakan-tindakan.  Dapat menggunakan servo controle (dengan menggunakan probe untuk kulit) atau non servo controle (dengan mengatur suhu yang dibutuhkan secara manual).

2)     Pengelolaan
Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa pengelolaan bayi hipotermi :
(1)    Bayi cukup bulan
-    Letakkan BBL pada Radiant Warner.
-    Keringkan untuk menghilangkan panas melalui evaporasi.
-    Tutup kepala.
-    Bungkus tubuh segera.
-    Bila stabil,  dapat segera rawat gabung sedini mungkin setelah lahir bayi dapat disusukan.
(2)    Bayi sakit
-    Seperti prosedur di atas.
-    Tetap letakkan pada radiant warmer sampai stabil.
a.    Bayi kurang bulan (prematur)
-    Seperti prosedur di atas.
-    Masukkan ke inkubator dengan servo controle atau radiant warner dengan servo controle.
(3)    Bayi yang sangat kecil
-    Dengan radiant warner yang diatur dimana suhu kulit 36,5 °C.
­    Tutup kepala.
­    Kelembaban 40-50%.
­    Dapat diberi plastik pada radiant warner.
­    Dengan servo controle suhu kulit abdomen 36, 5°C.
­    Dengan dinding double.
-     Kelembaban 40-50% atau lebih (bila kelembaban sangat tinggi, dapat dipakai sebagai sumber infeksi dan kehilangan panas berlebihan).
­    Bila temperatur sulit dipertahankan, kelembaban dinaikkan.
­    Temperatur lingkungan yang dibutuhkan sesuai umur dan berat bayi.
asmanurs3.blogspot.com
3)     Mempertahankan Suhu Tubuh Untuk Mencegah Hipotermi
Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa untuk mempertahankan suhu tubuh bayi dalam mencegah hipotermi adalah :
(1)    Mengeringkan bayi segera setelah lahir
Cara ini merupakan salah satu dari 7 rantai hangat ;
a.    Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering dan bersih.
b.    Mengeringkan tubuh bayi yang baru lahir/ air ketuban segera setelah lahir dengan handuk yang kering dan bersih.
c.    Menjaga bayi hangat dengan cara mendekap bayi di dada ibu dengan keduanya diselimuti (Metode Kangguru).
d.    Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat  merangsang  pooting reflex dan bayi memperoleh kalori dengan :
-    Menyusui bayi.
-    Pada bayi kurang bulan yang belum bisa menetek ASI diberikan dengan sendok atau pipet.
-    Selama memberikan ASI bayi dalam dekapan ibu agar tetap hangat.
e.    Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu rujukan.
f.      Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.
g.    Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.
(2)    Menunda memandikan bayi lahir sampai suhu tubuh normal
Untuk mencegah terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan penolong persalinan harus menunda memandikan bayi.
a.    Pada bayi lahir sehat yaitu cukup bulan, berat < 2500 gram, langsung menangis kuat, memandikan bayi ditunda 24 jam setelah kelahiran.  Pada saat memandikan bayi, gunakan air hangat.
b.    Pada bayi lahir dengan resiko, keadaan umum bayi lemah atau bayi dengan berat lahir 2000 gram sebaiknya jangan dimandikan.  Tunda beberapa hari sampai keadaan umum membaik yaitu bila suhu tubuh stabil, bayi sudah lebih kuat dan dapat menghisap ASI dengan baik.

4)  Menangani Hipotermi
(1)    Bayi yang mengalami hipotermi biasanya mudah sekali meninggal.  Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam inkubator atau melalui penyinaran lampu.
(2)    Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan setiap orang ialah metode dekap, yaitu bayi diletakkan telungkup dalam dekapan ibunya dan keduanya diselimuti agar bayi senantiasa hangat.
(3)    Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika terlebih dahulu yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu.  Lakukan berulangkali sampai tubuh bayi hangat.  Tidak boleh memakai buli-buli panas, bahaya luka bakar.
(4)    Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia sehingga bayi harus diberi ASI sedikit-sedikit dan sesering mungkin.  Bila bayi tidak dapat menghisap beri infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.

2.4    Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Intervensi Keperawatan
Menurut Doengoes, dkk (1995) bahwa untuk menggunakan proses keperawatan dimana didalamnya terdapat intervensi keperawatan secara efektif, perlu beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki perawat dan harus dapat menerapkannya.  Hal yang paling penting adalah pengetahuan tentang ilmu dan teori yang menyeluruh, tidak hanya yang dapat diterapkan pada keperawatan, tetapi juga dapat diterapkan pada disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan kedokteran dan psikologi.  Kreativitas diperlukan dalam aplikasi ilmu keperawatan dan juga kemampuan beradaptasi dalam menangani perubahan dan kejadian yang tidak diharapkan.  Sehingga diperlukan intelegensia, keterampilan interpersonal yang berkembang dengan baik, dan keterampilan teknik yang kompeten yang merupakan hal yang essensial.
Sedangkan menurut Effendi Nasrul (1995) bahwa dalam melaksanakan proses asuhan keperawatan dimana didalamnya terdapat intervensi keperawatan  perawat harus memiliki kemampuan :
1)    Kecakapan intelektual (knowledge).
2)    Keterampilan dalam berhubungan antar manusia (komunikasi dan sikap)
3)   Keterampilan teknis (skill)

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
 DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1    Kerangka Konseptual
asmanurs3.blogspot.com
Dari bagan tersebut di atas menunjukkan bahwa perawat dalam menjalankan tugas harus memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang baik  agar dapat memberikan asuhan keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi dengan  baik. Proses asuhan keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi yang spesifik. Oleh sebab itu pengetahuan, sikap dan keterampilan perawat dapat menghasilkan kualitas baik, cukup dan kurang dalam memberikan asuhan keperawatan pada bayi resiko tinggi hipotermi dan keberhasilan dari asuhan keperawatan ini dapat menentukan kelangsungan hidup bayi resiko tinggi  hipotermi.

3.2    Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan bayi resiko tinggi hipotermi (H1).

link download disini

0 Response to "proposal kesehatan "hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam intervensi keperawatan bayi resiko tinggi hipotermi di ruang Neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya""

Post a Comment

* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya