BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan
pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional
adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa
peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap
manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk
mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai
upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun
berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan
pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan
kesehatan.
Untuk dapat
mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah
satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2007
(Anonim, 2008).
World Health
Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000
kelahiran hidup adalah 15% - 20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut
WHO ± 13 juta anak balita
di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian
besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia
merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam
Asrun, 2006).
Penyakit
ISPA masih merupakan penyakit yang mengakibatkan angka kematian yang cukup
tinggi pada balita. Penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia
diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali
pertahun. Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15% - 30%
kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan
oleh ISPA. Dalam satu tahun angka kejadian ISPA yaitu 3 kali populasi balita ( 300% kali populasi
balita) yang terbagi atas 270% ISPA ringan, 10% ISPA yang tergolong penyakit
infeksi telinga dan tenggorokan, 14% ISPA sedang dan 6% ISPA berat. (Depkes RI,
Direktorat Jenderal PPM dan PLP, 2005)
Di Indonesia,
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab
kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada
daftar 10 penyakit. Survei mortalitas
yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2008 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari
seluruh kematian balita. (Anonim, 2008)
Penemuan
penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006 hingga 2008, berturut-turut adalah 74.278 kasus (36,26 %),
62.126 kasus (31,45%), dan 72.537 kasus (35,94%) dari
2.128.213 balita. (Profil Kesehatan
Sultra)
Di wilayah Kabupaten Buton angka kejadian ISPA tahun 2008 adalah 2.131
kasus (33,84 %) dan menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbesar di
seluruh Puskesmas Wilayah Kabupaten Buton. Khususnya di wilayah kerja Puskesmas
Wakaokoli Kecamatan Pasarwajo menurut data tahun 2009 jumlah balita yang
terkena ISPA adalah 557 balita, pada Periode Januari – Juni 2010 jumlah balita
yang terkena ISPA adalah 271 balita dan ISPA menduduki peringkat pertama dari
10 kasus tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Wakaokili Kecamatan Pasarwajo
Kabupaten Buton.
Berdasarkan
uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka
kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi. Diperkirakan kesakitan akibat
penyakit ISPA berhubungan erat dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang masih
rendah khususnya pengetahuan ibu-ibu yang memiliki balita. Hal inilah yang
mendasari peneliti untuk mengadakan penelitian tentang ” Pengaruh
Pengetahuan Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Wakaokili Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Tahun 2010 “.
B. Rumusan Masalah
1.
Pernyataan Masalah
Penyakit ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran
pernapasan akut, penyakit ini sering ditemukan di masyarakat dan telah lama
dikenal di Indonesia
dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada balita di Indonesia
sehingga penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Diperkirakan kesakitan penyakit ISPA
berhubungan erat dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah khususnya
pengetahuan ibu-ibu yang memiliki balita. Dari pernyataan ini maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
“ Adakah pengaruh
pengetahuan ibu terhadap pencegahan penyakit ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Wakaokili (Desa Wakaokili, Desa Waangu-angu, Desa Hendea, dan Desa
Sandang Pangan) ? “
2.
Pertanyaan Masalah
1.
Bagaimanakah tingkat
pengetahuan ibu terhadap penyakit ISPA pada balita ?
2.
Bagaimanakah tingkat pencegahan
penyakit ISPA pada balita yang dilakukan oleh ibu ?
3.
Adakah pengaruh pengetahuan ibu
terhadap pencegahan penyakit ISPA pada balita ?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujaun Umum
Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pengetahuan
ibu terhadap pencegahan penyakit ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Wakaokili (Desa Wakaokili,
Desa Waangu-angu, Desa Hendea, dan Desa Sandang Pangan) Kecamatan Pasarwajo
Kabupaten Buton tahun 2010.
2.
Tujuan Khusus
1.
Untuk mengukur tingkat
pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA pada balita.
2.
Untuk mengukur tingkat
pencegahan penyakit ISPA pada balita yang dilakukan oleh ibu.
3.
Untuk menentukan pengaruh
pengetahuan ibu terhadap pencegahan penyakit ISPA pada balita.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah
khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Buton dan Puskesmas dalam penentuan
arah kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping
itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian
selanjutnya.
3. Bagi peneliti merupakan suatu pengalaman
yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah
wawasan pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang
Pengetahuan
Menurut fillosof Inggris Francas
Bacon 1561-1623 sudah menyadari aspek pentingnya ilmu pengetahuan dengan
penekanan bahwa “Knowledge Is Power”
maksudnya pengetahuan adalah kekuasaan dalam hal ini ilmu dan teknologi
dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua kesulitan yang mengganggu.
(Bartens, 2002)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu
yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap obyek
tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior).
Pengetahuan/kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Karena dari pengetahuan dan penelitian nyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langsung dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. (Sunaryo, 2004)
Pengetahuan
adalah merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah melakukan penginderaan
melalui panca indera, penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa raba dan
sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh mata dan telinga. (Notoatmodjo,
2002)
Penelitian
Rogers (1974) dikutip dari Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum
orang mengadopsi sebuah prilaku baru dalam diri orang itu terjadi proses yang
berurutan, yakni :
a.
Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b.
Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek
tersebut. Disini sikap objek sudah mulai timbul.
c.
Evaluation (manimbang-manimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya.
d.
Trial (mencoba), dimana subyek sudah mulai mencoba
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e.
Adoption (adopsi), dimana subyek telah berprilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun
demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers (1974) dikutip dari Notoatmodjo
(2003), menyimpulkan bahwa perubahan prilaku tidak selalu melewati tahap-tahap
diatas. Apabila penerimaan prilaku baru atau adopsi prilaku melalui proses
seperti ini dimana didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka prilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long
lasting), sebaliknya apabila prilaku tidak didasari oleh pengetahuan,
kesadaran akan berlangsung tidak lama.
Menurut
Best 1989 dan Anderson 1990 dikutip dari Muhibbin Syah (2002), mengatakan ilmu
pengetahuan terdiri atas dua macam ditinjau dari sifat dan cara penerapannya,
yakni declarative knowledge dan procedural knowledge. Declarative knowledge lazim juga disebut
propositional knowledge.
Pengetahuan
declaratif atau pengetahuan propositional ialah pengetahuan mengenai
informasi faktual yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan dapat
dijelaskan secara lisan/verbal. Isi pengetahuan ini berupa konsep-konsep dan
fakta-fakta yang dapat ditularkan kepada orang lain melalui ekspresi tulisan
atau lisan.
Menurut Evans
(1991) dikutip dari Muhibbin Syah, 2002), pengetahuan deklaratif berisi konsep
dan fakta yang bersifat verbal dan dapat diuraikan dengan kalimat-kalimat statement (pernyataan) maka ia juga
disebut stateable concept and fact,
yaitu konsep dan fakta yang dapat dinyatakan melalui ekspresi lisan.
Ditinjau
dari sudut jenis informasi dan pengetahuan yang disimpan memori manusia itu
terdiri atas dua macam :
1.
Semantic Memory (memori semantik) yaitu memori khusus yang
menyimpan arti-arti atau
pengertian-pengertian.
2.
Episodic Memory (memori episodik) yaitu
memori khusus yang menyimpan informasi tentang peristiwa-peristiwa.
Menurut Bloom dikutip dari
Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan bagian dari domain kognitif yaitu
bagaimana terjadinya proses menjadi tahu, yang terdiri dari 6 tingkat, yaitu:
1.
Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai
mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang
dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu ”tahu” ini adalah
merupakan tingkat pengetahuan yang lebih rendah.
2.
Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3.
Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi yang sebenarnya.
4.
Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu
kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen tetapi
masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama
lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja,
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5.
Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian-bagian dalm suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis merupakan
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada.
6.
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan
kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang telah ada.
Koos (1954)
dikutip dari Notoatmodjo (2002) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin tinggi pengetahuannya dan pengetahuan tersebut
dapat diperoleh melalui proses alamiah manusia setelah ia mengalami,
menyaksikan, mengamati dan mengerjakan sejak ia lahir sampai ia dewasa
khususnya pendidikan. Hal tersebut bertentangan dengan teori yang dikemukakan
oleh Ancok (1989) dikutip dari Muhibbin Syah (2002), bahwa pengetahuan
diperoleh bukan saja dari pendidikan formal.
Koendjaraningrat
(1977) dikutip dari Muhibbin Syah (2002), mengemukakan bahwa meningkatnya
tingkat pendidikan seseorang menyebabkan meningkatnya kemampuan dalam menyerap
pengetahuan. Hal ini didukung Ngadianti (1985)
dikutip dari Muhibbin Syah (2002), yang mengemukakan bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya.
Pengetahuan
merupakan kumpulan kesan dan pengalaman yang diperoleh dari diri sendiri yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah pendidikan formal, dimana
seseorang diharapkan dengan pendidikan tinggi akan semakin luas pengetahuannya.
Akan tetapi hal tersebut bukannya orang yang berpendidikan rendah mutlak
pengetahuannya rendah pula, karena faktor pengetahuan tidak mutlak dengan
pendidikan formal akan tetapi dengan pendidikan non formal juga dapat
diperoleh. (Notoatmodjo, 2002)
Bekker dan
Reinke (1994) yang dikutip dari Muhibbin Syah (2002), mengatakan bahwa tingkat
pendidikan sangat relevan dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang.
B. Tinjauan Umum Tentang IBU
Ibu adalah
seseorang yang telah memiliki potensi dan kesempatan melukis dan mewarnai
kehidupan anaknya. Ibu akan membimbing anak-anaknya memahami realitas kehidupan
didunia, didalam keluarga dan dunia yang global.
Seorang ibu
hendaknya mampu memberikan bimbingan bagi perkembangan emosi, fisik, mental dan
spritual anak. Seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya tidak akan tenang bila
tidak bisa mendampingi dan mengetahui perkembangan anak-anaknya secara
intensif.
Ketika anak
masih bayi seorang ibu hampir menghabiskan 24 jam waktunya untuk merawat dan
melayani bayi, ia menyusui, menjaga dari segala gangguan, mengganti popok,
mendekapkan bila menangis dan masih banyak lagi tugas yang harus dilakukannya.
Kesibukan ibu tidak akan berhenti semata-mata karena anak telah beranjak remaja
dan besar, bertambah besar anak maka bertambah besar pula problem yang harus
dihadapi sang ibu. Peran ibu adalah :
1. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.
2. Ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah
tangga.
3. Sebagai pengasuh dan pendidik
anak-anaknya.
4. Pelindung dan sebagai salah satu kelompok
dalam peranan sosialnya.
5. Sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya.
6. Ibu juga berperan sebagai pencari nafkah
tambahan dalam keluarga.
C. Tinjauan Umum Tentang ISPA
1.
Pengertian
Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah
penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran
napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dalam pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita,
dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yang berlangsung sampai 14 hari
atau kurang (Depkes RI, Dirjen P2M, 2006).
2.
Klasifikasi ISPA
ISPA merupakan kelompok
penyakit yang kompleks dan heterogen disebabkan oleh berbagai etiologi dapat
mengenai setiap tempat di sepanjang saluran pernapasan. Untuk kepentingan pencegahan
dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat diklasifikasikan menurut lokasi
anatomis dan berat ringannya penyakit.
Klasifikasi berdasarkan
lokasi anatomis meliputi infeksi saluran pernapasan atas (command cold,
rhinitis akut, faringitis akut, tonsillitis akut dan otitis media) dan infeksi
saluran pernapasan bagian bawah (Bronchitis, Bronchiolitis dan Pneumonia)
World Health Oranization
(1991) menerapkan dua tanda sebagai kriteria atau dasar diagnosis dan
klasifikasi untuk manajemen kasus ISPA. Kriteria tersebut adalah balita
dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Kriteria ini juga digunakan
dalam Program Pemberantasan Penyakit ISPA di Indonesia (Anonim, 2005).
Berdasarkan
kriteria tersebut, penenuan klasifikasi ISPA dibedakan atas dua kelompok yaitu
kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun dan kelompok umur < 2 bulan.
a.
Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun dibagi atas :
1)
Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah dalam (chest indrawing).
2)
Pneumonia yaitu adanya batuk dan atau kesukaran bernapas
disertai napas cepat sesuai umur ; anak usia 2 bulan - < 1 tahun 50 kali
atau lebih permenit dan 40 kali atau lebih per menit untuk anak usia 1 - < 5
tahun.
3)
Bukan Pneumonia yaitu batuk yang tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam.
b.
Kelompok umur < 2 bulan dibagi atas :
1)
Pneumonia berat yaitu adanya napas cepat (fast breathing)
dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya
tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah kedalam (severe chest indrawing)
2)
Bukan Pneumonia yaitu batuk yang tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam (Anonim, 2006).
3.
Etiologi
Penyakit ISPA dapat
disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus dan riketsia. ISPA
bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat
disebabkan oleh virus dan bakteri. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh
bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan
beberapa masalah dalam penanganannya (Daulay, 2005).
Etiologi
ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Virus merupakan penyebab tersering
Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPA-A). Virus penyebab ISPA meliputi
Rhinovirus, Koronavirus,
Influenza virus, Parainfluenza virus, Adenovirus, Respiratory
sincytial virus (RSV) dan
Coxsackievirus. Bakteri penyebab ISPA antara lain genus Streptokokus,
Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium (Anonim,
2004a).
Diagnosa
bakteri penyebab Pneumonia bagi balita
di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi
WHO), bahwa
Streptococcus Pneumonia dan Hemofilus Influensa merupakan bakteri yang selalu
ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Sedangkan negara maju, dewasa ini Pneumonia
pada anak umumnya disebabkan oleh virus (Anonim, 2006).
4.
Faktor Resiko
Berdasarkan
hasil penelitian di berbagai negara termasuk Indonesia dari berbagai publikasi
ilmiah, dilaporkan berbagai faktor yang meningkatkan insiden (morbiditas) dan
kematian (mortalitas) akibat Pneumonia.
a. Faktor risiko yang meningkatkan insiden
Pneumonia adalah bayi umur
< 2 bulan, gizi kurang, berat
badan lahir rendah, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat
tinggal, imunisasi yang tidak memadai, defisiensi vitamin A, pemberian makanan tambahan terlalu dini dan
ventilasi rumah kurang.
b. Faktor risiko yang meningkatkan angka
kematian Pneumonia adalah
bayi umur < 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang,
berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat jangkauan
pelayanan kesehatan yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak
memadai, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang
salah (Anonim, 2006).
5.
Penanganan
Untuk mencapai tujuan
kebijakan program pemberantasan ISPA adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penemuan penderita melalui
sarana kesehatan tingkat pertama pelayanan (pelayanan kesehatan di desa,
puskesmas pembantu, puskesmas dan sarana rawat jalan rumah sakit) dibantu oleh
kegiatan posyandu kader posyandu.
b. Melakukan tatalaksana standar penderita
ISPA dengan menegakkan diagnosa secara dini, pengobatan yang tepat dan segera,
pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
c. Melaksanakan penyebaran informasi tentang
program P2 ISPA pada tenaga kesehatan
dan melaksanakan penyuluhan pada masyarakat, utamanya pada ibu balita, sehingga
masyarakat dapat membedakan penderita bukan Pneumonia yang dapat dirawat di
rumah dengan tindakan penunjang dan penderita Pneumonia yang harus berobat ke
sarana kesehatan/tenaga kesehatan terdekat.
6.
Pengobatan
Pengobatan penderita ISPA
dimaksudkan untuk mencegah berlanjutnya ISPA ringan menjadi sedang, mencegah
ISPA sedang menjadi ISPA berat dan mengurangi kematian karena ISPA (Haerin,
1995).
Pengobatan penderita ISPA
meliputi :
a.
ISPA ringan (bukan Pneumonia) tanpa pemberian antibiotika. Bila panas demam
diberikan paracetamol.
b. ISPA sedang (Pneumonia) diberikan
kotrimoksasol atau obat pengganti seperti amoxicillin peroral, ampicillin
peroral dan prokain penicillin suntikan.
c. ISPA berat (Pneumonia berat) dirawat di
rumah sakit, diberikan oksigen, terapi dengan antibiotika berupa
chloramfenical, suntikan, prokain penicillin, cotrimoksasol, ampicillin atau
amoxicillin untuk bayi kurang dari 2 bulan diberikan prokain penicillin dan
gentamycin suntikan.
Dalam penatalakasanaan
penderita ISPA, perlu diperhatikan beberapa tanda klinis yang dapat menyertai
anak dengan batuk atau kesulitan bernapas yang dikelompokkan sebagai tanda
bahaya :
a. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai 5
tahun. tanda bahaya berupa :
kejang, tidak bisa minum, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk.
b. Untuk kelompok umur usia kurang dari 2
bulan. Tanda bahaya berupa:
tidak bisa minum, kesadaran menurun, kejang, stridor, wheezing,
demam dan dingin.
Tanda-tanda ini disebabkan oleh banyaknya kemungkinan. Walaupun demikian
seorang medis atau paramedis cukup mengenal tanda-tanda bahaya tersebut tanpa
perlu mengetahui penyebabnya dan mengetahui bahwa anak sedang menderita sakit
berat (Anonim, 1996).
7.
Cara Pencegahan
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan
penyakit ISPA. Salah satu upaya pemberantasan penyakit ISPA yaitu memperhatikan
atau menanggulangi faktor risiko lingkungan dengan :
a. Menjaga sirkulasi udara bersih dalam rumah dengan membuka
jendela (ventilasi
cukup).
b. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan
sekitarnya.
c. Hindari polusi udara dalam rumah seperti asap
dapur dan asap rokok.
d. Hindari jumlah hunian dalam satu kamar tidur tidak
lebih dari 3 orang.
e. Menyemen lantai rumah.
f. Menjaga status gizi bayi / balita.
Hal-hal
yang diperhatikan seorang ibu untuk mengatasi anak yang menderita ISPA adalah
sebagai berikut :
a. Mengatasi panas dan demam
Yaitu dengan memberikan obat
paracetamol atau dengan demam kompres, anak diberikan banyak minum atau
pemberian ASI, dan jangan memakai pakaian atau selimut tebal.
b. Mengatasi batuk
Tidak dianjurkan memberi sirum
di toko obat yang mengandung zat berbahaya dan terbukti kurang efektif. Obat
batuk yang dianjurkan oleh petugas kesehatan misalnya ramuan tradisional.
c. Pemberian makanan dan minuman
Usahakan pemberian makanan
seperti biasa dengan makanan yang cukup bergizi sedikit tapi sering dan berikan
minum lebih dari biasanya.
d. Mengatasi hidung tersumbat
Yaitu dengan pemberian obat
tetes hidung, bila tidak ada secara tradisional dapat digunakan kapas yang
ditetesi minyak kayu putih.
D. Tinjauan Umum Tentang
Balita
Balita yaitu anak yang
berusia dibawah 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian
disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1. Balita merupakan generasi dan modal dasar
untuk kelangsungan hidup bangsa.
2. Balita amat peka terhadap penyakit
3. Tingkat kematian balita masih tinggi
4. Balita diharapkan tumbuh dan berkembang
dalam keadaan sehat jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan
kelemahan.
Masalah kesehatan balita
merupakan masalah nasional, mengingat angka kesakitan dan angka kematian pada
balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan erat dengan faktor lingkungan
(perumahan, kebersihan lingkungan dan polusi udara), kemiskinan, kurang gizi,
penyakit infeksi dan pelayanan kesehatan.
Beberapa
faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang
balita yaitu diare dan ISPA. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita
antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan
perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan
gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Somalinggi, 1999).
0 Response to "Pengaruh Pengetahuan Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Wakaokili Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Tahun 2010"
Post a Comment
* Terima kasih telah berkunjung di blog Saya.
* Comentar yang sopan.
* Kami hargai komentar dan kunjungan anda
* Tunggu Kami di Blog Anda
* No Link Aktif
Salam Kenal Dari Saya